Oleh : Hanni Sofia
BEBERAPA tahun terakhir, konsep bank emas mulai menarik perhatian di berbagai negara sebagai alternatif sistem keuangan yang berkelanjutan dan berbasis aset nyata.
Konsep bank emas berbasis pada lembaga yang bisa melayani kegiatan usaha perbankan dengan instrumen logam mulia. Dengan adanya bank emas, ekosistem emas akan terintegrasi dari hulu ke hilir untuk kebutuhan berbasis emas, mulai dari simpanan, titipan, pembiayaan, investasi, hingga perdagangan dan kegiatan lainnya.
Model ini telah sukses diterapkan di negara-negara seperti Turki dan Malaysia, di mana kepercayaan masyarakat terhadap emas sebagai instrumen investasi dan pelindung nilai sudah sangat kuat.
Namun demikian, ketika berbicara tentang potensinya di Indonesia, berbagai peluang dan tantangan perlu dianalisis secara cermat.
Di Turki, bank emas telah berkembang pesat sebagai bagian dari strategi diversifikasi sistem keuangan. Bank-bank di sana memungkinkan masyarakat menyimpan emas dalam bentuk fisik yang dikonversi menjadi rekening emas digital.
Di negara itu bank seperti Kuveyt Türk dan Türkiye İş Bankası menyediakan layanan seperti akun emas, transfer emas elektronik, dan deposito emas yang didukung oleh emas fisik yang disimpan secara aman.
Selain itu, Takasbank Gold Transfer System memungkinkan transfer emas antar bank secara elektronik, memberikan kemudahan bagi nasabah untuk melakukan transaksi tanpa perlu membawa emas fisik. Model ini berhasil karena kepercayaan masyarakat Turki terhadap emas sebagai aset stabil dan pelindung nilai.
Sementara itu, di Malaysia, bank emas juga mendapat sambutan hangat terlihat dari tingginya permintaan emas di negara tersebut. Malaysia menempati peringkat kedelapan dunia dengan permintaan emas tertinggi pada 2020. Angkanya melonjak 25 persen menjadi 18,5 ton dibandingkan 14,9 ton pada 2021.
Menurut laporan dari Forex Suggest, Malaysia berada di belakang Turki, Rusia, Singapura, Uni Emirat Arab (UEA), Vietnam, Iran, dan Mesir dalam grafik yang relevan.
Layanan seperti akun investasi emas ditawarkan oleh bank-bank besar di Malaysia, termasuk Maybank, CIMB, dan Public Bank, dengan fitur yang mempermudah nasabah membeli dan menjual emas secara digital.
Di negeri jiran itu, konsep bank emas diterapkan dengan dukungan pemerintah melalui regulasi yang jelas dan sosialisasi yang masif.
Bank emas di sana juga terintegrasi dengan platform syariah, sehingga menarik segmen pasar yang lebih luas, terutama umat Muslim.
Potensi bank emas di Indonesia sebenarnya tidak kalah besar. Sebagai salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, emas memiliki daya tarik budaya dan religius yang kuat.
Emas sering kali dianggap sebagai aset yang aman, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah yang kurang percaya pada stabilitas sistem keuangan konvensional.
Riset yang dilakukan Khairul Arifin Lubis dan Donny Abdul Chalid dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada 2020 menemukan bahwa investasi emas terbukti bisa menjadi alat lindung nilai (hedging) terhadap risiko inflasi dan nilai tukar dalam analisis dengan menggunakan metode VECM.
Perbankan Syariah
Data menunjukkan bahwa konsumsi emas di Indonesia terus meningkat, baik untuk perhiasan maupun investasi, menjadikan Indonesia pasar potensial untuk bank emas.
Selain itu, dalam konteks keuangan syariah, bank emas bisa menjadi instrumen baru yang sejalan dengan prinsip ekonomi Islam yang menekankan keadilan dan kepemilikan aset nyata.
Penasihat Center of Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Hakam Naja sempat menilai keberadaan bank emas (bullion bank) bisa menjadi pendorong pertumbuhan perbankan syariah.
Beberapa perusahaan yang telah menjalankan fungsi sebagai bullion bank adalah PT Pegadaian (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk), dan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk.
Meskipun begitu, selama ini, emas Indonesia lebih banyak mendapatkan biaya pengolahan industri (cost of manufacturing) karena bank emas alias bullion bank ada di Singapura.
Namun melalui regulasi terbaru, Indonesia akan segera memiliki bank emas usai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 17 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Bullion diterbitkan.
Selama ini meski potensinya di Indonesia besar, banyak tantangan yang dihadapi. Salah satu kendala utama adalah regulasi yang belum jelas. Indonesia untuk menghadirkan bank emas perlu merancang kerangka hukum yang spesifik mengatur operasional bank emas.
Hal ini agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan calon nasabah. Selain itu, literasi keuangan masyarakat Indonesia, terutama terkait investasi emas, juga harus ditingkatkan.
Sebab sampai saat ini banyak yang masih menyimpan emas dalam bentuk fisik di rumah karena kurangnya pemahaman tentang manfaat menyimpannya di lembaga keuangan.
Tantangan berikutnya adalah infrastruktur. Berbeda dengan negara lain yang telah lama menerapkan, seperti Turki yang memiliki jaringan bank emas yang luas, infrastruktur keuangan di Indonesia masih terkonsentrasi di kota-kota besar.
Bank emas membutuhkan dukungan teknologi tinggi untuk memastikan keamanan dan transparansi, seperti sistem blockchain untuk pelacakan emas atau vault (tempat penyimpanan emas) yang terstandardisasi.
Saat ini, hanya segelintir lembaga keuangan di Indonesia yang mampu menyediakan layanan semacam itu.
Tidak kalah penting, ada tantangan kepercayaan. Kasus-kasus penipuan investasi emas yang marak terjadi di Indonesia telah membuat sebagian masyarakat skeptis terhadap skema berbasis emas.
Jika tidak dikelola dengan baik, bank emas berisiko kehilangan kepercayaan masyarakat sebelum benar-benar berkembang.
Instrumen Inovatif
Untuk menjawab tantangan ini, beberapa solusi dapat diusulkan. Pemerintah harus segera merancang regulasi yang mendukung operasional bank emas, termasuk memastikan bahwa aktivitasnya sesuai dengan prinsip syariah. Regulasi ini harus mencakup standar keamanan, transparansi, dan tata kelola yang baik untuk melindungi nasabah.
Kemudian, pentingnya edukasi masyarakat sebagai kunci. Bank-bank yang ingin masuk ke sektor ini harus aktif memberikan literasi keuangan kepada masyarakat, terutama terkait manfaat dan keamanan menyimpan emas di bank dibandingkan secara fisik.
Kampanye edukasi ini harus dilakukan secara luas, dengan melibatkan komunitas lokal, media, dan tokoh agama untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Selanjutnya, kolaborasi dengan fintech bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah infrastruktur. Dengan teknologi digital, bank emas dapat diakses oleh masyarakat di daerah terpencil tanpa harus membuka cabang fisik.
Misalnya, aplikasi mobile bisa digunakan untuk memantau saldo emas, melakukan transaksi, atau bahkan mencairkan emas ke dalam bentuk uang tunai.
Dari sisi keuntungan, bank emas dapat memberikan manfaat besar bagi Indonesia. Di tingkat mikro, bank emas membantu masyarakat melindungi aset mereka dari inflasi.
Di tingkat makro, bank emas bisa mendukung diversifikasi ekonomi dan memperkuat sektor keuangan syariah di Indonesia. Selain itu, bank emas juga dapat menarik minat investor asing yang melihat potensi besar di sektor keuangan berbasis aset nyata.
Namun, ada juga risiko yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah volatilitas harga emas di pasar global. Jika harga emas jatuh secara signifikan, nasabah yang telah menyimpan asetnya dalam bentuk emas mungkin akan merugi.
Selain itu, biaya operasional yang tinggi untuk penyimpanan dan pengelolaan emas bisa menjadi tantangan bagi bank, terutama di tahap awal implementasi.
Bank emas memang bukan solusi instan untuk memperkuat sistem keuangan Indonesia, tetapi dengan perencanaan yang matang, potensi besar di sektor ini bisa dioptimalkan.
Pada akhirnya, keberhasilan bank emas di Indonesia akan sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat.
Dengan pendekatan yang tepat, bank emas bisa menjadi salah satu instrumen inovatif yang tidak hanya mendukung inklusi keuangan tetapi juga memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia. (Antar/Tim Kalimantanpost.com)