oleh: Muhammad Aufal Fresky
Penulis Buku Empat Titik Lima Dimensi
Sebanyak 12 artis turut serta dalam kontestasi politik pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024. Ada yang mencalonkan diri sebagai calon wakil bupati (cawabup), calon bupati (cabup), calon wali kota (cawalkot), hingga calon wakil gubernur (cawagub). Keterlibatan pesohor dalam kancah perpolitikan bukan hal baru. Sejak Orde Baru, sejumlah selebritis sudah terlibat langsung dalam dunia politik. Jumlahnya mengalami peningkatan sampai pasca reformasi saat ini. Tidak hanya di level pusat, kekuasaan di level daerah juga menjadi rebutan publik figur. Modal keterkenalan menjadi daya tarik tersendiri bagi parpol untuk berlomba-lomba meminang sang publik figure agar masuk gerbongnya. Tidak bisa dipungkiri lagi, popularitas menjadi salah satu pertimbangan utama bagi sejumlah elit politik Tanah Air, khususnya para ketum (ketum) parpol untuk mengikutsertakan artis dalam hajatan politik lima tahunan ini. Khususnya Pilkada serentak yang sebentar lagi akan dihelat.
Adalah suatu hal yang lumrah bahwa setiap warga negara Indonesia (WNI) berhak mencalonkan dan dicalonkan sebagai pemimpin daerah. Konstitusi kita pun juga tidak mengharamkan. Hanya saja, ada beberapa hal yang memang sedikit mengganjal alam pikiran saya. Di antaranya yaitu apakah parpol sudah kehabisan stok kader untuk dicalonkan sehingga memilih jalan pintas dengan meminang artis? Apakah kemasyhuran menjadi pertimbangan utama para ketum dan elit parpol untuk menadikan seseorang sebagai kandidat yang cukup layak untuk memimpin masyarakat di daearah? Saya kira pertanyaan tersebut juga ada dalam benak para pembaca sekalian. Sebab, faktanya memang demikian adanya. Setiap publik figur seolah diberikan karpet merah oleh parpol untuk berkontestasi dalam Pilkada. Padahal, di antara artis-artis tersebut, tidak sedikit yang baru saja mencicipi gelanggang dunia politik. Baru saja menjadi kader parpol. Artinya, dari segi pengalaman bisa dikatakan sangat minim.
Berbondong-bondong para pesohor tersebut hijrah dari panggung hiburan menuju panggung politik. Hal itu bisa disebutkan sebagai politainment. Istilah politainment disebutkan oleh David Schults (2012) dalam karyanya yang berjudul Politainment: The Ten Rules of Contemporary Politics: A Citizens’s Guide to Understanding Campaigns and Election. Itu merupakan gabungan dari politik dan hiburan. Para artis yang dalam rutinitas kesehariannya memang berkiprah di dunia hiburan bisa membuat politik layaknya dunia hiburan. Kursi kekuasaan seolah menjadi daya tarik sendiri bagi mereka. Padahal, dari segi finansial bisa dikatakan mapan, bahkan sangat mapan. Apalagi dari segi popularitas, tidak usah ditanya lagi. Mungkin kurang satu: kekuaaan. Namun, jangan salah sangka dulu. Kekuasaan adalah salah satu jalan untuk mengbabdi kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Terutama masyarakat di daerah yang nantinya akan dipimpin oleh artis yang menang Pilkada. Tapi, lag-lagi saya pun bertanya-tanya: bukankah untuk mengabdi kepada masyarakat tidak harus lewat jalur politik? Ada banyak jalur. Seperti halnya lewat komunitas sosial, pendidikan, budaya, dan semacamnya. Kembali lagi, urusan niat kita tak bisa menghakimi. Mungkin yang kita nilai saat ini yaitu terkait kapabilitasnya sebagai calon pemimpin daerah.
Bagi saya pribadi, tidak ada persoalan, mau dia artis atau non-artis, asalkan dari rekam jejaknya mumpuni dan kapabilitasnya sudah teruji, silakan mencalonkan diri. Sebab, kita semua tidak ingin memilih yang terburuk dari yang terburuk. Fungsi parpol sebagai sarana rekrutmen politik, mestinya menghadirkan calon-calon pemimpin masa depan yang secara watak, kepriabdian, ideologi, kapabilitas, dan integritas sudah teruji. Sudah mengalmai asam manisnya dunia politik, Artinya bukan anak kemarin sore yang tiba-tiba nongol mau menjadi pemimpin masyarakat. Hemat saya, pemimpin itu dilahirkan bukan dari proses yang instan dan pragmatis, Ada jalan terjal, berliku, dan penuh duri yang sudah dilewati.
Dia sudah memahami situasi dan kondisi masyarakat yang akan dipimpinnya. Sudah melewati proses penempaan diri menjadi calon pemimpin masa depan.Jadi ketika sudah terpilih, langsung tancap gas menjadi problem solver di tengah masyarakat. Menurut saya, pemimpin semacma itu, biasanya hanya perlu waktu sebentar untuk beradaptasi dengan keadaan. Tinggal bagaimana menjalankan visi, misi, dan program kerjanya. Beda halnya dengan tokoh-tokoh yang secara instan menjadi pemimpin. Dia pasti belajar lagi untuk memahami masyarakat. Bahkan, bisa jadi masih perlu dibimbing dan diarahkan. Sehingga memakan waktu tentunya. Ini sangat tidak efektif dan efisien. Sekali lagi, kita tidak mau dan tidak sudi, kehadiran artis dalam panggung politik nasional justru menjadikan politik berubah dari hal-hal subtantif-bermakna menjadi artifisial-hampa. Harus ada filter dari parpol mana artis-artis yang layak untuk dicalonkan mana yang tidak layak. Jangan asal comot seperti membeli mangga di pasar.
Memang ketenaran para pesohor tersebut sangat menggirukan untuk mendongkrak citra dan suara parpol dalam kontestasi politik. Namun, yang akan menjadi korban adalah masyarakat ketika artis-artis yang terpilih sebagai pemimpin tersebut tidak siap dan jauh dari kriteria layak. Maka pantas saja jika publik menduga-duga, jangan-jangan parpol-parpol saat ini memang mengalami krisis kaderisasi? Tidak mampu mempersiapkan dan mencetak kader-kader muda untuk disiapkan menjadi calon pemimpin. Maka wajar jika sebagian dari kita menganggap bahwa berkader di parpol tidak menarik dan tidak menjanjikan masa depan. Sebab, yang menentukan adalah uang, ketenaran, dan orang dalam tentunya. Jadi, ini menjadi PR kita semua. Yaitu untuk melakukan pembenahan secara besar-besaran terkait sistem rekrutmen dan kaderisasi dalam tubub parpol agar mampu menawarkan kepada publik calon pemimpin yang visoner, jujur, cerdas, berintegritas, dan kapabel.