Oleh: Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi
Dalam mewujudkan Indonesia yang aman, adil, beradab, dan sejahtera tentunya membutuhkan kehadiran sosok pemimpin yang visoner dan berintergitas. Terutana juga untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Indonesia yang mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Terutama dalam mendongkrak pertumbuhan dan pembangunan nasional di segala sisinya. Namun, visi besar tersebut bisa jadi hanya ilusi jika tidak disertai dengan keberpihakan dari pemimpin-pemimpin kita. Dalam hal ini, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi wajib menjadi prioritas utama dalam beragam aturan, program, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin kita. Baik di skala lokal maupun nasional, semua pemegang mandat tersebut mesti mempersembahkan yang terbaik untuk rakyat.
Ironinya, fakta berbicara sebaliknya. Di negeri ini, kita masih mengalami kondisi di mana sebagian pemimpin menyalahgunakan jabatan atau wewenang yang diembannya. Kepentingan pribadi, keluarga, dan gololangannya justru dijadikan yang utama, Sementara kepentingan rakyat sama sekali tak dipandangnya. Padahal, semasa kampanye dulu, beragam janji manis dilontarkan untuk menarik simpati rakyat. Ketika terpilih, mereka dengan mudahnya melupakan para pemilihnya. Tengok saja, banyak kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan sebagian besar pemimpin kita. Tidak terhitung jumlah kepala desa, bupati, walikota, dan gubernur yang menyelewengkan anggaran negara. Bukankah perilaku semacam itu melukai rakyat? Sama sekali tidak mencerminakan pribadi sebagai pemimpin yang gerak-geriknya harusnya bisa dicontoh oleh masyarakat.
Sebagian pemimpin kita justru dengan tanpa merasa bersalah dan berdosa merampas hak-hak rakyat. Hasratnya terhadap harta dan tahta benar-benar membutakan hati nuraninya. Padahal, dari segi gaji dan tunjangan, saya kira sudah lebih dari cukup. Ini hanya persoalan ambisi duniawi dan gaya hidup hedonis yang tidak bisa dikontrol. Sebagian “merampok” uang negara dengan cara licik, licin, dan sistematis. Tikus-tikus berdasi semacam itu merasa bisa mengelabui rakyat dengan siasat busuk dan kelihaiannya. Padahal, lambat laun, yang namanya bangkai, baunya pasti terendus. Pemimpin semacam itu, semakin meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengelola pemerintahan. Pantas saja jika ada yang mengatakan, Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan dan krisis keteladanan.
Bagaimana mau mendengar keluh kesah masyarakat, jika kepekaannya dalam membaca situasi di bawah tidak terasah. Bagaimana mau melayani masyarakat dengan sungguh-sungguh, jika dalam kesehariannya yang dipikirkan hanyalah materi dan kedudukan. Biasanya, pemimpin semacam itu sangat antikritik. Cepat tersinggung dan mudah kebakaran jenggot manakala dikritik. Seakan-akan semua tindakannya itu selalu benar. Sebagian lagi, memanfaatkan otoritasnya untuk menutupi kebobrokan moralitasnya. Padahal, sepandai-pandai tupai meloncat, pasti akan jatuh juga. Tinggal menunggu waktu saja.
Jujur saja, kita membutuhkan sosok pemimpin yang tulus mengayomi masyarakat. Pemimpin yang berjiwa patriot. Rela mengorbankan waktu, tenaga, materi, dan bahkan jiwanya untuk bangsa dan negara ini. Pemimpin yang merasa bahwa kekuasaan merupakan amanah. Pemimpin yang berlaku adil dan penuh keadaban dalam setiap situasi dan kondisi. Komitmennya jelas, yaitu mewujudkan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat.
Pemimpin semacam itulah yang kehadirannya senantiasa kita rindukan. Pemimpin yang bisa memberikan teladanan dalam setiap gerak-geriknya. Merasa betul bahwa dirinya bagian dari rakyat. Sebab itulah, kebijakannya selalu pro-rakyat. Bukan sekadar pro pemodal atau pro partai. Dia memiliki keberanian untuk mengambil risiko atas segala tindakannya. Dia selalu berupaya membangitkan semangat dan optimisme di hati rakyat untuk meraih cita-cita bersama. Dia membangun kepercayaan diri rakyat yang dipimpinnya. Begitulah kira-kira, gambaran sosok pemipin yang kita harapkan.
Lalu, kenapa sampai saat ini, seolah negeri ini dihadapi persoalan krisis keteladanan? Saya rasa, untuk jawabannya cukup kompleks. Sebab, ini juga menyangkut Pemilu dan Pilkada yang kerap kali rawan politik uang. Kita sebagai pemilih pun, tak jarang mudah terbuai bujukan calon pemimpin yang rekam jejaknya tidak jelas bahkan cenderung banyak catatan hitamnya. Kasarannya, yang mencalonkan dan yang memilih, seolah sama-sama mentolerir politik uang dalam demokrasi. Dianggap sebagai sebuah kewajaran. Padahal, hal semacam itu sangat potensial melahirkan pemimpin yang tidak amanah. Sebab, sebagian pelaku politik uang tersebut, ketika terpilih, akan berupaya mati-matian untuk mengembalikan modalnya yang telah dikeluarkan. Jangan harap keteladanan, bagi pemimpin yang terpilih dengan menyogok rakyat. Sebelum memimpin saja sudah melabrak norma hukum, Bagaimana jadinya ketika sudah duduk di kursi kekuasaan? Bisa tambah parah.
Untuk melahirkan pemimpin sejati yang mampu memberikan teladan, saya rasa harus bersama-sama menolak politik uang. Harus bersinergi, berkolaborasi, dan bergerak serentak menerakkan hukum tanpa pandang bulu. Sebab, maraknya politik uang dan lemahnya penegakan hukum ini, saya kira, bisa kembali melahirkan banyak pemimpin korup. Tentu saja, kita tidak menginginkan hal itu uterus-terusan terjadi. Terakhir, besar harapan saya, kepada kepala daerah yang terpilih; termasuk juga kepada pemimpin tertinggi di republik ini: Presiden Prabowo Subianto, yaitu agar benar-benar menjadi pengayom dan pelayan rakyat. Kita mendambakan semakin banyak lahir di negeri ini pemimpin yang kata-katanya bisa dipertanggungjawabkan. Pemimpin yang amanah, berintegritas, jujur, visioner, dan siap mengabdikan dirinya untuk rakyat. Apalagi, pekerjaan rumah bangsa ini begitu menumpuk. Dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu menadi panutan. Enth itu di tingkat desa, maupun tingkat nasional.