Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, disebutkan bahwa Rasulullah Shallalahu alaihi Wassalam pernah melewati seorang pemuda yang gagah dan bekerja dengan penuh semangat. Hal ini membuat para sahabat takjub hingga mereka berkata, “Wahai Rasulullah, andai saja semangat dan tenaga yang ia curahkan itu digunakan untuk berjuang di jalan Allah (فِي سَبِيلِ اللَّهِ), tentu itu lebih baik.”
Para sahabat memiliki pemahaman bahwa bekerja untuk kebutuhan dunia dianggap kurang bernilai dibandingkan berjuang di medan perang. Namun, Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam meluruskan pemahaman tersebut. Beliau bersabda,
“Jika seseorang keluar dari rumahnya bekerja demi memberikan nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah (فِي سَبِيلِ اللَّهِ). Jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya yang telah lanjut usia, maka ia pun berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menjaga kehormatan dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain, maka ia juga berada di jalan Allah.”
(HR Ath-Thabrani)
Dari hadis ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa …
“bekerja dengan niat yang benar, seperti menafkahi keluarga atau menjaga harga diri, memiliki nilai yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala atau fii sabilillah.”
Sebaliknya, apabila seseorang bekerja dengan tujuan untuk pamer, riya, atau membanggakan hasil kerjanya, seperti memamerkan harta benda, pakaian, atau jabatannya, maka akan menjauhkan diri seseorang dari keberkahan. Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam menegaskan bahwa bekerja dengan niat seperti itu tidak berada di jalan Allah, melainkan di jalan setan.
Terkait tanggung jawab nafkah, kita sering menemukan gaji yang diberikan mencakup tunjangan untuk anak dan istri. Hampir tidak ada perhatian terhadap kebutuhan orang tua yang telah sepuh. Padahal, memberikan nafkah kepada orang tua juga merupakan kewajiban besar yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam menjelaskan bahwa seseorang yang bekerja untuk menafkahi orang tuanya juga termasuk berada di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Selain itu, Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam juga mengingatkan agar bekerja didasari dengan niat yang tulus dan benar. Dalam sabda beliau,
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Bagi seorang muslim sudah seharusnya memeriksa niatnya dalam bekerja, apakah untuk memenuhi kebutuhan hidup atau sekadar mengejar gaya hidup. Jika bekerja hanya untuk tujuan riya atau kebanggaan, maka pekerjaan itu tidak bernilai pahala, bahkan bisa menjadi dosa.
Maka …
“Jangan pernah merasa malu dengan pekerjaan
yang dilakukan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala Apa pun pekerjaannya.”
Ingatlah tiga tujuan utama bekerja yang diajarkan dalam Islam:
Untuk menafkahi anak-anak yang menjadi tanggungan.
Untuk memenuhi kebutuhan orang tua yang sudah sepuh.
Untuk menjaga kehormatan diri agar tidak menjadi benalu bagi orang lain.
Dengan niat yang lurus, setiap pekerjaan akan bernilai ibadah dan mendatangkan keberkahan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan setiap langkah kita dalam mencari nafkah yang halal dan diridhai-Nya. Barakallahu fiikum.
Tulisan ini diambil dari kajian, “Mengharap Pahala dari Mencari Nafkah”. Live di Studio SRB Official, Jember. Kamis, 22 Rajab 1443 H / 24 Februari 2022 M.