Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan

Iklan
Opini

Menjadi Muslim Maksimalis dan Minimalis

×

Menjadi Muslim Maksimalis dan Minimalis

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh: Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Keagamaan

Allah SWT memuji kaum muslimin generasi pertama era Rasulullah dan sahabat sebagai khaira ummah (umat terbaik). Ini antara lain karena jasa besar mereka terhadap tumbuh dan berkembangnya Islam, komitmennya yang kuat terhadap dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar, jihad serta keimanan yang sangat kokoh kuat bagai batu karang (QS Ali Imran: 110).

Baca Koran

Mereka selalu sam’an wa tha’atan terhadap setiap perintah Allah dan Rasul dan menjauhi berbagai larangan agama. Saking maksimalnya dalam beragama, sampai-sampai Allah dan Rasul menurunkan nash untuk membatasinya. Ketika Rasulullah meminta para sahabat berjihad perang fi sabilillah, sertamerta orang-orang tua yang lemah, wanita dan anak-anak ingin berperang. Para remaja bawah umur juga ingin berperang. Maka Allah turunkan Qs al-Taubah: 122, bahwa tidak usah semuanya berperang, cukup para lelaki yang gagah, kuat dan lapang saja, selebihnya biar istirahat di rumah menunggui keluarga, menafkahi tanggungannya atau menuntut ilmu agama, karena semua itu juga diperlukan untuk dakwah.

Ketika turun perintah shalat dan puasa, lantas ada sahabat yang ingin shalat siang hari malam tanpa istrahat, ada yang ingin berpuasa terus-menerus tanpa berbuka, dan ada yang tidak ingin kawin supaya ibadatnya tidak terganggu. Maka Rasulullah menegur sikap demikian. Sebagai orang paling takut dan takwa kepada Allah, beliau tetap shalat dan istirahat, puasa sambil berbuka dan juga berkeluarga. Sunnah yang benar dan harus diikuti umat adalah seperti dicontohkan Nabi, agama dijalankan tetapi hak-hak tubuh dan keluarga juga harus dipenuhi (Shahih al-Bukhari III/6, 1401 H: 116).

Meskipun para sahabat sudah menjalankan perintah-perintah agama yang berat secara maksimal, seperti berjihad, berhijrah dan mengorbankan harta di jalan Allah, namun di antara mereka tetap saja mencari celah dan sisi kecil amalan yang baik, yang dapat menjadi kunci ke surga. Suatu kali seorang sahabat dari suku badui menemui Rasulullah dan bertanya: manakah Islam yang terbaik. Beliau lalu memberi kiat sederhana: “Beri makan orang yang membutuhkan, menebarkan salam, dan menjalin silaturahim, niscaya engkau akan masuk surga”.

Memberi Makan

Memberi makan, apalagi terhadap orang yang membutuhkan sangat terpuji dalam agama. Kalau tidak sanggup, minimal menganjurkan orang yang sanggup untuk melakukannya. Mengumpulkan dana sosial untuk kalangan dhuafa dan butuh pertolongan juga tinggi nilainya. Wujud dari memberi makan ini banyak sekali bentuknya; bisa dengan memberi uang, bahan sembako, santunan, memberi pekerjaan, termasuk menjamu dalam acara selamatan, mengajak tamu dan kenalan makan bersama dsb. Semua itu tanpa harus dibatasi, dalam arti kenalan atau bukan, muslim atau bukan, semuanya berhak. KH Gazali Mukeri mengatakan, syarat memberi makan di sini, niatnya harus ikhlas, makanan yang disajikan halal menurut yang memberi (walaupun ada nonmuslim ikut makan), dan tidak berlebihan apalagi mubazir.

Nabi Ibrahim AS dahulu sangat dipuji Allah karena salah satu kelebihan beliau adalah suka memberi makan siapa saja. Setiap hari beliau perintahkan ratusan hamba sahayanya untuk menyebar, mencari dan mengajak orang-orang yang bisa diberi makan ke rumah. Satu orang saja dapat, maka sang hamba akan dibebaskan. Karena itu hampir tiada hari dalam hidupnya Ibrahim makan sendirian, melainkan selalu ada teman dari berbagai pelosok dan lapisan masyarakat. Suatu hari ada orang tua berusia 60 tahun ikut makan. Seperti biasanya, Ibrahim suruh membaca basmalah bagi orang-orang yang mau makan. Orang tua itu kebingungan dan enggan, ia tidak tahu apa itu basmalah, karena kebetulan ia musyrik. Ibrahim tetap menyuruh dan ingin membimbingnya membaca basmalah. Saat itu Allah turunkan wahyu menegur Ibrahim, bahwa kalau mengundang orang makan, tidak usah pakai syarat dan diusik-usik keyakinan atau agamanya. Allah yang sudah memberi makan semua makhluk, tidak pernah memilih-milah mana yang muslim mana yang musyrik, yang atheis, bah
kan semua binatang tetap Allah berikan rezekinya. Sebagai al-Razzaq Allah selalu memberi rezeki kepada semua makhluk yang melata di bumi.

Baca Juga :  Maraknya Generasi Sandwich, Dimana Peran Negara?

Dalam menghormati dan mengayomi sesama agama, cukup digunakan konsep muslim minimalis (meminjam istilah Prof Dr H Kamrani Buseri, MA). Bahwa kalau seseorang sudah bersyahadat, sudah memadai untuk dianggap sama dengan muslim lainnya. Tidak perlu diteliti shalat dan puasanya seperti apa. Bahkan orang maksiat dan fasiq pun bila sering dibantu dan diayomi, sering menjadi sadar, sebab kemaksiatan, kejahatan, kefasikan, sering disebabkan karena kemiskinan, urusan perut dan tidak adanya kepedulian dari sesama.

Nabi Muhammad SAW juga sangat suka memberi makan siapa saja, terlebih orang yang tak mampu. Tidak jarang pemberian orang, diberikan lagi kepada orang yang lebh membutuhkan. Sering sekali beliau berpuasa dan makan sangat sedikit dan sederhana, karena lebih mengutamakan orang lain.

Almarhum Guru Sekumpul KHM Zaini Ghani sering menganjurkan para tetangga agar menjamu dan memfasilitasi jamaah pengajian Sekumpul sesuai kemampuan. Itu sebabnya di Kompleks Sekumpul tidak ada hotel atau wisma. Sekarang Guru Sekumpul sudah lama wafat. Yang ada sekarang haulnya yang selalu ramai. Ratusan ribu bahkan jutaan jamaah jauh atau dekat hadir, bermalam dan mampir di rumah-rumah penduduk. Rest area tersebar di mana-mana. Ada yang diberi fasilitas bermalam, istirahat, makan, minum, mandi, buang air, pengobatan, perbengkelan, dll, semuanya secara sukarela. Keteladanan seperti ini tentu perlu kita lestarikan di mana dan kapan saja.

Menebarkan Salam

Rasulullah SAW menyuruh umatnya saling mengucapkan salam terhadap sesamanya, baik kenal mauun tidak kenal. Maka para sahabat pun saling berlomba mengucapkan salam, sehingga biar mereka berpisah sedikit saja, mereka selalu mengucapkan salam, karena di situ ada doa. Mengucapkan salam hukumnya sunat, tetapi menjawabnya wajib.

Kalimat standar salam adalah seperti yang kita kenal sekarang. Suatu ketika Allah menyuruh Nabi Adam menemui malaikat Jibril. Adam menyampaikan salam padanya: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Lalu dijawab Jibril: Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Salam dan jawab salam seperti inilah yang ditetapkan Allah sebagai standar, karena makna yang dikandungnya sangat mulia. Karena itu sebaiknya mengucapkan salam tidak sepenggal-sepenggal. Kalau ada yang ada bersalam sepenggal, misalnya Assalamu’alakum saja, maka yang menyahut hendaknya menjawab dengan lengkap seperti di atas.

Baca Juga :  Pemuda dan Sihir Medsos

Lantas bagaimana dengan salam resmi yang bermacam-macam; ada selamat pagi, selamat siang, sore, malam, salam sejahtera, salam olah raga, dst. Inti atau maksud kalimat itu sebenarnya doa dan salam juga. Jika mengacu kepada qaidah fiqih: Maqashid al-lafzh ‘ala niat al-laafizh (maksud lafazh tergantung niat orang yang mengucapkan), maka salam-salam tsb hakikatnya sama dengan salam dalam agama, tetapi tidak sesuai standar sunnah. Jadi pahalanya juga ada tetapi tidak sebesar salam menurut sunnah.

Salam selain pertanda hormat juga menandung doa. Karena itu ucapan semisal salam juga disunatkan. Imam Abu Hanifah suatu kali mendengar orang bersin di seberang sungai yang cukup nyaring, sambil mengucap hamdalah. Karena suara beliau tidak cukup nyaring untuk membalasnya, beliau lalu menyewa sampan untuk menyeberang. Setibanya di depan orang itu beliau menjawab: yarhamukallah, dan orang itu pun menjawab lagi: yahdikumulah. Begitulah cara orang dahulu sangat mengutamakan salam dan saling mendoa untuk mengejar kemuliaan beragama. Tidak seperti sekarang di mana ucapan-ucapan seperti itu sudah banyak dilupakan. Bahkan orang atau tetangga yang bersin terlalu nyaring dan bersuara aneh malah ditertawakan.

Salam dalam arti luas, juga menyelamatkan orang lain lewat perbuatan dan lisan. Sebuah hadits menyatakan, muslim yang benar itu ialah jika orang lain selamat dari gangguan tangan dan lidahnya. Hadits lain mengatakan, Rasululah menjamin orang akan masuk sorga bila mampu memelihara apa yang ada di antara dua tenggorokannya (lidah) dan apa yang ada di antara dua pahanya (kemaluan). Memelihara lidah berarti senantiasa berucap baik (nasihat, zikr, shalawat, membaca Al Quran, bacaan bermutu dan sejenisnya) dan menjauhi ucapan buruk seperti ghibah, namimah, adu domba, dusta, sumpah palsu, dll.

Menjalin silaturahim

Dewasa ini semakin banyak media untuk menjalin silaturahim tidak langsung seperti surat, telepon, SMS, WA, radio, kiriman paket, dsb. Tetapi kunjungan langsung tatap muka tetap lebih utama dan lebih banyak pahalanya, sebab membutuhkan pengorbanan waktu tenaga dan biaya yang tidak sedikit.

Bersilaturahim tidak saja berhallo-hallo, saling menanyakan kabar, berkunjung dan jabat tangan, bahkan banyak pula yang berpelukan ala Tinky Winky, Lala, Dipsy dan Poo dalam serial Teletubbies. Tetapi yang sangat penting saling bantu sesuai kemampuan. Sekarang ini silaturahim banyak terabaikan atau terdistorsi. Orang kaya dan berkedudukan hanya bersilaturahim sesamanya saja, sedangkan saudara, keluarganya dan warga tidak mampu dilupakan. Menurut Abu Laits Samarqandi, ketika orang mampu, kaya, berkedudukan, melupakan keluarganya di bawah, tidak memperhatikan, tidak membantunya, maka itu sesungguhnya sudah memutus silaturahim yang dilarang agama. Jadi putusnya silaturahim, bukan terbatas tidak bertegur sapa selama tiga hari, tetapi dalam arti luas juga berupa sikap acuh tak acuh, pelit dan menjaga jarak dalam pergaulan.

Akhirnya semoga kita dapat menjalankan sunnah sederhana ini sesuai kemampuan. Dan sesuai pesan A’a Gym, dimulai dari yang kecil, dari diri kita sendiri dan dari sekarang, tanpa menunggu nanti. Amin.

Iklan
Iklan