Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Aturan Islam Terkait Pajak Agar Rakyat Sejahtera

×

Aturan Islam Terkait Pajak Agar Rakyat Sejahtera

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Aniyah, S.Pd
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.

Meskipun pemerintah meyakinkan PPN 12% hanya untuk barang mewah, fakta di lapangan harga-harga barang lain tetap naik. Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena ketidakjelasan di awal akan barang yang terkena PPN 12%, sehingga penjual memasukkan PPN 12% pada semua jenis barang.

Baca Koran

Ketika harga sudah naik tak bisa dikoreksi meski aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja. Sementara negara nampak berusaha untuk cuci tangan dengan didukung media partisan. Hal itu terlihat dari pernyataan Menteri Keuangan bahwa pemerintah memastikan paket kebijakan insentif dan stimulus tetap diberlakukan meskipun kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah (tempo.co).

Adapun paket kebijakan insentif dan stimulus yang diberikan pemerintah, antara lain pajak penjualan rumah seharga Rp2 miliar akan ditanggung 100 persen oleh pemerintah, insentif PPN untuk kendaraan hybrid dan kendaraan listrik. Kemudian pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun tidak perlu membayar PPh. Selain itu, ia juga menyebut insentif lainnya, yakni diskon listrik 50 persen untuk pelanggan di bawah 2.200 VA (tirto.id).

Dengan menyebutkan berbagai kebijakan insentif dan stimulus pemerintah mengklaim program bantuan tersebut untuk meringankan hidup rakyat. Tampak sekali negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak kepada rakyat, namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat. Padahal, sudah maklum diketahui kenaikan pajak pasti akan membuat ekonomi rakyat tertekan. Bantuan-bantuan pemerintah hanya bersifat temporer yang sama sekali tidak menghilang beban masyarakat. Kebijakan ini menguatkan profil penguasa yang populis otoriter.

Seperti inilah profil pemimpin dalam Kapitalisme. Kapitalisme membuat negara menjadi tujjar (pebisnis) untuk rakyat. Konsep kepemimpinan ini menghasilkan penguasa krisis empati dan kasih sayang kepada rakyat. Mereka tega mengeluarkan kebijakan yang menambah penderitaan rakyat. Sistem Kapitalisme telah nyata membuat masyarakat hidup dalam kesengsaraan dan jauh dari kata sejahtera.

Baca Juga :  Orientasi Hidup

Realitas kehidupan seperti ini menuntut adanya perubahan atas profil penguasa yang shalih sebagai pemimpin. Tentu saja bukan pemimpin yang dicitrakan baik dan mengurus rakyat layaknya sistem Kapitalisme hari ini. Profil penguasa yang shalih akan mampu mengemban amanah sebagai raa’in (pengurus) rakyat seperti yang diperintahkan Rasulullah SAW: “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Sehingga kepemimpinannya akan membawa kerahmatan dan kebaikan untuk rakyatnya. Syaikh Taqiyuddin an Nabhani seorang ulama pendiri partai Islam ideologis dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah Jilid II pada bab “Tanggung Jawab Umum” menjelaskan bagaimana tanggung jawab seorang pemimpin terhadap dirinya sendiri dan rakyat agar menjadi sosok pemimpin yang shalih. Tanggung jawab penguasa yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dipenuhi dalam diri seorang penguasa ialah dia harus memiliki kekuatan, ketaqwaan, kelemah lembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati.

Kekuatan yang harus dimiliki penguasa adalah kekuatan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), yakni aqliyyah (pola pikir) dan nafsiyyah (pola sikap) yang dipengaruhi Islam. Kekuatan ini akan melahirkan seorang pemimpin yang memiliki kekuatan akal yang mumpuni, juga sikap kejiwaan yang tinggi, yaitu sabar, tidak emosional ataupun tergesa-gesa dalam membuat kebijakan. Ketika membuat kebijakan akan fokus pada kemaslahatan yang mampu menyejahterakan rakyat.

Sikap yang juga harus dimiliki penguasa adalah ketakwaan. Kekuatan kepribadian Islam yang dibalut dengan ketaqwaan membuat pemimpin selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Penguasa seperti ini cenderung untuk taat pada aturan Allah Ta’ala. Semisal terkait pajak, pemimpin dalam Islam akan mengikuti aturan Islam. Pemimpin hanya diperbolehkan memungut dharibah pada kondisi tertentu yang sifatnya temporer sebagaimana ditentukan syariat.

Kesadaran pemimpin dalam melayani rakyat atas dasar dorongan keimanan membuat penguasa akan bersikap lembut terhadap rakyatnya. Dia tidak akan bersikap antipati pada rakyat dan tidak membuat rakyat menderita, sebagaimana pemimpin Kapitalisme hari ini. Apalagi syariat Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan aturan Islam.

Baca Juga :  Strategi Kendalikan Inflasi Dampak Kenaikan Harga Bahan Pokok

Alllah mengancam penguasa yang melanggar aturan Allah dan berhukum selain hukum Allah dengan sebutan sebagai orang-orang kafir berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 44. Sebagai orang-orang fasik berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 45, dan sebagai orang-orang dzalim berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 47.

Dengan profil pemimpin seperti ini dia akan dicintai rakyatnya dan dia pun dicintai rakyat. Beginilah sosok pemimpin yang lahir dalam sistem Islam, negara Khilafah. Bukankah pemimpin seperti ini yang diinginkan oleh rakyat?

Yang membedakan sistem Islam dengan sistem lain saat ini adalah adanya pertanggungjawaban dunia dan akhirat, inilah yang disebut dengan ketakwaan. Dengan adanya pertanggungjawaban di akhirat, pemimpin akan selalu terikat dengan ketentuan Allah SWT dalam menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan. Keberadaannya sebagai pemimpin didedikasikan sepenuhnya untuk melayani umat sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Daud).

Dalam Islam, tugas negara adalah mengatur berbagai urusan seluruh warga negaranya, Muslim maupun non-Muslim dengan syariah Islam. Seperti menjamin kebutuhan hidup, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, menyediakan fasilitas kesehatan yang layak dan cuma-cuma untuk semua warga tanpa memandang kelas ekonomi. Negara mengelola sumber daya alam milik rakyat (seperti tambang minyak, gas, batu bara, mineral, emas, perak, nikel, dan lain-lain) agar bermanfaat bagi segenap warga negaranya. Negara tidak boleh membiarkan sumber daya alam milik rakyat dikuasai swasta, apalagi pihak asing. Sebab, Islam mewajibkan penguasa sebagai raa’in yang mengurus rakyat sesuai dengan aturan Islam, dan membuat rakyat sejahtera.

Iklan
Iklan