oleh: Noorhalis Majid
JANGAN sembarang memperlakukan sungai, karena datu orang Banjar – Putri Junjung Buih, muncul dari dasar sungai. Jangan anggap sungai sekedar saluran air biasa, perlu diketahui sungai menjadi bagian dari alam bawah laut yang tak terbatas, tempat berhuni para datu tak kasat mata.
Jangan membuang apapun di sungai yang membuatnya menjadi kotor, di sungai itu ada datu buaya putih dan datu buaya kuning. Di sungai Kuin, persis di pertigaannya, dahulu terjadi pertarungan antara kedua buaya tersebut, sehingga membuatnya menjadi lebar dan dalam. Juga di sungai Pasar Lama, persis di depan kantor gubernur lama, dahulu buaya putih dan buaya kuning bertarung hebat, akhirnya terbentuk “liang” besar, yang membuat pinggir sungai selalu rumbih.
Jangan ke batang kala sanja, apalagi saat sanja kuning, bisa saja kedua datu tersebut tidak berkenan dan jadi celaka. Mereka juga menunggu sanja kuning untuk mencari mangsa.
Buaya, adalah makhluk terganas di sungai, tapi jangan takut, ada datu Patih Panimba Sagara, datunya orang Banjar yang gagah berani menaklukkan buaya putih, sehingga terbangun persaudaraan dengan dunia bawah laut yang dikuasai para buaya putih.
Juga ada datu Kartamina, yang menaklukkan ratusan buaya kuning hanya seorang diri. penaklukan tersebut menjadikan persaudaraan orang Banjar semakin akrab dan bisa hidup bersama, walau pada dunia yang berbeda.
Karena persaudaraan itulah jangan lupa “malabuh” – minimal setahun sekali, sebagai wujud persaudaraan dan persahabatan dengan para penghuni sungai. Sedikit saja lupa, jangan salahkan kalau ada yang kesurupan, dihinggapi penyakit gatal di bagian pinggang, atau tubuh mengalami rasa dingin yang amat sangat saat menjelang sanja, karena itu bagian dari perjanjian persaudaraan untuk saling mengingatkan, bahwa ada datu di sungai yang tidak boleh dilupakan.
Kalau ada yang hilang di sungai, atau ada masalah dengan sungai, tepuk saja permukaan air sungai, dan sebut nama datu Kartamina, maka para datu buaya akan ingat perjanjian abadi orang Banjar dengan mereka.
Berhati-hati memperlakukan sungai, jangan asal – jangan sesukanya, di sungai itu ada hantu banyu, warnanya putih bentuknya panjang, kalau dia marah, kaki bisa saja ditariknya ke dasar sungai dan beresiko mati lamas, jadi tambun – tumbal para hantu banyu. Jangan mandi balumba saat sungai “bangai”, pertanda sungai sedang mengandung, isyarat meminta korban.
Sekali pun saat sungai “bangai” banyak udang yang dapat ditangkap dengan tangguk atau sekedar tetudung makanan, ingatlah bahwa sungai sedang mengintai mangsanya, jangan kaget kalau ada yang mati lamas, sebab sungai lagi sensitif.
Dan berbagai mitologi lainnya orang Banjar terhadap sungai, diceritakan dari generasi ke generasi, sebagai satu kearifan dalam menjaga sungai. Kemudian sungai menjadi insiprasi dalam memberi nasehat dan “papadah”, mucullah pribahasa “baguna tahi larut; Umpat batang timbul; Baupang di batang tinggalam; Tabuati jukung miris; Kayuh ampun inya haja; Kadada buriniknya; Kada pagat banyu ditatak; Manggiring banyu; Ada jukung handak bakunyung; Bacaramin di banyu karuh; Bakunyung di banyu landas; Banyu tanang jangan dikira kada babuhaya; dan banyak peribahasa lainnya tak terhingga.
Ketika semua mitologi tersebut dimusnahkan, diberangus, dianggap takhayul, bahkan dihakimi sebagai syirik, karena tidak rasional dan tidak berdasar, maka tidak ada lagi kearifan dalam menjaga sungai. Sungai pun mati, tidak memberi pengetahuan dan inspirasi lagi, bahkan sungai diperlakukan semena-mena – sakahandak hati.
Sungai dan orang Banjar semakin berjarak, padahal tidak ada kosa kata banjir dalam kebudayaan Banjar, yang ada hanya “calap”, yang tinggi airnya tidak lebih semata kaki. Kalau pun lebih dari itu yang disebabkan rob, maka orang Banjar menyebutnya “calap pasang dalam”, dimana saat purnama besar tiba, air sesekali menggenangi lantai dapur atau pekarangan rumah, terutama yang tinggal tinggal di pinggir sungai.
Perubahan iklim sangat berdampak bagi Banjarmasin yang geografisnya memang di bawah permukaan laut. Kota ini dibentuk secara alami dari delta-delta yang kemudian menjadi daratan. Sungai, anjir, handil, dan saka, bagian dari kearifan cerdas pengendalian sungai apabila rob datang. Rumah-rumah dibangun berbentuk panggung, tidak menghilangkan fungsi rawa dan gambut sebagai resapan air.
Setelah orang Banjar berjarak dengan sungainya, kebudayaan sungai tiba-tiba berorientasi menjadi kebudayaan darat. Rawa dan bahkan sungai, diurug – ditinggikan dengan tanah, jadi jalan dan tanah lapang. Bangunan rumah tidak lagi panggung, namun “balapak” di tanah, karena rawanya ditutupi dengan cor semen. Sungai jadi belakang rumah, hilang sama sekali menjadi dapur-dapur yang “bersatu padu”. Sungai jadi selokan, selokannya dibuat sekedar ada, sahibar proyek tahunan yang tambal sulam.
Sekalipun tidak ada Perda sungai, Perda rumah panggung dan Perda lainnya. Dahulu orang Banjar hidup dengan kebudayaan sungai, sehingga sangat paham soal rob, soal calap pasang dalam, soal fungsi rawa, gambut, anjir, handil dan saka. Dengan kearifan itu, tidak pernah panik menghadapi air, sebab kebudayaannya memang berbasis sungai.
Sekarang, ketika semua orientasi menjadi “darat”, termasuk orientasi Pemerintah kota dalam membangun kota sangat berorientasi darat. Maka jangan salahkan bila setiap tahun panik menghadapi rob – calap pasang dalam. Kalau orientasi darat diteruskan, tidak mustahil sebagai mana perkiraan banyak pakar, 2050 Banjarmasin tenggelam.
Tidak ada pilihan, Pemerintah kota mesti kembali mengalihkan orientasinya kepada sungai, sebagaimana kebudayaan Banjar mengajarkan banyak hal tentang itu. Mengingat kembali segala bentuk mitologi untuk diubah penjadi logos atau pengetahuan, sehingga kearifan dalam menjaga sungai tetap dimiliki.
Mulailah melakukan kembali normalisasi sungai, mendisiplinkan Perda rumah panggung – di mulai dari rumah dinas walikota, meminta restu pemerintah pusat agar Dinas Sungai dibolehkan dibentuk, sebab Banjarmasin kota unik, letaknya di bawah permukaan laut, sangat membutuhkan satu institusi yang khusus menangani kelestarian sungai dengan segala kearifkannya.