Prabowo Subianto mulai tancap gas untuk merancang dan merealisasikan target pertumbuhan ekonomi 8% selama lima tahun pemerintahannya. Salah satu ikhitar yang mulai mengemuka ke publik adalah dengan menggenjot industri yang padat karya. Industri yang mampu membedayakan dan menyerap banyak tenaga kerja. Salah satunya, henat penulis, yaitu dengan meningkatkan geliat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebab, sudah terbukti, selain menjadi penopang perekonomian nasional, UMKM mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun lalu, seperti yang dilansir di laman kadin.id, jumlah pelaku UMKM mencapai 66 juta. Kontribusinya terhadap pendapatan domestik bruto mencapai Rp9.580 triliuan. Tidak hanya itu, sektor UMKM juga mampu menyerap 117 juta tenaga kerja atau 97% dari total tenaga kerja. Sehingg dalam hal ini, kita sepakat bahwa potensi UMKM sangat besar dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional.
Hanya saja, kondisi di lapangan, sejumlah persoalan mengenai UMKM menuntut perhatian stakeholder untuk segera dituntaskan. Mulai dari problematika mengenai literasi digital, pembiayaan, pemasaran, sumber daya manusia (SDM), legalitas dan perizinan, branding, fasilitasi, pembinaan, dan sebagainya. Kiranya, hal itu menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Prabowo-Gibran untuk benar-benar menetapkan strategi jitu untuk mendongkrak daya saing UMKM. Tentu golnya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Umumnya, setiap pemerintahan hanya mengucurkan sejumlah bantuan alat produksi terhadap UMKM dan uang tunai sebagia modal usaha. Ditambah lagi sejumlah pelatihan dan pembinaan yang tujuannya untuk meningkatkan kapasitas SDM. Namun, sayang seribu sayang, hanya sebatas itu. Tidak ada kontrol yang sistematis dan berkelanjutan terhadap penerima bantuan tersebut. Sehingga, tidak sedikit yang memanfaatkan ‘belas kasihan’ pemerintah tersebut untuk kepentingan yang sama sekali tdiak ada sangkut pautnya dengan usaha yang digelutinya. Semisa digunakan untuk membayar cicilan kendaraan, membayar utang, membeli kebutuhan pokok, dan sebagainya. Jika bantuan berupa alat produksi, ada juga yang menjualnya lagi untuk kebutuhan rumah tangganya. Itu tandanya ada penyalahgunaan bantuan. Maka dipastikan, bantuan tunai dan alat produksi tersebut tidak berdampak signifikan untuk meningkatkan produksi UMKM agar lebih efektif dan efisien.
Jika memang tidak bisa mengontrol langsung penggunaan bantuan, alangkah baiknya jika menggunakan jasa pihak ketiga yang profesional dan kompeten dalam mengawasi. Sehingga, ada laporan dan pertanggungjawaban tentunya. Bukan sekadar mengucurkan bantuan lalu hilang tanpa bekas. Seolah-olah tidak mau repot. Seakan-akan hanya bersifat formalitas tanpa adanya kesungguhan untuk memberdayakan UMKM. Sebab, kadang sebagian masyarakat kita perlu diedukasi secara terus menerus sampai benar-benar sadar terkait penggunaan bantuan tersebut. Satu lagi, di era sekarang, saya rasa perlu lebih ditekankan lagi bagaimana pelaku UMKM agar lebih memahami literasi digital dalam tata kelola usahanya.
Sebab, tidak zaman sudah beruabah. Muncul cara-cara baru dalam produksi, distribusi, hingga promosi produk/jasa yang ditawarkan ke konsumen. Apalagi, persaingan dunia usaha sekarang semakin kompleks dan kompetitif. Menjadi sebuah keharusan bagi pelaku UMKM untuk berpikiran terbuka dan bersedia untuk lebih peka serta adaptif terhadap perubahan zaman. Apalagi, pelaku UMKM yang mampu memanfaatkan teknologi digital, bisa memangkas segala jenis biaya dalam proses produksi hingga promosi. Sebab, teknologi digital membuat jarak yang jauh semakin dekat. Seolah-olah ruang dan waktu bisa dilipat sedemikian rupa. Bahkan, hanya bermodalkan smartphone, tanpa memiliki produk, kita bisa berjualan apa saja dan menawarkan kepada siapa saja di belahan dunia mana pun. Ini tergantung kemauan dan kejelian pelaku UMKM dalam membaca kesempatan yang ada.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Naidu dan Chand (2021), literasi digital merupakan kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital secara efektif dan bertanggung jawab. Dalam konteks UMKM, literasi digital meliputi keterampilan menggunakan media sosial (medsos) seperti Facebook, Instagram, Telegram, Twitter, dan sebagainya, untuk pemasaran, menggunakan aplikasi e-commerce (Bukalapak, Shoope, Lazada, dan sebagainya) untuk memperluas jangkauan pasar, serta menganalisis data secara digital untuk mengambil keputusan bisnis. Kemampuan literasi digital ini bisa membantu pelaku UMKM untuk menekan seefisen mungkin biaya operasional, meliputi biaya biaya produksi, distribusi, dan promosi. Tidak hanya itu, dengan meningkatkan kemampuan litetasi digital, pelaku UMKM bisa meningkatkan daya saing dan produktivitasnya.
Survei Indeks Literasi Digital UMKM oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang sekarang menjadi Komenterian Komunikasi dan Digital (Komdigi), yang dirilis Maret 2023, mengungkapkan bahwa tingkat literasi digital di kalangan UMKM di Indonesia mencapai 38,7%. Angka tersebut, perlu digenjot lagi mengingat pentingya pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan literasi digital di kalangan UMKM untuk mendongkrak usahanya. Tentu perlu kembali didukung dengan beragam program yang lebih variatif dan inovatif dari pemerintah untuk memantik kesadaran pelaku UMKM agar segera go digital.
Di tengah gempuran masifnya digitalisasi inilah UMKM diharapkan merespon dengan lebih cepat dan adaptif. Sebab, teknologi digital ini pasti bergerak maju. Siapa saja yang enggan untuk beradaptasi dengan kemajuan zaman, maka bersiap-siaplah ketinggalan zaman. Sebab, era digital telah mengubah pola-pola hubungan antara konsumen dan produsen. Saat ini, semua terkoneksi dalam ekosistem digital. Pasar-pasar di dunia nyata mulai sepi. Beralih ke dunia maya. Sebab, hanya bermodalkan smarphne dan jaringan internet, kita bisa memesan segala keperluan hidup dari ruang kamar. Pola semacam inilah yang membentuk hubungan baru antara konsumen dan pelaku UMKM. Maka perlu inovasi tiada henti dan daya kreativitas tingkat tinggi untuk mengendus dan mengeksplorasi beragam kemunkinan peluang yang bisa dijajaki. Perlu keberanian untuk mengambil risiko. Sebab, begitulah memang watak seorang pengusaha. Tentu keberanian yang disertai kalkulasi yang matang. Bukan hanya modal nekad tanpa ilmu dan pengetahuan,
Sekali lagi, pelaku UMKM di era sekarang, kiranya perlu menyelami betul bagaimana cara memanfaatkan teknologi digital dalam membranding dan mempromosikan usahany, dalam membangun hubungan yang lebih dekat dengan konsumen/pelanggan, dalam memamngkas biaya produksi, dan semacamnya. Kecerdasan dalam memahami kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman di era digital perlu terus menerus diasah dan dikembangkan. Itu pun kalau pelaku UMKM ingin bisa bertahan dan berkembang terus mengikuti gerak zaman. Literasi digital akan menjadi bekal dan sekaligus senjata yang cukup ampuh untuk mengarungi semakin sengitnya dunia usaha sekarang. Saya optimistis, UMKM di Indonesia akan bergerak ke arah kemajuan. Tentu juga dengan saling sinergi dan kolaborasi.