oleh: AHMAD BARJIE B
PADA 1912, lebih 100 tahun tahun silam, sebuah tragedi menggenaskan telah terjadi. Kapal pesiar mewah, Titanic, tenggelam di Samudra Atlantik dalam pelayaran perdananya dari Southampton Inggris ke New York AS.
Titanic adalah kapal raksasa paling mutakhir di zamannya. Namanya saja Titanic, artinya besar, bukan main, mungkin diambil dari kata Titan, raksasa, hebat. Titanic sempat dijuluki the Unsinkable Ship (kapal tidak mungkin tenggelam). Bahkan, salah seorang arsiteknya dengan bangga mengatakan, “Tuhan pun tidak akan mampu menenggelamkan kapal ini.”
Ternyata, kesombongan manusia tidak berumur lama. Dan baru pada pelayaran pertama, kapal ini sudah tenggelam ditelan laut, menewaskan lebih 1.500 orang penumpang, yang terdiri dari para konglomerat dan kalangan atas. Tak heran, tragedi ini tetap dikenang orang sepanjang zaman. Dan konon sudah lebih 20 film yang merekonstruksikan peristiwa ini.
Di penghujung 1997 lalu telah pula diputar film Titanic baru, karya sutradara James Cameron, konon merupakan film paling kolosal di abad 20, yang menghabiskan dana Rp1 triliun lebih. Beberapa bioskop di kota-kota besar Indonesia sudah pula memutarnya. Kini film itu dapat disaksikan di media onlie dan sebagainya.
Hermawan Kertajaya, ekonom dan kolomnis dari Surabaya, dengan sangat manis menganalogikan Titanic dengan kondisi ekonomi Indonesia. Pujian yang kita terima dari pihak luar membuat kita terlalu confidence, padahal ekonomi kita keropos, karena dikuasai oligarki dan banyak mengandalkan utang luar negeri. Ekonomi kita semakin liberal, yang kuat makin menguasai pasar. Sekarang untuk mengendalikan ekonomi kerakyatan sesuai kehendak UUD 1945 semakin sulit.
Kita memang seperti lupa, lupa berhitung dan kurang waspada. Kita terlalu suka dipuji dan memuji diri, seolah-olah kita berhasil. Kita, terutama kalangan berpunya, juga suka yang serba luar negeri, enggan produk dalam negeri, berpergian ke luar negeri sekadar berlibur dan mencari sensasi. Lupa dengan produk dalam negeri dan kelebihan negeri sendiri.
Islam yang dianut, sebenarnya amat banyak berisi ajaran tamsil ibarat. Anak Nabi Nuh enggan menaati kebenaran, karena merasa ada gunung tempat menyelamatkan diri dari kejaran banjir. Akhirnya ia pun ditelan banjir. Firaun juga terpaksa berkubur di laut merah, juga karena menolak kebenaran, sombong dan menuhankan kekuasaan bahkan mengaku Tuhan, dan banyak contoh lagi. Kesimpulannya, karena kesombongan seseorang, suatu kelompok dan suatu bangsa bisa jatuh ke jurang yang dalam, tanpa bisa bangkit lagi.