Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

HIJRAH

×

HIJRAH

Sebarkan artikel ini
Iklan

Oleh : AHMAD BARJIE B

Di negara ini berlaku dua perhitungan tahun yang menonjol, yaitu tahun Masehi yang dihitung berdasarkan perputaran matahari, syamsiyah, sedangkan tahun Hijriah dihitung berdasarkan perputaran bulan, qamariyah. Tahun masehi dimulai sejak kelahiran Nabi Isa al-Masih AS, sedangkan tahun hijriah dimulai sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah.

Baca Koran

Perayaan tahun baru Masehi selama ini memang lebih meriah ketimbang tahun baru Hijriyah, hal ini disebabkan sebagian elit pemerintah, media massa dan generasi muda kita memang lebih mengenal tahun Masehi. Berbeda dengan zaman dulu ketika Kesultanan Banjar berkuasa, setiap momentum peristiwa penting, setiap perjanjian dan sejenisnya, selalu yang digunakan adalah penanggalan Hijriah. Orang-orang tua pun begitu hafal dengan penanggalan bulan hijriyah. Hal ini merupakan tantangan bagi kita umat Islam agar sekarang dan ke depan lebih intensif lagi menyosialisasikan penanggalan Hijriah.

Meskipun demikian masalah ini tidak perlu dipertentangkan, sebab matahari dan bulan sama-sama merupakan makhluk Allah. Pada keduanya harus bisa menarik pelajaran sebab matahari dan bulan adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Matahari berjasa menerangi siang dan memberikan energi untuk kehidupan, bulan pun berjasa menerangi malam sekaligus memberikan isyarat penanggalan. Selain itu keduanya juga berhubungan dengan perhitungan waktu dan musim.

Yang teramat penting ketika ketika memasuki pergantian tahun, termasuk tahun hijriah adalah meningkatkan rasa syukur. Syukur karena kita telah diberi Allah umur, kesehatan, kekuatan dan kelapangan sehingga masih dapat menjalani kehidupan ini secara normal.

Kita hidup ini tidak terlepas dari nikmat Allah yang tiada terhitung banyaknya, dari nikmat umur, kesehatan, kedudukan, kekayaan, anak dan istri, ketenangan dan kedamaian, dan yang sangat mendasar lagi adalah nikmat iman dan Islam. Semua itu wajib kita syukuri, karena dengan begitu Allah SWT akan melipatgandakan nikmatnya kepada kita semua. Firman Allah SWT, “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim : 7)

Baca Juga :  Mencetak Generasi Emas

Imam al-Ghazali menerangkan hakikat syukur itu terdiri dari tiga hal, yaitu ilmu, keadaan dan perbuatan. Pertama, ilmu, ialah kita menyadari bahwa kenikmatan yang kita peroleh itu datang dari Allah swt, bukan semata karena hasil usaha atau kepintaran kita sendiri. Ilmu, harta, kedudukan adalah pinjaman, titipan, karunia dan amanah dari Allah swt. Kalau kita melupakan Allah, tak ubahnya seperti Qarun dari Bani Israil yang merasa kekayaan atas hasil usahanya sendiri, sehingga Qarun dan harta kekayaannnya ditenggelamkan oleh Allah SWT. Allah berfirman, “Maka Kami benamkan Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)”. (QS. Al Qashash : 81).

Kedua, keadaan syukur, maksudnya kita menyatakan kegembiraan karena telah diberikan karunia atau nikmat Allah SWT, dengan jalan banyak mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah dan berterima kasih kepada manusia sebagai perantara datangnya nikmat tersebut. Besar atau kecil nikmat Allah semua harus disyukuri. Kita juga harus lebih banyak berzikir sebagai pertanda ingat kepada Allah SWT. Baik dzikir yang tersembunyi maupun zikir yang dilahirkan secara lisan, baik secara perorangan maupun bersama orang banyak yang sama-sama kita ajak untuk bersyukur.

Ketiga, adalah amalan atau perbuatan, sebagai pertanda syukur, yaitu menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan dari yang memberi nikmat tersebut yaitu Allah SWT. Maka ketika memperoleh nikmat, hendaknya nikmat itu digunakan sesuai dengan tuntutan Allah SWT. Ketika diberi harta hendaknya banyak disumbangkan di jalan Allah dan menolong orang yang butuh bantuan, ketika diberi jabatan hendaknya digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan ketika diberi ilmu hendaknya diajarkan tanpa pamrih. Bila selama ini hidup kita banyak bermaksiat kepada Allah, maka harus berhijrah ke arah keimanan dan ketakwaan yang lebih baik. Hendaknya ada peningkatan kualitas ketakwaan dari waktu ke waktu.

Baca Juga :  KETELADANAN IBRAHIM

Agar tumbuh rasa syukur maka dalam urusan harta harus melihat ke bawah, jangan ke atas, kepada orang yang lebih tinggi dan lebih kaya daripada dirinya, sehingga akhirnya tidak kunjung mau bersyukur. Dalam sebuah hadits diperingatkan. Lihatlah orang-orang yang lebih rendah daripada kamu, dan jangan kamu lihat orang-orang yang lebih tinggi. Itulah tembok yang kokoh supaya kamu tidak merendahkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu. (HR Muslim dari Abi Hurairah).

Semogalah kita semua mampu introspeksi diri, dan dalam menjalani hidup ini dengan lebih banyak beryukur dan beristigfar. Kita syukuri segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita, dan kita beristighfar dan bertaubat atas segala kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan. Semoga sisa-sisa hidup kita ke depan lebih baik, lebih bermakna dan senantiasa dalam petunjuk Allah SWT. Aamiin.

Iklan
Iklan