Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Perbankan, Emisi Karbon dan Sustainability (Pilihan atau Tanggung Jawab)

×

Perbankan, Emisi Karbon dan Sustainability (Pilihan atau Tanggung Jawab)

Sebarkan artikel ini
IMG 20250105 WA0029 e1736080019361

Oleh : Eddy Rusman, SP, MP, CRP
Praktisi BNI University
(Mahasiswa Doktoral PERBANAS Institute Program Manajemen Strategi Keberlanjutan)

Meskipun pemikiran awal tentang sustainability (keberlanjutan) sudah muncul sejak akhir abad ke-18 mengiringi revolusi industri. Kemudian pada 1997, John Elkington memperkenalkan konsep TBL (Three Bottom Line) yang dikenal dengan 3P (People, Planet, Profit), namun perhatian masyarakat global mulai terfokus saat lahirnya Enviromental, Social, Governance (ESG) 2004 dan Paris Agreement pada Desember 2015 yang dikenal dengan pembangunan berkelanjutan atau Sustainability Development Goals (SDGs) yang terdiri dari 17 tujuan untuk kondisi dunia yang lebih baik pada 2030.

Baca Koran

Emisi Karbon dan Aktivitas Kehidupan
Sebagaimana diketahui bahwa dari setiap aktivitas kehidupan hampir semuanya berhubungan dengan emisi karbon yang dihasilkan baik kehidupan personal, kelompok atau kamunitas tidak terkecuali perusahaan atau organisasi. Namun belum semua komponen masyarakat menyadari kontribusinya terhadap kenaikan suhu bumi. Menurut Bappenas (2021), rata-rata kerugian Indonesia akibat cuaca ekstrim mencapai Rp100 trilliun per tahunnya.


Emisi karbon sebagai Gas Rumah Kaca (GRK) menunjukkan produksi yang terus meningkat sehingga dampak terhadap perubahan iklim global semakin nyata, sebagaimana laporan risiko global yang disampaikan Word Economic Forum (2024) bahwa risiko ekstrim menjadi ranking pertama dalam sepuluh tahun ke depan.


Dan hasil penelitian yang disampaikan Space.com (2024) menunjukkan bahwa sepanjang 2024 kenaikan suhu global mencapai lebih dari 1,5 derajat setiap bulannya. Kontribusi emisi karbon dari kendaraan bermotor menyumbang 55% dari sektor transportasi sementara emisi karbon dioksida (CO2) dari hasil pembakaran dan penggunaan bahan bakar fosil sebesar 37,4 miliar ton (Global Carbon Project).

Peran Perbankan
Perubahan iklim yang diperparah oleh peningkatan emisi karbon, tidak hanya mengancam keberlangsungan ekosistem tetapi juga menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan. Dinamika ini, menjadi dilema bagi sektor perbankan yang memiliki peran yang sangat strategis dalam menggerakkan ekonomi global.


Perbankan dianggap (terlihat) sebagai sektor yang “bersih” dari aktivitas fisik yang langsung menghasilkan emisi karbon. Namun, jika ditelisik lebih dalam, perbankan memberikan kontribusi terbesar dalam produksi emisi karbon karena bank juga harus mengakui secara proporsional emisi yang diproduksi oleh debitur atau proyek yang dibiayai sebagai bagian dari emisi bank selain emisi yang diproduksi dari operasional internalnya (BI dan Menko Marinves, 2024). Terutama proyek yang memiliki jejak karbon tinggi, seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil, industri berat, dan infrastruktur transportasi yang tidak ramah lingkungan.

Baca Juga :  Mencontoh "Kesetaraan" ala Swedia


Dalam konteks Indonesia, kebijakan pembiayaan sering kali menjadi sorotan utama, terutama dalam mendukung sektor-sektor yang masih bergantung pada energi fosil. Menurut Pedoman Teknis POJK No. 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan, lembaga keuangan termasuk perbankan diwajibkan untuk menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam operasional dan aktivitas pembiayaan mereka. Dalam hal ini, bank memiliki tanggung jawab untuk mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) atau ESG (environmental, social, governance) dalam pengambilan keputusan bisnis. Meskipun dalam, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari minimnya kapasitas internal bank hingga kurangnya insentif untuk proyek hijau.

Mengukur Emisi Karbon
Berdasarkan data OJK (2023), emisi karbon teritorial yang dihasilkan Indonesia menunjukkan tren meningkat dan mencapai 2,0 Gt CO2e atau menyumbang sekitar 5,81% dari total emisi karbon global pada 2023. Sementara angka emisi karbon berbasis konsumsi Indonesia tercatat sebesar 2,1 Gt CO2e, dan menjadikan Indonesia menduduki peringkat kelima dibawah Tiongkok, India, USA dan Rusia, sebagai negara-negara penghasil emisi karbon lima terbesar di dunia.


Inisiasi awal untuk menghitung emisi karbon yang dikenal dengan Kalkulasi Hijau telah dikembangkan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam bentuk buku “Kalkulasi Hijau: Konsep dan Panduan Penggunaan Aplikasi Penghitungan Emisi Bagi Perbankan”.


Buku ini menjadi salah satu upaya nyata untuk mendorong sektor perbankan lebih proaktif dalam mengukur dan mengurangi jejak karbon mereka. Kalkulasi hijau ini bertujuan untuk membantu bank dalam: 1. Mengidentifikasi jejak karbon dari portofolio pembiayaan; 2. Menyusun strategi untuk mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon; 3. Meningkatkan transparansi kepada pemangku kepentingan terkait komitmen keberlanjutan mereka.


Aplikasi yang ditawarkan dalam buku ini memungkinkan bank untuk menghitung emisi karbon berdasarkan data aktivitas yang didanai. Dan data ini kemudian dapat digunakan untuk menentukan langkah mitigasi, seperti memperbanyak portofolio pembiayaan energi terbarukan atau memberikan insentif kepada nasabah yang memiliki proyek ramah lingkungan. Bahkan OJK pun telah membuatkan Panduan Climate Risk Management & Scenario Analysis Perbankan (CRMS) tahun 2024, yang terdiri dari 6 buku yang disusun dalam rangka Manajemen Risiko Iklim dan Analsis Skenario berdasarkan dampak perubahan Iklim pada Industri Perbankan, serta mencakup aspek-aspek antara lain: (1) Tata Kelola; (2) Strategi Bisnis dan Kerangka Manajemen Risiko; (3) Desain dan Analisis Risiko; (4) Pengungkapan; dan (5) Perencanaan Implementasi (OJK, 2024).

Baca Juga :  Seleksi CPNS Moderasi Beragama, Perlukah?

Sustainability (Pilihan atau Tanggung Jawab)
Industri perbankan menghadapi dilema fundamental antara mengejar pertumbuhan keuntungan (profit growth) dan berkomitmen pada keberlanjutan (sustainability). Di satu sisi, keberlanjutan mengharuskan bank untuk mengalokasikan sumber daya dalam mendukung proyek-proyek ramah lingkungan, mengadopsi kebijakan sosial yang inklusif, serta memperkuat tata kelola perusahaan yang transparan.


Di sisi lain, tuntutan untuk mencapai target finansial dan memberikan hasil jangka pendek (tahunan) sesuai masa pertanggung jawaban kepada pemegang saham (RUPS) seakan bertentangan dengan investasi jangka panjang yang dibutuhkan untuk mengelola keberlanjutan. Untuk itu dalam melakukan implementasi keberlanjutan yang sudah dicanangkan sejak tahun 2019 sesuai dengan POJK No. 51.03/2017, seperti kemampuan menginterpretasikan praktis 8 (delapan) prinsip Keuangan Berkelanjutan, yakni: (1) Prinsip Investasi Bertanggung Jawab; (2) Prisnsip Strategi dan Praktik Bisnis Berkelanjutan; (3) Prinsip Pengelolaan Risiko Sosial dan Lingkungan Hidup; (4) Prinsip Tata Kelola; (5) Prinsip Komunikasi yang Informatif; (6) Prinsip Inklusif; (7) Prinsip Pengembangan Sektor Unggulan Prioritas; dan (8) Prinsip Koordinasi dan Kolaborasi. Dengan menerapkan dengan beberapa strategi sebagai berikut: 1. Memastikan Integrasi ESG dalam Strategi Bisnis, bank dapat mengadopsi pendekatan yang mengintegrasikan ESG sebagai bagian dari strategi pertumbuhan; 2. Meningkatkan Inovasi Green Product, terus meningkatkan produk keuangan yang mendukung keberlanjutan, (green bonds, green investment atau green loan) dengan insentif lingkungan, memungkinkan bank untuk mendorong ESG sambil tetap menghasilkan keuntungan; 3. Keterlibatan Pemangku Kepentingan, mengkomunikasikan manfaat jangka panjang keberlanjutan kepada pemegang saham untuk mengurangi tekanan laba (jangka pendek); 4. Kemitraan Strategis, bekerjasama dengan pemerintah, NGO, dan perusahaan lain untuk berbagi risiko dan biaya implementasi ESG; 5. Komitmen dari Top management dan segenap pegawai untuk menjalankan operational green activity secara disiplin dan konsisten.

Penutup
Dengan pendekatan strategis, perbankan dapat mengatasi dilema dan menemukan sinergi terbaik antara keberlanjutan (sustainability) dan pertumbuhan keuntungan (profit growth). Sehingga menjaga keseimbangan sosial dan lingkungan (praktik ESG) menjadi tanggung jawab moral selain peluang bisnis yang dapat memberikan keuntungan kompetitif di masa depan. Namun, keberhasilan upaya ini memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, perbankan, Masyarakat dan stakeholder lainnya, dengan langkah yang terkoordinasi guna menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Iklan
Iklan