Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Fenomena Nama Jalan, “Kapiragahan” dan Godaan “Ambung Bakul

×

Fenomena Nama Jalan, “Kapiragahan” dan Godaan “Ambung Bakul

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid adalah salah anggota Ambin Demokrasi Kalimantan Selatan *)

oleh: Noorhalis Majid

FENOMENA memberi nama jalan dengan nama pahlawan, tokoh atau orang ternama, sudah ada sejak dulu. Lajimnya orang tersebut sudah meninggal dunia, sehingga nama dengan segala ketokohannya, diabadikan menjadi nama jalan. Yang terbanyak tentu saja nama pahlawan. Nama Ahmad Yani, atau Gatot Subroto, mungkin menjadi nama jalan terbanyak dan terpanjang jalannya, dibandingkan tokoh lainnya.

Baca Koran

Terkait ketentuan menyangkut pemberian nama jalan, memang masih menggunakan Peraturan Daerah (Perda). Karenanya di tiap-tiap daerah membuat Perda untuk mengatur pemberian nama jalan. Namun secara umum Perda tersebut menetapkan bahwa setiap jalan yang berada di bawah kewenangan Pemerintah Daerah harus memiliki nama, dan penetapan nama jalan dilakukan oleh Kepala Derah setelah mendapat persetujuan DPRD. Nama jalan dapat diajukan oleh perseorangan, kelompok organisasi, atau inisiatif Pemerintah Daerah sendiri. Bila memohonkan nama jalan, harus diajukan secara tertulis kepada Pemerintah Daerah, dengan memperhatikan nilai historis, ketokohan, dan lokus. Nama jalan yang diambil dari tokoh dapat berupa nama pahlawan, tokoh pembangunan, atau tokoh agama.

Sekarang muncul fenomena baru, bukan lagi nama tokoh atau orang yang dianggap tokoh yang sudah meninggal dunia dijadikan nama jalan, namun orang yang masih hidup. Biasanya seorang yang menjabat sebagai kepala daerah dan masih aktif. Apalagi karena banyak anak buah yang suka memuji, “maambung bakul” setinggi langit, maka tawaran dengan alasan sebagai kenangan, akan datang dengan segala argument yang sulit ditolak. Terlebih bila yang bersangkutan memang “katuju diambung”, sehingga segala yang disampaikan, dicarikan pembenarannya, bahkan dicarikan kesamaannya contohnya, bahwa di sana – di situ, bangunan ini – bangunan itu, juga sudah mengambil nama orang yang masih hidup, dan akhirnya gayung bersambut, jadilah nama jalan sesuai keinginan yang bersangkutan.

Apa konsekuensi menjadikan nama jalan atas orang yang masih hidup, terutama nama pejabat atau kepala daerah?

Baca Juga :  Laskar Pelangi

Dikarenakan masa beredarnya di muka bumi masih berlangsung, bahkan berproses dengan segala dinamika baik burknya – sebab masih hidup, maka sangat dimungkinkan orang tersebut melakukan hal-hal yang dianggap salah, baik salah secara hukum, secara adat, norma atau pun agama. Sehingga yang semula dianggap mulia dan terhormat, seketika hina dina tak bermakna. Yang semula dipuja-puji dan disanjung, tetiba ternistakan, tidak ada tempat bagi namanya di jajaran orang terhormat dan mulia. Kalau terlanjur menjadi nama jalan, akhirnya justru dikenang sebagai orang hina, dan nama jalan tersebut tidak lagi menjadi nama kebanggaan yang layak dikenang.

Karenanya, memang lebih arif dan bijaksana kalau yang bersangkutan masih hidup, masih terlibat dalam dinamika hiruk pikuk kehidupan yang penuh ketidak pastian, sebaiknya bersabar untuk tidak gegabah, tidak terburu-buru, apalagi “nafsu”, untuk diabadikan namanya menjadi nama jalan. Lebih baik terus menempa diri sebaik dan semulia mungkin, dan biarkan orang lain dengan segala kearifannya, menilai apakah layak diabadikan atau tidak.

Godaan menjadi orang ternama memang terkadang membutakan mata. Pun godaan ingin dikenang sebagai orang hebat, dianggap sukses melakukan ini dan itu, mudah datang penuh pujian “ambung bakul”. Namun percayalah, lebih baik bersabar, karena kemuliaan yang dipaksakan, sebenarnya semu, bahkan berpotensi hina-dina.

Masih banyak nama tokoh-tokoh lokal yang hebat mendunia, yang sudah meninggal dan layak dikenang – diabadikan menjadi nama jalan, sebut saja misalnya Anang Ardiansyah – adakah yang meragukan ketokohannya? karyanya mendunia dan sulit ditandingi. Andaikan Anang Ardiansyah tersebut berada di Amerika, mungkin kekayaannya sudah setara Elvis Presley, karena karya lagu-lagu Anang Ardiansyah, terus dinyanyikan setiap hari tapi keluarganya tidak pernah dapat royalti. Bahkan dihargai menjadi nama jalan atau nama gedung saja tidak, padahal karya dan ketokohannya melampaui berbagai generasi.

Baca Juga :  Kartini Abad 21 : Ketika Literasi Menjadi Senjata di Era Digital

Saya bahkan membayangkan, tokoh sekaliber Anang Ardiansyah, tidak sekedar menjadi nama jalan atau gedung, tapi diabadikan dalam bentuk museum, yang di dalam museum tersebut bukan hanya terpajang karya-karyanya yang begitu fenomenal, namun juga menjadi wahana untuk mengkaji, mempelajari dan bahkan menjadi pusat pengetahuan mengenai budaya dan lagu Banjar versi Anang Ardiansyah.

Pun sosok Djohan Effendi, adakah yang meragukan ketokohan dan pemikiran beliau sebagai cendikiawan? seorang yang sangat dikagumi justru karena kesederhanaan hidupnya. Komitmenya yang begitu tinggi pada pengetahuan, kesetaraan, keadilan dan penghargaan pada semua kelompok berbeda tanpa kecuali, menyebabkan dia disetarakan dengan tokoh nasional lainnya seperti Gus Dur dan Cak Nur, tapi di Banua justru tidak pernah dianggap, bahkan tidak akan dikenang, apalagi menjadi nama jalan atau nama gedung. Padahal, kalau berbincang tentang tokoh pemikir dan pembaharu Indonesia, nama Djohan Effendi akan disebut sebagai salah satu yang turut memberikan kontribusi. Tokoh yang satu ini dengan segala pemikirannya, juga layak dikenang dan diabadikan.

Bahkan kalau juga ada museum Djohan Effendi, maka di museum itu orang dapat belajar dan mengkaji tentang pemikiran Islam moderat, tentang pluralisme dengan segala gerakan dan tantangannya, serta kearifan dan kebijaksanaan tentang “dialog” yang menjadi komitmen dari Djohan Effendi.

Dan tentu masih banyak nama lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang tersebar hampir di semua kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, yang ketokohan dan pengabdiannya sudah teruji. Kalau ingin menjadikan nama mereka sebagai nama jalan atau gedung, tentu jauh lebih layak dan pantas, karena ketokohan dan pribadinya yang cocok menjadi tauladan. Ketulusan dan keluhuran budi pekertinya pantas dicontoh. Bukan seorang yang “abu-abu” dan penuh kontroversi – apalagi sarat politisasi. (nm)

Iklan
Iklan