Oleh : Muhammad Aufal Fresky
Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya
Saat ini, kita benar-benar sedang menikmati keran demokrasi yang dibuka selebar-lebarnya. Setiap warga negara, berkesampatan untuk menyampaikan pendapat, kritik, dan saran kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, terkait kinerjanya. Terkait hal itu, konstitusi kita mengizinkannya. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan, apakah kebebasan mengemukakan pendapat itu tidak ada batasan? Sebab, tidak sedikit, sebagian dari kita yang lumayan sering melontarkan pikirannya lewat beragam platform media sosial (medsos) tanpa difilter terlebih dahulu. Asal bunyi. Tanpa memikirkan dampak negatifnya. Semisal, ujaran kebencian yang dengan gampangnya dibuat dan disebarkan di medsos. Padahal, dampaknya bisa mengoyak-ngoyak persatuan dan kesatuan nasional. Bisa memecah belah masyarakat. Bahkan, bukan tidak mungkin, bisa menimbulkan konflik sosial dan pertikaian berdarah yang berkepanjangan.
Kebebasan berekspresi dan beraspirasi jika tidak diimbangi dengan keadaban maka bisa menimbulkan kecurigaan, prasangka negatif, dan kebencian antarwarga. Lebih-lebih jika dengan sengaja membuat berita bohong dan fitnah terhadap seseorang, organisasi, atau pemimpin-pemimpin kita. Bisa jadi akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Orang-orang yang doyan membakar api kebencian, dendam, dan permusuhan ini harus ditindak tegas oleh aparat hukum. Sebab, kerukunan dan ketertiban sosial akan menjadi taruhannya. Kita sendiri, bertanya-tanya, sebenarnya apa motif utama dalang perpecahan. Sesungguhnya apa yang menjadi pendorong mereka menyebarkan ujaran kebencian dan mengadu domba masyarakat. Hemat saya, jika boleh menjawab, mungkin yang menjadi motifnya bisa jadi karena kekecewaan terhadap pemerintah karena tidak mendapatkan akses kekuasaan, ekonomi, dan semacamnya. Atau memang, dengan sukarela menjadi buzzer yang dibayar dengan uang dengan nominal tertentu. Entahlah.
Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dengan keragaman budaya, kultur, adat, suku, dan agama, perlu senantiasa dijaga. Terutama dari tangan-tangan tak bertanggungjawab yang menyebarkan ujaran kebencian. Terlebih di ruang maya; yang begitu gampangnya netizen mengolok-olok. menghasut, menghina, dan bahkan memfitnah. Bahkan kepada pemimpin-pemimpinnya, oknum tersebut gampang melontarkan cacian dan makian. Sungguh, ini telah melewati batas norma agama dan hukum. Sudah melabrak norma kesusilaan dan adat ketimuran yang selama ini kita junjung tinggi. Padahal, pemimpin-pemimpin kita, khususnya presiden dan wakil presiden harus dijaga wibawa, harkat, dan martabatnya. Bukan justru direndahkan pribadinya. Kebebasan mengutarakan pendapat semacam itu sudah keblinger. Demokrasi kita menolak keras ujaran kebencian di ruang publik. Baik melalui tulisan maupun lisan. Baik disebarkan lewat media massa ataupun medsos.
Marpaung (2010) menyatakan bahwa ujaran kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya konflik sosial, kekerasan, dan sikap prasangka, baik dari pihak pelaku pernyataan tersebut maupun korban dari tindakan tersebut. Seleras dengan hal itu, Kardiyasa et al, (2020) mempertegas bahwa ujaran kebencian ini bisa menyangkut aspek agama, cacat, orientasi seksual, gender, ras, warna kulit, kewarganegaraan, dan lain-lain. Apabila ujaran kebencian tidak ditangani dengan efektif sesuai hukum yang berlaku, bisa memunculkan dampak konflik sosial yang bisa memicu tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa. Tentu kita semua, tidak ingin hal itu terjadi.
Memang betul, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjadi payung hukum bagi setiap warga negara menyampaikan pendapatnya. Namun, yang harus diperhatikan, dalam menyampaikan pendapat tersebut, bukan tanpa batasan. Sebab, ada rambu-rambu yang wajib dipatuhi. Tentu agar demokrasi kita tidak kebablasan menjadi demokrasi yang barbar. Batasan tersebut dipertegas dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; yaitu bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang yang dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Selanjutnya, terkait batasan dalam mengemukakan pendapat, selaku penulis, saya akan menyitir teori keadilan bermartabat berlandaskan Pancasila. Teori ini digagas oleh Teguh Prasetyo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Ringkasnya, teori ini menjelaskan bagaimana keadilan yang memanusiakan manusia. Prinsip teori ini yaitu memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berpikir dan memanusiakan manusia.
Dalam keadilan bermartabat terkandung nilai-nlai sentra sosio-politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain sebagainya yang ada dalam Pancasila. Sehingga, sebagai warga negara yang baik, dalam mengemuakan pendapat, kita tidak boleh menyakiti dan melukai hati orang lain. Selalu berupaya menghargai, mengasihi, dan menghormati orang lain yang berbeda dengan kita. Baik berbeda pandangan, agama, budaya, aliran politik, dan sebagianya.
Tetap berikhtiar agar selalu memanusiakan manusia lainnya. Salah satu contohnya yaitu mengendalikan dan mencegah diri dari ucapan yang bernada kebencian kepada individual atau golongan lain. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila menjadi acuan dan panduannya. Semisal dengan menghindari diri dari ucapan yang bisa merusak dan memecah belah bangsa. Seperti yang diperjelas dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yaitu bahwa dalam kebebasan mengemukakan pendapat harus memperhatikan unsur-unsur terkait nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Dari paparan di atas, pikiran kita bisa sedikit tercerahkan, bahwa demokrasi kita tidak mengehendaki kebebasan beraspirasi tanpa adab dan aturan main. Semua harus berlandaskan hukum dan mengutamakan kepentingan nasional. Sehingga, sudah menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara untuk menjaga keharmonsian sosial dan stabilitas nasional. Salah satu caranya arif dan bijaksana dalam menggunakan media sosial. Menyampaikan kritik dan saran kepada pemerntah dengan santun. Tidak menyerang pribadinya. Tapi mengoreksi program dan kebijakannya. Pun demikian dengan aparat hukum, diharapkan lebih bergerak cepat dalam menindak oknum-oknum yang memecah belah bangsa lewat ujaran kebencian. Sebab, hal itu mengancam keutuhan bangsa dan negara kita. Akhir kata, mari kita rawat dan jaga bersama kerukunan dan keharmonisan ini dengan cara beradab dalam beraspirasi.