oleh: Baiq Lidia Astuti SPd
*) Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan
JANUARI menjadi bulan dimulainya realisasi janji janji manis presiden terpilih saat kampanye dulu, yaitu Makan Bergizi Gratis yang merupakan program unggulannya. Program MBG ini adalah salah satu langkah strategis dalam mewujudkan visi Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto untuk Indonesia Emas 2045. Program ini diluncurkan untuk mendukung salah satu dari delapan misi Asta Cita, yaitu memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Berbagai polemik bermunculan mulai dari anggaran yang Presiden Prabowo Subianto telah tetapkannya anggaran untuk Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp10 ribu per anak per hari. Dimana Keputusan ini diambil setelah mengadakan rapat terbatas di istana. Prabowo mengungkapkan bahwa awalnya pemerintah memperkirakan biaya per anak sebesar Rp15 ribu. Namun, ia menyatakan bahwa penyesuaian dilakukan setelah meninjau anggaran karena dana nya diambil dari APBN. Tidak hanya terkait anggaran, di sosial media juga banyak beredar video respon para siswa terkait menu MBG yang dianggap tidak enak dan juga jauh dari standar kecukupan gizi yang seharusnya.
Ditambah lagi, ada kejadian puluhan siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo, Jawa Tengah, yang merasakan mual-mual dan pusing setelah mengonsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah itu, pada Kamis, 16 Januari 2025 yang diduga karena keracunan makanan. Dan yang juga menjadi persoalan adalah bahwa program MBG ini dinilai tidak tepat sasaran dan juga tidak merata distribusinya di sekolah sekolah seperti yang dijanjikan.
Hal ini menunjukkan negara tidak serius dalam mengurus rakyat. Program yang di jalankan seolah olah hanya sekedar “asal jalan” dan sebagai pembuktian janji saat kampanye saja, sementara hitung hitungan bagaimana merealisasikannya belakangan.
Kebijakan ini juga pada dasarnya tidak menyentuh akar masalah, yaitu banyaknya generasi yang belum terpenuhi kebutuhan gizinya dan tingginya kasus stunting. Alasan keterbatasan anggaran membuktikan bahwa negara tidak benar-benar memberikan solusi perbaikan gizi generasi. Lalu benarkan program ini demi kepentingan rakyat?
Fakta menunjukan bahwa pihak yang paling diuntungkan disini adalah swasta atau para vendor sebagai pihak yang bertanggung jawab menyediakan MBG dengan mengambil keuntungan yang tidak sedikit. Apalagi jika kita melihat anggaran yang begitu besar diambil dari APBN memberi peluang terjadinya korupsi sebagaimana program program pemerintah lainnya.
Jadi sebenarnya program MBG ini tidak ubahnya upaya tambal sulam ala kapitalisme dalam menyelesaikan problem generasi, khususnya problem kecukupan gizi. Persoalan utamanya adalah kemiskinan, yang membuat generasi jadi malnutrisi. Membahas masalah kemiskinan akan memperluas spektrum pembahasan yang sifatnya sangat mendasar. Karena kemiskinan ini erat kaitannya dengan sejumlah masalah seperti tingkat pengangguran, akses lapangan kerja, tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang tidak merata hingga masalah kesehatan pada masyarakat miskin. Sehingga negara lah yang bertanggung jawab memberikan solusi atas persoalan tersebut, dengan berbagai kebijakannya. Karena masalah kekurangan gizi adalah buah dari gagalnya pemerintah menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya, tidak cukup dan tidak efektif jika solusinya adalah dengan hanya memberi makan gratis.
Padahal kekayaaan SDA Indonesia yang melimpah seharusnya bisa menjadi sumber pemasukan negara dalam rangka menyejahterakan rakyat dan mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat secara menyeluruh orang per orang. Masalahnya adalah, besarnya potensi tersebut tidak termanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Bahkan, negara lebih memilih melimpahkan wewenangnya dalam mengurus sumber-sumber kekayaan tersebut kepada pihak swasta. Akibatnya, kekayaan alam dieksploitasi secara ugal-ugalan sedangkan hasilnya dinikmati oleh para korporat. Tentu saja ini tidak mudah, mengingat negeri kita dengan SDA nya sudah tergadaikan pada swasta bahkan asing.
Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan persoalan gizi generasi. Bukan dengan menyuapi rakyat makan agar kenyang, setelah itu besok besok nya kelaparan berkepanjangan. Tapi solusi yang efektif dan berkelanjutan.
Dalam islam, SDA harus dikelola negara tidak boleh diserahkan pada individu, swasta, apalagi asing. Kemudian dikembalikan hasilnya untuk kemaslahatan masyarakat umum. Sehingga pendapatan negara dari SDA saja sudah bisa mensejahterakan rakyat.
Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja yang luas untuk menjamin para lelaki dan penanggung nafkah bisa menafkahi kebutuhan pokok keluarganya. Negara juga membangun kedaulatan pangan di bawah departemen kemaslahatan umum. Departemen ini akan menjaga kualitas pangan di tengah masyarakat. Negara juga akan melibatkan para pakar dalam membuat kebijakan terkait, baik terkait pemenuhan gizi, pencegahan stunting maupun dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan.
Jika memang dibutuhkan, maka negara juga memiliki kebijakan untuk memberikan harta kepada rakyatnya yang membutuhkan, baik itu berupa harta/uang maupun tanah, termasuk untuk keluarga yang para suami/ayah sebagai pencari nafkahnya dalam keadaan miskin, lemah, lanjut usia, sakit menahun, ataupun cacat fisik sehingga tidak mampu bekerja mencari nafkah
Dengan mekanisme yang demikian, islam mampu menjamin kecukupan gizi generasi dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sehat dan bebas dari permasalahan gizi tidak semata ditelaah dari satu aspek lalu diselesaikan dengan menetapkan satu program tertentu. Harus ada langkah sistemis untuk mengurai masalah tersebut. Dan hanya dengan aturan yang mengikuti syariat Islam lah akan terjamin kualitas generasi yang sehat dan mendatangkan maslahat. Wallahu A’lam