Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Kampus Mengelola Tambang: Disorientasi Yang Berbahaya?

×

Kampus Mengelola Tambang: Disorientasi Yang Berbahaya?

Sebarkan artikel ini

Oleh Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Kontroversi tidak ada habis-habisnya di negeri ini. Lagi-lagi kebijakan pemerintah menjadi pro dan kontra di masyarakat. Setelah ormas, DPR bersama pemerintah berinisiatif memberikan izin usaha pertambangan untuk kampus (nusakata.com, 24/01/2025). Rencana tersebut sudah dimasukkan pada draft revisi UU mineral dan batubara (UU Minerba). Alasan pemerintah adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memperkuat keberpihakan negara terhadap masyarakat dalam pengelolaan SDA.

Baca Koran

Sejumlah pihak seperti Forum Rektor dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (APTISI) menyambut positif. APTISI sendiri adalah pihak yang mengusulkan pada pemerintahan sebelumnya dan berharap dari kebijakan ini akan meningkatkan pendapatan lembaga. Forum Rektor menyetujui dengan menambahkan bahwa PT harus memiliki BHP, Badan Hukum Perusahaan atau Unit Usaha sendiri.

Sedangkan pihak kontra memberi alasan yang lugas bahwa kebijakan ini akan membuat pendidikan tinggi kehilangan orientasi mendidik dan mengajar. Kampus juga akan kehilangan suara idealisme dan kritis mereka. Kebijakan ini akan memunculkan konflik kepentingan yang tajam. Industri pertambangan penuh dengan persoalan, seperti konflik agraria dan kerusakan lingkungan. Suara intelektual yang berbasis ilmu dan riset sangat diperlukan untuk mengoreksi. Maka fungsi kontrol akan hilang dengan pembelian IUP pada perguruan tinggi (PT). Jaringan Tambang juga tidak setuju dengan pemberian izin tambang pada kampus sebagai solusi kesejahteraan bagi civitas akademis.

Disorientasi Merusak

Sektor ekonomi termasuk pertambangan dan industrinya adalah satu bidang tersendiri sebagaimana juga pendidikan sebagai bidang tersendiri dengan misi dan visi khusus. Kedua bidang berjalan terpisah. Kedua bidang ini sama-sama diperlukan dalam kehidupan. Namun posisi pendidikan dan perguruan tinggi sangat signifikan mempengaruhi. Idealnya ilmu dan riset yang dihasilkan perguruan tinggi mengarahkan segala bidang kehidupan termasuk pertambangan dan industrinya. Misalnya fakultas kehutanan akan memandu bagaimana eksploitasi tambang berjalan dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan dan fungsi vitalnya.

Baca Juga :  Negeri Kaya Ulama

Namun kepemimpinan sekuler dan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini seolah mengabaikan ilmu, riset dan intelektualitas. Aktivitas pertambangan seperti batu bara saja sudah menciptakan kerusakan lingkungan yang parah. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat per 2020 ada sebanyak 3092 lubang bekas galian tambang tersebar di seluruh Indonesia (CNBC Indonesia.com, 29/01/2021). Sebagian besar dibiarkan tanpa pemulihan dan ada yang berkamuflase menjadi tempat wisata.

Pun hasil tambang sebagian besar hanya memperkaya segelintir orang kapitalis pemilik korporasi dan memberi manfaat besar pada negara lain pemasok batubara seperti Cina dan India. Hasil dan manfaat yang masuk ke negara terlalu kecil dibandingkan dengan kehilangan manfaat alam seperti rusaknya hutan dan tercemarnya lingkungan.

Lalu bagaimana jika PTN dan PTS berlomba-lomba mendapatkan konsesi pertambangan? Pada akhirnya eksplorasi tambang semakin massif. Terlebih konsesi tambang menjadi tumpuan kesejahteraan dan kemandirian kampus. Belum lagi dengan mindset kapitalisme yang mengedepankan keuntungan. Dan usaha korporasi dan para kapitalis akan berjalan seperti semula bahkan lebih intensif karena berlindung dibalik kampus dalam menggarap konsesi yang dimiliki kampus. Tidak ada suara kritis dan idealisme dari dunia intelektual dengan ilmu dan riset. Sungguh, keadaan ini sangat berbahaya.

Sangat berbeda jika kita kembali kepada aturan syariat Islam. Islam sebagai ideologi yaitu akidah yang melahirkan sistem kehidupan telah menjelaskan bagaimana pengelolaan SDA berupa barang tambang mineral-batubara. Barang tambang yang berdeposit melimpah terkategori kepemilikan umum atau milkiyah ammah. Batubara juga termasuk kepemilikan umum sebagai sumber api/energi.

Konsep kepemilikan sendiri bermakna kewenangan mengelola dan mengambil manfaat. Sehingga makna kepemilikan umum adalah hak rakyat sepenuhnya untuk mengelola dan mengambil manfaat. Terkait kepemilikan umum pada tambang mineral dan batubara dan sumber api, maka pengelolaan harus dilakukan negara sebagai wakil umat atau rakyat. Dengan kata lain implementasinya adalah state based management, pengelolaan berbasis negara. Negara akan mengerahkan teknologi. Negara juga akan memobilisasi SDM sebagai tenaga ahli dan pekerja yang diupah.

Baca Juga :  Kampus Mengelola Tambang, Hilangnya Fungsi Negara

Negara yang mengelola akan mengembalikan manfaat dan hasil seluruhnya pada rakyat. Hasil tambang dapat berwujud produk yang dikembalikan pada rakyat dengan harga jual murah. Dan jika diekspor, maka pendapatannya akan kembali pada rakyat melalui pos kepemilikan umum di baitul mal.

Jadi tidak boleh pengelolaan tambang dialihkan pada korporasi yang berimplikasi pada penguasaan dan monopoli manfaat. Tidak boleh pula organisasi massa dan perguruan tinggi mengelola tambang.

Jadi, kebijakan memberikan pengelolaan tambang pada Ormas maupun kampus menunjukkan bahwa pengelolaan tambang sebenarnya adalah persoalan keinginan politis semata. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola tambang hanyalah dalih. Padahal jika korporasi, ormas dan kampus mampu mengelola tambang, semestinya pemerintah jauh lebih mampu. Pemerintah memiliki semua kekuatan. Ketidakmampuan hanyalah karena sistem sekuler kapitalisme yang menyandera.

Sudah seharusnya negeri ini menoleh kepada aturan syariat yang kaffah dalam mengelola kekayaan alam. Hanya sistem Islam di bawah naungan sistem politik Islam, yaitu Khilafah yang mampu merealisasikan hukum syariat Islam. Mari bersama berjuang menegakkannya. Wallahu alam bis shawab

Iklan
Iklan