Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Keagamaan
Mesir adalah salah satu negara di lingkungan negara-negara Islam atau negara berpenduduk muslim yang banyak sekali melahirkan ulama, tokoh dan pemikir yang namanya sangat terkenal dan melampaui batas-batas negaranya. Di antara mereka misalnya Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Syekh Sayyid Sabiq, Hasan Albana, Abdul Qadir Audah, Sayyid Qutub, Muhammad Musthafa al-Maraghi, Muhammad Husain Haekal, Muhamad al-Ghazali, Yusuf Qardhawi, dan masih banyak lagi. Para ulama besar tersebut selain merupakan aktivis dakwah, pergerakan Islam, juga produktif menulis buku, sehingga banyak buku mereka tersebar ke berbagai belahan dunia Islam sekarang ini.
Muhammad Musthafa al-Maraghi dan Sayyid Qutub adalah dua di antara ulama Mesir yang juga merupakan mufasir. Al-Maraghi mengarang kitab tafsir yang cukup terkenal, yaitu Tasir al-Maraghi, sedangkan Sayyid Qutub menyusun kitab tafsir Fi Zhilal Alquran. Tafsir al-Maraghi banyak dijadikan rujukan tafsir di kalangan Perguruan tinggi Islam dan aktivis dakwah, sedangkan Tafsir Fi Zhilal Alquran yang di Indonesia mulai terkenal sekitar 20 tahun terakhir, kelihatannya banyak dijadikan rujukan di kalangan para aktivis dakwah, aktivitas politik dan forum-forum seminar, bahkan juga pengajian di televisi. Kedua kitab tafsir ini cukup melengkapi kitab-kitab tafsir klasik yang sudah tersebar terdahulu, seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir.
Di Indonesia pun bermunculan juga kitab-kitab tafsir, seperti Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, Tafsir An-Nur karya TM Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dan lainnya. Semakin banyak kitab tafsir semakin baik, karena umat Islam dapat melakukan kajian dan perbandingan. Karena setiap kitab tafsir boleh jadi memiliki corak-corak tersendiri. Corak-corak tersebut boleh jadi diwarnai oleh pendirian, pemikiran, aktivitas dan pengalaman hidup masing-masing ulama yang menyusunnya.
Muhammad Musthafa al-Maraghi dan Sayyid Qutub kelihatannya memiliki corak kehidupan yang berbeda. Al-Maraghi (1881-1945) banyak beraktivitas di lingkungan perguruan tinggi, dengan puncak kariernya sebagai Rektor Universitas al-Azhar Mesir. Banyak sekali menyusun buku dalam sejumlah disiplin ilmu. Pemikirannya, selain beranjak dari nash-nash Alquran dan hadits, juga menghargai akal manausia secara proporsional. Dalam riwayat hidupnya tidak ditemui pertentangan yang keras dengan penguasa Mesir di zamannya, dan beliau meninggal secara wajar (sakit). Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, (Jakarta: Ikhtiar Baru – Van Hoeve, 1993), 165.
Berbeda dengan Sayyid Qutb, selain seorang intelektual, ia juga seorang aktivis pergerakan politik, di mana ia merupakan salah seorang tokoh organisasi Ikhwan al-Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna. Walau ia pernah sekolah dan hidup di Barat, khususnya Eropa dan Amerika, namun pendiriannya cenderung anti Barat. Ia menarik garis tegas antara muslim sejati yang mau menaati dan berhukum kepada Alquran, dengan muslim yang enggan berhukum kepada ajaran Islam. Pihak terakhir ini disebutnya jahiliyah modern, karena namanya saja muslim, tetapi tidak mau menjalankan syariat Islam. Walaupun penguasa Mesir saat itu juga muslim, namun Sayyid Qutb mengambil posisi berlawanan. Akibatnya berkali-kali ia dipenjara, dan sambil menjalani hidup di penjara itulah ia menyusun banyak buku, termasuk Tafsir Fi Zhilal Alquran yang terkenal. Akhirnya karena berbagai fitnah dan tuduhan yang dibesar-besaran, Qutb dan kawan-kawan dijatuhi hukuman mati dengan digantung oleh rezim Presiden Gamal Abdel Nasser pada tanggal 29 Agustus 1966, dan sejak itu ia dikenang sebagai syahid. Lihat John l. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 5, (Jakarta: Mizan, 2004), 71.
Muara dari ajakan dakwah menurut Sayyid Qutb adalah menegakkan syariat Islam, di mana ajaran Allah harus diposisikan secara benar dan proporsional. Allah adalah satu-satunya yang berdaulat dan syariat Islam yang komprehensif merupakan satu-satunya hukum yang mengatur umat. Hukum buatan manusia harus dihapus dan disingkirkan dalam kehidupan dan sistem politik. Lihat Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Alih bahasa Ilyas Hassan, (Bandung: Mizan, 1995),162.
Argumentasi dakwahnya yang kuat, membuat pemikiran-pemikiran Qutb tetap berlanjut hingga sekarang, dan dipercayai banyak mengilhami berbagai gerakan politik dan dakwah di dunia Islam, seperti Hizbullah Lebanon, HAMAS di Palestina, Ikhwan al-Muslimin di Sudan, Front Penyelamat Islam (FIS) Aljazair, Hizbut Dakwah di Irak, Hizbut Tahrir dan sebagainya.
Terlihat pola kehidupan dan perjuangan dakwah relatif berbeda antara al-Maraghi dengan Sayyid Qutb. Perbedaan ini diduga akan banyak pengaruhnya terhadap pemikiran mereka mengenai dakwah Islamiyah yang dituangkan dalam kitab-kitab tafsir yang mereka karang. Misalnya ketika menafsirkan surah Ali Imran ayat 104 tentang dakwah. Menurut al-Maraghi, umat Islam masa Rasulullah dan Sahabat pada periode awal sudah melaksanakan misi ayat ini di mana mereka melaksanakan tugas dakwah dengan optimal. Namun sasaran ayat ini adalah umat Islam keseluruhan. Mereka terkena taklif memilih satu golongan untuk mengemban tugas ini dengan sebenar-benarnya. Menuju keberhasilan itu juru dakwah harus memenuhi berbagai persyaratan ilmu agama dan umum yang mendalam, sifat-sifat terpuji dan kemampuan berkomunikasi. Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 4, Alih bahasa Bahrun Abubakar, (Semarang: Toha Putra, 1989), 34.
Menurut Qutb, umat yang dimaksud ayat ini ialah sekelompok orang beriman (jam’atun minannas) yang mampu melaksanakan tugas-tugas dakwah. Walau tugas ini dapat dilakukan perorangan atau kelompok, namun umat yang kuat harus dibentuk di atas dua prinsip utama, pertama prinsip iman dan taqwa, dan kedua prinsip persaudaraan (ukhuwah) karena Allah (‘ala manhaj Allah), demi terwujudnya sistem Allah (li tahqiq manhaj Allah). Tanpa iman, taqwa dan ukhuwah, umat Islam tidak akan kuat dan tidak mampu berdakwah menuju khaira ummah. Lihat Sayyid Quthb, Fi Zhilal Alquran, Jilid I, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1982), 441.
Walau beberapa ulama berbeda dalam pendirian dan penafsiran, namun mereka saling melengkapi. Kita perlu memahami pemikiran mereka dan mengaplikasikannya dalam tugas dakwah sekarang, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing. Dakwah adalah tugas mulia. Orang dan organisasi dakwah adalah orang-orang yang beruntung, karena mereka telah meneruskan tugas dakwah dari Nabi dan para sahabat di masa lalu.Tugas ini tidak boleh berhenti sampai akhir zaman. Wallahu A’lam.