oleh: Noorhalis Majid
TIDAK ada yang menyangkal apalagi meragukan, bahwa semua tanpa kecuali berkomitmen dalam pemberantasan narkoba. Namun kenapa narkoba tidak pernah surut? Kasusnya selalu mencengangkan bahkan terkadang tak terduga. Terbukti banyak pihak yang mestinya berkomitmen memberantas, nyatanya memelihara dan beroleh keuntungan dari nakoba.
Dialog sore itu di sebuah hotel di pinggiran Sungai Martapura, salah satunya dipelopori Kalimantan Post, dihadiri para aktivis dan media masa, tentu ini bagian dari kepedulian masyarakat sipil atas fenomena publik yang tak berkesudahan. Akhirnya lebih banyak membicarakan hal dan soal yang menjadi dilema dalam penanganan narkoba.
Begitu dilemanya, hingga muncul gagasan bagaimana kalau narkoba tidak dianggap saja?. Setarakan saja dengan parasetol atau aspirin, sehingga dia bukan menjadi barang istimewa yang diperebutkan. Jangan-jangan karena dilarang, akhirnya menjadi barang yang bersifat “ilusi”, yang mampu dipermainkan sedemikian rupa untuk mencari uang, mengejar prestasi, mengangkat atau merendahkan derajat orang lain. Bukankah banyak negara yang menghalalkan dan menjadikannya barang biasa saja, toh negaranya aman damai, bahkan lebih sejahtera.
Banyak kasus dimana narkoba menjadi “ilusi” yang dipermainkan untuk berbagai kepentingan, menjadi jembatan untuk menghantarkan tujuan tertentu, tidak jarang akhirnya menjadi cara jahat, bahkan licik dan pintas, untuk mendapatkan sesuatu.
Pendapat yang nampak nyeleneh ini bukan tanpa rujukan, sebab setidaknya terdapat 15 negara di dunia ini yang mengganggap narkoba sebagai barang biasa saja, antara lain Uruguay, Siprus, Spanyol, Peru, Ekuador, Argentina, Autralia, Afrika Selatan, Thailand, Jerman, Kanada, Amerika Serikat untuk wilayah Colorado dan Washington, Meksiko dan Kolombia. Negara-negara tersebut ada yang membebaskan sepenuhnya, ada pula yang dengan batasan. Sekedar mengingatkan, bahwa tidak semua negara perang mati-matian terhadap narkoba.
Kenapa dilema? karena ternyata, semakin “dihagai, justru kada kahagaan”. Semakin diurusi sedemikian rupa, ternyata malah menjadi-jadi. Karena mendatangkan uang yang sangat banyak dan dipenuhi berbagai “ilusi”, akhirnya memunculkan banyak kreatifitas untuk mengembangkan, mengolah dan meracik temuan baru.
Berbagai dilema itu antara lain, maksud hati ingin mensejahtrakan warga dengan eksploitasi sumber daya alam, terutama pertambangan – karena hanya eksploitasi sumber daya alam yang mampu dilakukan. Nyatanya aktivitas tersebut justru mengundang maraknya hiburan malam, prostitusi dan lalu narkoba. Boleh sebut, adakah daerah yang marak eksploitasi sumber daya alam, namun terbebas dari dampak ikutan berupa maraknya hiburan malam, prostitusi dan narkoba?
Demikian halnya, ingin memajukan daerah melalui pariwisata, nyatanya juga mengundang bertumbuhnya hiburan malam, prostitusi dan lalu narkoba. Lantas, diera ekonomi global, dengan transportasi dan komunikasi yang tak terbatas ini, adakah daerah yang tidak tertarik atau setidaknya tidak terdampak pariwisata? semakin tersembunyi, semakin menjadi daya tarik pariwisata, namun dampak ikutannya tidak dapat ditolak, bertumbuh hiburan malam, prostitusi terbuka atau terselubung, dan akhirnya narkoba.
Katanya melindungi warga, nyatanya lebih suka “pemenjaraan” dari pada rehabilitasi. Kalau tujuannya melindungi warga agar tidak terkena narkoba, mestinya jumlah yang direhabilitasi lebih tinggi angkanya. Nyatanya yang dipenjara dan berstatus sebagai pengedar jumlahnya jauh lebih banyak. Mungkinkah penjual lebih banyak dari pembeli? Mungkinkah pemenjaraan menyebabkan orang menjadi tobat atau sebaliknya, justru semakin lihai memanfaatkannya? Bahkan peredaran narkoba di dalam LAPAS itu sendiri, menjadi fenomena dan aib yang sulit ditutupi.
Katanya warga harus diselamatkan dari bahaya narkoba, nyatanya pusat-pusat rehabilitasi tidak kunjung dibangun. Program yang melibatkan banyak pihak dalam soal rehabilitasi, juga tidak menjadi kampanye yang masif, sehingga rehabilitasi diserahkan kepada masing-masing individu, dan pemenjaraan tetaplah menjadi strategi yang dianggap jitu.
Katannya perang besar terhadap narkoba, buktinya enggan menyatakan darurat narkoba, lantas tidak membuat program berbasis pentahelix, dimana semua pihak mestinya mengambil peran strategis masing-masing untuk perang terhadap narkoba.
Giat penangkapan lebih dianggap prestasi dari pada pencegahan. Padahal bila sadar bahwa yang disasar kejahatan narkoba adalah generasi muda, maka pemenjaraan bukanlah solusi. Perspektif generasi muda sebagai korban, harus dipertajam dan diperkuat, sehingga lebih banyak upaya penyelamatan dari pada hukuman.
Mestinya lebih banyak giat yang bertujuan memfasilitasi peningkatan prestasi generasi muda, termasuk oleh Kepolisian. Misalnya diselenggarakan Kapolda Cup hingga Kaplres Cup, dalam berbagai jenis olahraga dan kesenian. Bila anak muda dialihkan perhatiannya pada olahraga dan kesenian, maka pikirannya menjadi positif dan narkoba semakin menjauh. Kejuaran-kejuaran yang diselenggarakan secara intensif, akan menjadi ajang kompetisi banyak bakat, yang membuatnya memiliki jam terbang tinggi untuk ikut dalam ajang yang lebih besar.
Sekarang ini jarang sekali terdengar lomba atau kejuaran olahraga dan kesenian, diselenggarakan dan dipelopori institusi Kepolisian, padahal dengan segala wibawa, kewenangan dan kemampuannya, lomba atau kejuaraan yang mereka selenggarakan, pengaruhnya lebih besar dari instansi lainnya. Terbukti Kapolri Cup, terutama dalam bidang bela diri seperti Judo, menjadi ajang yang sangat bergengsi dan wahana mengukir prestasi generasi muda. Dengan demikian, generasi muda yang digadang-gadang mengisi Indonesia Emas, terhindar dari narkoba.
Serba dilema, “dihagai kada kahagaan” karena narkoba sudah terlanjut menjadi “ilusi”, berpotensi menjadi jembatan dalam mengejar kekayaan dan karir. Banyak yang mengaku dijebak, dimanfaatkan oleh oknum untuk memuluskan karir dan prestasi. Banyak pula cerita tentang pengedar yang “dipelihara” dan semaikin gemuk untuk menjadi bancakan, sebab mendatangkan cuan, apalagi bila terkait langsung dengan eksploitasi sumber daya alam.
Di tengah dilema tersebut, ada baiknya semua pihak berefleksi tentang kesungguhan dalam menangani kejahatan narkoba yang sudah terlanjur distigma sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin lagi untuk surut ke belakang. Penegakah hukum setegas-tegasnya, akan mampu mengikis berbagai dilema yang selama ini menghinggapi penanganan narkoba. (nm)