Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Pakar Hukum ULM Sebut Pengelolaan SDA Didesain Hanya Kepentingan Golongan

×

Pakar Hukum ULM Sebut Pengelolaan SDA Didesain Hanya Kepentingan Golongan

Sebarkan artikel ini
IMG 20250206 WA0068
Para peserta diskusi interaktif dilaksanakan SKH Kalimantan Post berfoto bersama. (Kalimantanpost.com/ful)

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Tema Diskusi yang digagas SKH Kalimantan Post ‘Sumber Daya Alam di Banua Merupakan Berkah atau Petaka Bagi Rakyat langsung ‘mematik emosi’ para yang peserta yang menghadiri kegiatan tersebut.

Peserta Diskusi yang hadir diantaranya tokoh Banua seperti pakar Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Moh Effendi, Ketua FKUP Kalsel Ilham Masykur, Direktur Walhi Kalsel Raden Septian, advokad Nita Rosita dan Nita Rosita dari Borneo LAW Firm, wartawan Nanik Hayati, Adi Jayadi dan Satria Bima dan BEM ULM, BEM STIHSA.

Baca Koran

Lalu, dari pemerintahan dihadiri Kabid PPAS RHL Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel Alif Widodo, Kabid Pertambangan Dinas ESDM Provinsi Kalsel Gayatrie AF dan lain-lain.

Pemimpin Redaksi Kalimantan Post Hj Sunarti yang membuka Diskusi mengungkapkan kenapa koran asli Banua ini sekarang selalu hadir melakukan diskusi ini, karena Kalimantan Post merasa terpanggil bagaimana kedepan Banua ini.

“Sebelumnya kita tidak pernah bayangkan di beberapa daerah di Kota Banjarmasin terjadi banjir selama berbulan-bulan. Begitu juga di Martapura dan sekitarnya dan daerah lainnya menjadi langganan banjir,” ujarnya.

Nah, kondisi yang cukup memprihatinkan inilah membuat Kalimantan Post merasa terpanggil bagaimana menjaga alam dan lingkungan tetap terjaga dan terawat.

“Melalui diskusi ini kita urung rembug bagaimana.mencari solusi agar berbagai permasalahan di daerah bisa teratasi,” ungkapnya.

Pemandu diskusi sekaligus
Kepala Divisi Pengembangan Media Kalimantan Post Sukhrowardi meminta pakar Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Moh Effendi pemantik pertama dalam diskus tersebut.

Moh Effendi mengatakan dalam konstitusi menyebutkan kekayaan alam itu dikuasai negara dan sebesar-besarnya dimanfaatkan kemakmuran rakyat.

“Namun, dasar hukum tersebut terkadang ‘tak dibaca’ dalam proses perkembangannya. Malah terjadi tarik ulur yang kuat antara pusat dan daerah,” paparnya.

Ditambahkan Effendi, NKRI yang ada otonomi daerah, sehingga urusan pemerintah untuk dipilah menjadi urusan pusat ada yang menjadi urusan daerah

Dosen Fakultas Hukum ULM ini menceritakan di zaman orde Baru itu kan sangat sentralistik, sehingga semua kewenangan pemerintah diatur oleh pemerintah pusat.

Baca Juga :  Cerita Ibnu Sabil, Libatkan Para Pebisnis Bersihkan TPS di Pelambuan

“Tapi adanya reformasi mencoba untuk mendesentralisasikan kewenangan dari pusat, termasuk pemberian kewenangan di bidang kehutanan dan juga pertambangan yang mulai dan menjadi sumber bencana yang banyak di negara kita,” ucapnya.

“Sempat dengan adanya otonomi daerah diserahkan ke daerah, setelah itu kembali diambil alih pusat,” sambungnya.

Adanya perubahan kebijakan tersebut, posisi negara itu tetap lemah.

“Di masa Orde Baru, kita masih memang menghargai pak Harto dengan sentralisasinya. Beliau pengendali kebijakan. Sekarang yang menjadi pengendali kebijakan bukan orang-orang nomor satu (Presiden), tapi pengendali kebijakan itu orang di belakangnya,” tandasnya.

Ditambahkan Effendi, dalam pengelolaan sumber daya alam itu memang didesain untuk kepentingan golongan-tertentu dan itu hampir tidak ada kepentingan masyarakat.

“Kondisi ini terjadi tahu 1990-an. Nah berarti sudah hampir 15 tahun 20 tahun. Adakah perkembangan ekonomi yang di backup oleh pertambangan untuk kemaslahatan rakyat. Yang ada bencana alamnya, banjirnya saja,” tegasnya.

Sementara itu, Nina Rosita dari Advokat Borneo LAW Firm mengatakan banyak juga masyarakat baik perorangan maupun dari memiliki kebun tanah mengeluhkan dan mengadukan meminta perlindungan.

“Kami dari sisi advokat di sini pernah menangani, kalau tanahanya itu dia sudah mengklaim dengan administrasi yang lengkap, tapi pada realitanya mereka mengambil luasan tanah masyarakat, sedangkan masyarakat hanya memiliki legalitas lisan saja,” paparnya.

Ditambahkan Nina, saat banjir 2021 pihaknya pernah menggugat banjir, yang terjadi. Akan tetapi, kerugian dari masyarakat tidak bisa mereka buktikan.

“Nyatanya, selama ini kalau kami melakukan pendampingan ini minim bukti, masyarakat yang sudah mengalami kerugian dan mau mengklaim kerugian ini malah kesulitan. Kami juga menyoroti, kenapa bisa izin tambang dekat dengan pemukiman, tanah masyarakat adat,” ujarnya.

Dia menyarankan pihak pusat dan pemda harus melihat langsung realita hidup masyarakat yang terdampak secara langsung, tidak hanya berbasis data survey.

“Kami dari sisi advokat, kalau masih ada yang mengeluh. ini salah satu cerminan pemerintah tidak melihat secara langsung. Selama pemimpin-pemimpin kita tidak turun di lapangan dan masyarakat yang termakan iming-iming tambang, akan terus terjadi. Perlu diperkuat lagi sinergitas dan pengawasan terhadap izin tambang ini kepada pemerintah,” tandasnya.

Baca Juga :  Wakil Gubernur Hasnuryadi Safari Ramadan ke Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu

Menariknya, sekarang dari segi pendidikan yang harusnya menjadi kontrol, malah terselimuti dengan izin tambang tersebut.

“Intinya, kalau memang hal itu merusakan orang banyak, kami dari sisi advokat merasa tergugah dan memikirkan posisi kami dalam membantu persoalan tersebut,” tandasnya.

Sementara itu, Rizaldi Ketus BEM ULM mengatakan pada musyawarah BEM Nasional, BEM ULM siap menjadi koordinator isu lingkungan.

“Saat itu kami di respon positif dan mempunyai standing position yang tegas akan hal itu. Pertama, pemasukan apapun yang ada di daerah ini kita perlu fokus terhadap keberlanjutan lingkungannya. Contohnya ormas yang ada saja disuruh mengurus tambang masih belum selesai, apalagi universitas. Sekarang keputusan dan kebijakan terkesan ugal-ugalan dan terjadinya praktik politik balas budi,” ujarnya.

Menurut catatan mereka, hari banyak ormas yang menerima tambang dan IUP ini ketika tidak bisa mengelola, lalundiserahkan kepada pihak swasta.

“Sangat disayangkan ketika jajaran rektorat merespon ini. Kami mahasiswa siap menjadi pihak terdepan untuk menuntut hal ini,”‘ tegasnya.

Begitu juga, Nanik Hayati salah satu perwakilan jurnalis, mengambil contoh di Tapin, pertambangan menyumbang 44,5 persen PPRDB, tapi tenaga kerjanya hanya 5 persen saja.

“Bahkan ada desa-desa yang juga masih belum merasa penghasilannya. Hal ini perlu dikaji lagi dari Dinas Tenaga Kerja. Ada 13,22 miliar ton batubara dengan 99,5 miliar ton batu bara yang sudah terverifikasi atau bisa untuk dieksploitasi. Namun, kita punya hampir 200.000 warga miskin,” ujarnya.

Dijelaskan Nanik, kalau hasil dari sektor pertambangan batubara ini bisa menghasilkan 4 triliun dan dikelola dengan baik mungkin warga miskin dalam hal ini bisa tertolong.

“Saya melihat dari ketimpangan sudut ekonomi dan jumlah warga miskin di daerah kita,” pungkasnya.(ful/KPO-3)

Iklan
Iklan