Inilah kisah di antara lalakian
Handak babini jual tanah pahumaan
Nangitu ngarannya tapabini padaringan
Tabungul pada sapi tapintar pada hadupan
Bagawi kada umpat lawan kuitan
Pacanglah sakit rumah tangga bahancuran
Maka nang babini rancak banar batianan
Kasian bininya mangalaras kakaringan…
Kutipan di atas bagian dari syair madihin yang saya ingat di era 1980-an lalu, yang dibawakan oleh pemadihin Banjar asal Amuntai H Anwar Hadi. Sebelum kemunculan pemadihin modern seperti H Jhon Tralala (alm) dan maestro madihin saat ini H Anang Ahmad Sya’rani, Anwar Hadi cukup terkenal, khususnya di kawasan Hulu Sungai. Madihinnya sering disiarkan di Radio Gema Kuripan Amuntai, isinya penuh humor, namun kaya dengan nilai sosial dan pendidikan.
Pesan madihin di atas dan juga tulisan ini, tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa, ini sebagai koreksi bagi diri, keluarga dan masyarakat kita. Karena apa yang dipesankan tersebut kelihatannya masih berlaku dan relevan hingga sekarang, bahkan belum akan hilang untuk beberapa dekade ke depan.
Kita sering melihat di sekitar kita orang-orang tua, lelaki atau perempuan, masih bekerja keras mencari nafkah, padahal mereka memiliki anak-anak yang sudah dewasa. Kemungkinan hal itu terjadi, karena: Pertama, orang tua itu memang ingin mandiri, tidak mau membebani anak-anaknya, yang mungkin sudah berkeluarga. Bagi mereka ini, sepanjang masih bisa bekerja, akan terus bekerja. Kedua, orang tua bekerja karena memang dituntut oleh keadaan, karena nafkah hidupnya tidak ada yang menjamin, sementara anak-anaknya juga hidup susah. Ketiga, ini yang lebih parah, anak-anaknya yang sudah dewasa, sudah punya istri dan anak, namun tidak bekerja. Bahkan tinggal serumah, ikut menumpang dengan orangtua, ikut makan, minta uang rokok dan belanja. Sehari-harinya hanya menganggur menghabiskan waktu, tanpa kreasi dan produksi sama sekali.
Faktor kedua dan ketiga di ataslah yang menyebabkan banyak orang tua terpaksa bekerja sampai hari tuanya, nyaris tidak sempat lagi beristirahat, kecuali setelah “diistirahatkan” oleh Allah SWT melalui kematian.
Lemahnya Pendidikan
Pendidikan adalah senjata ampuh untuk mengubah dunia, demikian kata pejuang Afrika Selatan mendiang Nelson Mandela (1918-2013)/BPost 17/10/2020.
Pendidikan tak hanya mengubah dunia, tapi pendidikan juga mampu mengubah bangsa, masyarakat, keluarga bahkan individu orang itu sendiri. Mengapa banyak anak yang sudah dewasa tak bisa membantu orangtuanya, atau malah membebani orangtuanya, sering disebabkan pendidikan mereka rendah sekali. Selagi muda mungkin orangtua terlalu memanjakannya, sehingga anak mau sekolah atau tidak, tidak dipersoalkan, tidak dimarahi. Seharusnya orangtua memaksa anak agar sekolah, karena pendidikan hakikatnya untuk masa depan anak itu sendiri. Apabila orang tua abai akan hal ini, maka risikonya ia akan bekerja keras seumur hidupnya. Tak akan ada istirahat meski saat usia sudah tua, tulang keropos dan badan sangat lelah.
Bukan itu saja, anak yang sudah dewasa tapi tidak bekerja, juga akan menggerogoti harta orangtuanya. Ketika akan kawin, mereka mungkin akan memaksa orangtua menjual tanah pahumaan (sawah) atau kebun, atau pekarangan, yang sekian lama menjadi sumber penghasilan keluarga, atau mungkin juga merupakan harta warisan orangtuanya juga. Setelah punya istri dan anak, tapi tetap tidak bekerja, maka apa saja harta orangtua akan terus dipreteli, baik karena keinginannya sendiri maupun desakan istrinya akibat kebutuhan hidup. Belum orangtua mati, biasanya mereka sudah memikirkan menjual harta warisan yang tidak seberapa, bahkan mungkin satu-satunya. Tidak ada lagi rasa sayang terhadap harta.
Orang dewasa yang membebani orangtua, umumnya di saat muda malas sekolah, suka bolos, akhirnya berhenti dan tidak beroleh ijazah. Mereka tidak menggunakan kesempatan, seharusnya selagi orangtuanya kuat bekerja, selagi mampu membiayai sekolah/kuliah, dan selagi usia muda, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk sekolah/kuliah. Karena kalau sudah dewasa dan usia beranjak tua, apalagi sudah berkeluarga, sulitlah untuk sekolah. Ketika itu orang sering menyesal, namun penyesalan tidak lagi berguna.
Meskipun bukan segala-galanya, pendidikan sangat penting bagi kehidupan manusia. Orang dan keluarga yang berpendidikan, Insyaallah hidupnya lebih terjamin, meskipun tidak memiliki harta yang banyak. Allah SWT akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan (berpendidikan) beberapa derajat. Dari pendidikan orang beroleh kebijaksanaan, pengetahuan dan keterampilan untuk hidup mandiri, juga ijazah untuk bekerja di sektor formal, pegawai negeri atau karyawan swasta.
Saking pentingnya, sekarang ini untuk sekadar menjadi petugas sekuriti masjid saja, ada yang mewajibkan harus tamat SMA/sederajat dengan ijazah sekolah reguler bukan paket. Apalagi instansi dan perusahaan swasta yang bonafid banyak sekuritinya sarjana dan berpengalaman. Memang ijazah tidak menjamin orang bisa bekerja yang cocok dan dengan penghasilan layak, tetapi setidaknya ijazah menjadi tiket masuk untuk bekerja dan syarat melamar pekerjaan. Tanpa ijazah juga bisa bekerja apa saja asalkan tidak gengsi dan malas, namun persoalannya banyak orang kita yang gengsi bekerja kasar.
Investasi Abadi
Pendidikan menjadi investasi bagi orangtua sekaligus bagi anak. Orangtua yang rela bersakit-sakit dahulu untuk menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang memadai, Insyaallah akan menjalani hari tuanya dengan happy ending. Penceramah kondang dari Makassar Dr. K.H. Das’at Latif, MA, sambil guyon mengatakan, ibunya saat ini berpenghasilan Rp 17 juta per bulan, sebab dari 17 orang anaknya masing-masing mampu memberi Rp 1 juta. Tentu hal ini luar biasa, tapi kalau tidak sampai ke sana paling tidak anak-anak yang sudah dewasa tidak membebani orangtuanya. Biasanya orangtua baru akan minta uang kepada anak kalau benar-benar terpaksa.
Anak yang berpendidikan, selain kemungkinan akan mampu menyayomi orangtuanya secara materi, mereka juga akan menjadi anak yang berbakti, baik selama orangtuanya masih hidup maupun sesudah meninggal dunia. Anak saleh/salehah mengalirkan pahala untuk orangtuanya tanpa henti.
Pendidikan di sini tentunya termasuk pendidikan agama, yang menghasilkan karakter, sifat-sifat terpuji dan akhlak mulia. Karena ada pula anak-anak yang berpendidikan tetapi tetap durhaka pada orangtuanya, mungkin juga karena lemah agama atau pengaruh istrinya.
Ust Ahmad al-Habsyi menceritakan kisah nyata, Dr Wail dari sebuah Negara Arab, sukses menjadi dokter spesialis setelah kuliah di Perancis atas biaya orangtuanya yang nekad menghabiskan harta demi anaknya. Setelah sukses, Wail yang beristeri orang Eropa kembali ke tanah airnya. Sekian lama bekerja ia tambah sukses di negeri asalnya. Namun di saat sama ia menelantarkan kedua orangtuanya dan satu kali pun tidak pernah menjenguknya, sehingga mereka terpaksa tinggal di rumah kontrak.
Ketika suatu hari tanpa sengaja bertemu, Wail dan istrinya cuek saja, bahkan ingin cepat menghindar. Ayah ibunya keceplosan melaknatnya, akhirnya Wail dan istrinya tewas dalam sebuah kecelakan tunggal saat pergi ke tempat wisata. Cerita legenda Raden Penganten di Pagat Batu Benawa Barabai, dan Malin Kundang di Pantai Air Manis Padang, masih menjadi realita dan bisa terulang kapan saja. Na’udzu billahi min dzalik.