Banjarmasin, Kalimantanpost.com – Hebusan atas dugaan perjadin (perjalanan dinas) fiktif oleh sejumlah oknum Anggota DPRD Kabupaten Banjar, yang tengah hangat diperbincangkan, tak lepas dari sorotan Pakar Politik dan Ahli Pemerintahan asal Kota Banjarmasin Frof Dr Muhammad Uhaib As’ad.
Uhaib begitu sapaan karibnya mengomentari, kejadian yang tengah hangat di lingkungan DPRD Kabupaten Banjar itu merupakan praktik kejahatan politik yang dilakukan para politisi dengan memanfaatkan kesempatan dan posisi jabatan sebagai politisi melakukan korupsi berjamaah.
“Korupsi berjamaah ini bisa terjadi karena adanya kesepakatan jahat dalam struktur kekuasaan untuk mendapatkan uang korupsi secara individu dan kelompok,” kata Uhaib.
Ia menjelaskan kasus itu sebagai cerminan dari rusaknya mentalitas sebagai politisi dan degradasi moral-etika politik.
Rusaknya mentalitas itu pun kata Uhaib berdampak pada kekacauan moral politik dari oknum politisi sebagai masalah struktural yang tidak berdiri sendiri tetapi berada dalam ruang pembusukan politik.
Uhaib memaparkan proses pembusukan politik mengiringi proses demokrasi berbiaya tinggi menjadi salah satu faktor membuka struktur kesepakatan bagi para politik menjadi pedagang politik atau merentalkan jabatan sebagai politik ke dalam ruang koruptif (elite capture Corruption).
“Hal ini terjadi karena proses demokrasi sudah berubah fungsi menjadi arena pasar gelap demokrasi (black market of demokrasi) yang transaksional.
Politik transaksional mengirim proses demokrasi telah menutup hati nurani para politisi untuk mewakili kepentingan politik publik,” jelasnya.
Karena itu kata Uhaib, para politisi justru jadi pedagang dan terperangkap dalam labirin keserakahan dan praktek manipulasi dan politik fiktif.
Kasus perjalan dinas fiktif yang dilakukan oleh sejumlah oknum anggota DPRD Kabupaten Banjar itu sebagai persoalan struktur dari suatu bangunan politik Oligarki.
“Bangunan politik oligarki yang terstruktur ini telah merusak proses demokrasi karena kuasa uang telah menjadi parameter etis menggerakkan oknum itu,” ungkapnya.
“Uang telah menjadi parameter etis menggerakkan proses demokrasi oligarki. Pada akhirnya para politisi menjadi pedagang politik salah satu modusnya adalah melakukan korupsi berjamaah,” tambah Uhaib.
Ia pun menyimpulkan, hal tersebut adalah masalah sistem oligarki kapitalis yang telah merusak demokrasi saat ini. Politisi koruptif adalah dampak dari politik busuk yang sedang berjalan dan tidak terkendali lagi.
Pada sisi lain sambungnya, Pragmatisme politik warga juga menjadi faktor memberikan kesempatan bagi para politisi melakukan kejahatan politik.
“Politik uang dan perilaku pragmatise politik warga pada saat kontestasi demokrasi menjadi hal biasa dan di era kapitalis demokrasi saat ini,” tutupnya.
Waspada
Diketahui, kasus perjadin yang oernah terjadi tak tuntas sampai pengadilan dan perlu waspada lagi, karena anggaran untuk Tahun 2025 ada kisaran Rp 30-35 Miliar.
Perjadin diduga berbau korupsi pernah dilakukan oknum di DPRD Kabupaten Banjar periode 2014-2019 dan periode 2019-2024, namun tak tuntas hingga sampai proses di pengadilan setempat.
Kasus yang sempat ditangani pihak Kejari Banjar, dengan penanggilan sejumlah oknum, ada barang bukti serta permintaan bukti atas kerugiuan negara yang ditimbulkan atas smeua itu.
Namun berujung terhenti dengan alasan jika menemukan bukti baru lagi, kembali disusut.
Namun hingga kini tak terdengar pengusutan lanjutan.
Dari itu pula, diduga kembali terulang atas dugaan yang sama dilakukan oknum dalam perjalan ke Kalimantan Tengah (Kalteng), baru-baru ini. (sfr/K-2)