oleh: Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Keagamaan
ADA kalangan berpendapat, sekarang banyak di antara kaum intelektual berkhianat terhadap nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, akal sehat, demokrasi dan reformasi diperjuangkan sebelumnya. Pemilik gelar magister, doktor dan professor sudah ratusan ribu bahkan jutaan, tapi negara tidak baik-baik dan rakyat tak kunjung disejahterakan dengan prinsip keadilan. Karena berbagai godaan, masuk dalam lingkaran kekuasaan, ingin mendapatkan materi, atau ingin aman, mereka terkooptasi oleh kepentingan jangka pendek dan tidak berani bersuara kritis. Akhirnya tidak setia lagi dengan komitmen intelektualitasnya.
Masalah ini perlu kita prihatinkan, karena kecenderungan ini adalah sebuah realpolitik dan sosial yang sukar dibantah dan cenderung general. Ketidaksetiaan pada nilai-nilai tidak saja membahayakan pelakunya, juga merugikan masyarakat. Generasi muda dan masyarakat awam akan kehilangan kepercayaan dan identifikasi sebab nilai kebenaran dan kebohongan sudah rancu. Dalam bahasa vulgar, sulit dibedakan pejabat dengan penjahat, sehingga muncul istilah penjahat berdasi, white crimer, politikus kotor, dan lain-lain.
Itu semua tentu bukan perkara baru, karena dalam setiap zaman selalu ada yang berperilaku demikian. Baik di ranah agama, ekonomi, budaya dan politik, entah di barat atau timur, hal demikian selalu muncul. Mungkin hanya sifat, bentuk dan aksesorinya yang berbeda. Yang penting, kalau bisa, kita tidak termasuk di dalamnya.
Moral dan Agama
Di barat yang merupakan gudangnya kaum intelektual, pengkhianatan lebih banyak terjadi pada sisi moral. Dunia pendidikan dan sosiologi tentu mengenal Jan Jacques Rousseau. Ia sangat berobsesi mewujudkan masyarakat yang baik, sebab menurutnya pada dasarnya semua manusia itu baik. Tetapi kehidupan pribadi Rousseau bertolak belakang dengan ide-idenya humanis sosialnya. Ia seorang yang sangat menyintai diri sendiri, benci dan masa bodoh dengan orang lain, termasuk keluarganya sendiri. Semua anaknya ia buang ke Foundling Home, rumah penampungan anak-anak terlantar yang orangtuanya tidak jelas. Ini kontras dengan nilai-nilai luhur dan cinta kasih yang ia tulis dalam karya-karyanya.
Karl Marx juga demikian. Meskipun ide-idenya dalam Das Kapital mengagumkan pembacanya, namun secara pribadi ia kotor, pemarah, pemabuk, pernah berurusan dengan polisi karena mengamuk dengan pistol. Agamanya tidak jelas, semula Yahudi, kemudian Kristen, kemudian atheis dan memusuhi agama. Untuk duduk di kamar tempatnya menulis, merupakan suatu perjuangan berat, sebab kotor dan penuh debu. Anak istrinya dibiarkan terlantar dan dibiayai orang lain.
Penikmat sastra barat pasti tidak melupakan nama besar Ernest Hemingway, pemikir dan sastrawan ulung yang karyanya sangat banyak dan hampir diterjemahkan ke semua bahasa dunia. Dalam karyanya selalu dijunjung nilai-nilai cinta kasih, kesetiaan, kejujuran. Ia beroleh penghargaan Pulitzer bidang fiksi (1953) dan Nobel bidang sastra (1954). Orangtuanya sangat taat beragama, tetapi dalam keseharian Hemingway justru tumbuh sebagai pendusta dan senang bersumpah serapah. Pengakuan istrinya, Hewingway hanya dua kali pernah ke gereja, bahkan sempat memproklamasikan dirinya sebagai atheis. Tuhan baginya adalah ancaman kebahagiaan manusia. Ia menyenangi kata-kata kotor dan kehidupan bebas. Hobinya berzina dan berselingkuh, bahkan dengan teman-teman ibunya, dengan menjual ketampanan.
Lain lagi dengan pemikir sosial-politik Bertrand Russell. Ia seorang penentang perang yang gigih. Tetapi di saat sama ia gencar mendorong pemerintah AS dan Eropa membangun persenjataan bom hidrogen dan segera menyerang Uni Soviet saat itu. Bertrand mengaku tidak percaya kepada Tuhan alias atheis. Tetapi ia begitu antipati dengan Karl Marx, Lenin dll., yang ajarannya sama-sama atheis. Saking bencinya dengan komunisme, ia berujar, better dead than red. Beberapa anomali dan delinkuensi intelektual barat tersebut disorot oleh Paul Johnson, dalam Intellectuals (Islamia, No. 2/2007).
Kalau bergeser ke negeri muslim, anomali banyak terjadi di ranah agama. Ali Abdurraziq di Mesir menyatakan Al Quran, hadits dan ijma’ ulama tidak pernah bicara soal sistem kenegaraan. Nabi Muhammad katanya hanya mengajarkan agama dan moral, tidak ada hubungannya dengan politik, pemerintahan, administrasi, dan lain-lain. Pendapat ini diikuti pula beberapa pemikir lain seperti Taha Hussein. Pemikirannya menuai protes ulama, karena Islam sangat kaya dengan ajaran politik, baik secara nyata melalui praktik Nabi dan para sahabat, maupun secara normatif tertuang dalam Alquran dan Sunnah. Tetapi pemikiran tersebut sangat menyenangkan rezim Mesir saat itu yang memang sekuler dan berada di bawah pengaruh Inggris.
Hal sama dilakukan Sayyid Ahmad Khan di India. Dengan berani ia menyatakan, ayat-ayat Al Quran yang penting hanya yang turun di Mekkah saja, hadits-hadits tidak perlu, jihad tidak relevan lagi, tafsir Alquran harus serba rasio, Isra & Mi’raj tidak rasional, dan agama harus ditarik dari ruang publik. Pemikiran ini tentu sangat menyenangkan kolonial Inggris yang ingin mencabut sistem syariat peninggalan Kerajaan Moghul dan Kesultanan Delhi serta meng-counter perlawanan pejuang kemerdekaan. Sebagai kompensasinya, Ahmad Khan sangat dihormati dan dimanjakan Inggris. Sedikit banyak pemikiran ini mematikan roh jihad di kalangan kaum muslimin, sehingga mereka tidak berani berperang di saat saudara-saudara muslimnya dibantai.
Ekonomi Politik
Di Indonesia, distorsi kaum intelektual lebih banyak terjadi di ranah ekonomi dan politik. Menjelang ordebaru, banyak intelektual muda begitu ideal menyuarakan kebenaran, keadilan dan demokrasi. Tetapi setelah ordebaru berkuasa, dan mereka menikmatinya, dengan mudah nilai-nilai luhur perjuangan ditinggalkan. Akhirnya ordebaru rapuh. Mereka yang mendirikan, mereka pula yang menggerogoti dari dalam, lewat praktik KKN dan dominasi kekuasaan sentralistik yang represif.
Hal sama terulang di era reformasi. Banyak kaum intelektual berdiri di baris depan dengan agenda-agenda reformasi yang menawan dan membuai. Rakyat diberi harapan perubahan, keadilan, kesejahteraan dan pencerahan. Tetapi begitu reformasi mulai berjalan, banyak kaum intelektual menelikung. Yang duduk di kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, tidak sabar untuk segera mereguk kekayaan. Orang-orang yang tidak berjuang dan tidak menghayati reformasi diberi kekuasaan publik. Akhirnya korupsi yang ingin ditanggulangi oleh gerakan reformasi justru banyak terjadi. Sedangkan yang relatif bersih hanya berada di pinggiran, dan kalau masuk kekuasaan cenderung tidak berdaya. Bila nekad menyuarakan kebenaran, tidak saja ditertawakan, bahkan dimusuhi sesama kawan sendiri.
Reformasi jadi matisuri
Jelas tradisi pengkhianatan kaum intelektual sudah lazim terjadi di mana saja, yang ditandai ironi dan pertentangan antara yang disuarakan dengan yang dilakukan. Di negeri ini pengkhianatan lebih dipicu faktor ekonomi ingin kaya, dan syahwat politik ingin berkuasa. Kata-kata dan perjuangan para elit semakin sulit dipegang. Rakyat hanya komoditas, tidak diberdayakan dalam realitas. Banyak orang pintar, tetapi yang jujur langka. Mungkin ini yang diramalkan Jayabaya sebagai zaman edan, sehingga kalau ingin jaya dan kaya harus ikut edan. Tentu saja hal ini tak bisa digeneralisasi, tetapi kecenderungan ke arah itu sukar dibantah
Hidup Sederhana
Mengatasi hal ini sulit, sebab tidak saja kembali kepada orang, juga masyarakat. Kita sudah terlanjur masuk perangkap pragmatisme material. Seorang intelektual (sekolah tinggi atau kuliah) baru dinilai berhasil bila kaya atau berkuasa. Asumsi ini berakibat orang berlomba mengejar kekayaan dan kekuasaan, kalau tidak ingin dikatakan gagal, sekolahnya percuma, dan ilmunya sia-sia. Padahal sejatinya tidak ada sekolah dan ilmu yang sia-sia.
Jika anomali ini ingin diminimalisasi, diperlukan tekad kuat pada person dan perubahan cara pandang masyarakat. Personnya harus tahan godaan, rela hidup susah dan sederhana. Pemikir muslim al-Biruni pernah diberi segerobak emas oleh Khalifah sebagai honorarioum buku-buku karyanya. Tetapi ia menolak, dengan alasan kalau hadiah itu diterima martabat intelektualitasnya menurun dan konsentrasi berpikirnya terganggu. Agama menawarkan hidup zuhud, tidak mendewakan harta, kedudukan dan kekuasaan, merasa cukup dengan yang ada, sabar dalam kesulitan, sebab dunia ini kecil dibanding kenikmatan akhirat. Jadi tidak perlu dikejar bak layangan putus, dan tidak over gembira kalau memilikinya. Jika tidak punya tak usah sedih, karena kekayaan dan kedudukan merupakan ujian berat, yang banyak orang tidak lolos melewatinya.
Keluarga hendaknya mendukung, jangan matre melulu. Kalau suami berpenghasilan minim, istri jangan menagih sesuatu yang mendorong suami menyimpang. Kehidupan ASN yang rela tinggal di rumah sederhana dan hanya punya mobil bekas berharga Rp 100 juta ke bawah, mungkin mampu di-handle gajinya. Tetapi jika nekad punya rumah mewah dan mobil ratusan juta, sementara biaya rutin keluarga juga besar, sangat mungkin terpaksa korupsi.
Orangtua tidak perlu memaksa anak masuk PNS atau pekerjaan lain jika harus main sogok. Pejabat dan calon pejabat tidak usah kasak-kusuk, main sikut dan ber-money politics. Jika itu dilakukan, itulah awal pengkhianatan intelektual mereka, yang akhirnya bisa bemuara ke penjara. Sebab modal besar untuk bekerja dan berjabatan menuntut balik modal bahkan lebih secara illegal.
Masyarakat sudah waktunya mengukur keberhasilan dari nilai-nilai moral baik dan buruk, benar dan salah, manfaat dan mudarat, dunia dan akhirat. Bila ini dilakukan, insyaa Allah kaum intelektual kita akan lebih bermartabat. Wallahu A’lam.