Oleh : Hafizhaturrahmah dan Hifridha Sari
Aktivis
Menghadirkan anak yang cerdas dan sukses merupakan dambaan setiap orangtua. Mungkin sebagian besar dari kita, terutama para orang tua, sering mendambakan anak-anak yang pandai di bidang akademik—seperti matematika, sains, atau bidang studi lainnya yang terkesan “ilmiah” dan prestisius. Tak jarang, prestasi anak yang menonjol dalam pelajaran ini dipandang sebagai indikator kecerdasan yang utuh dan menjanjikan masa depan cerah. Namun, apakah kita sudah benar-benar memahami apa yang mendasari kecerdasan seorang anak? Atau justru, kita sebagai orang tua tanpa sadar telah memberikan pola asuh yang justru membatasi potensi anak-anak?
Salah satu hal yang sering menjadi perhatian adalah ketakutan yang berkembang pada anak-anak pintar ketika mereka menghadapi tantangan yang lebih besar. Fenomena ini terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, di mana anggapan bahwa siapa yang sukses di sekolah pasti akan sukses dalam kehidupan berkembang kuat. Pandangan ini telah mempengaruhi cara kita memandang prestasi akademik sebagai ukuran kecerdasan seseorang. Namun, jika kita mengamati lebih dekat, kita akan menemukan bahwa ada banyak hal yang lebih penting daripada sekedar nilai akademik dalam mengasah kecerdasan anak.
Penting untuk memahami konsep yang diperkenalkan oleh psikolog Carol Dweck, yang mengungkapkan perbedaan mendasar antara dua jenis mindset: fixed mindset dan growth mindset. Dalam penelitian yang melibatkan ratusan anak pandai, Dweck menemukan bahwa anak-anak yang terbiasa dipuji karena kemampuan alami mereka cenderung mengembangkan pola pikir tetap (fixed mindset). Mereka berpikir bahwa kecerdasan mereka adalah sifat bawaan yang tidak bisa berubah, dan karena itu mereka sangat takut jika harus menghadapi tantangan yang lebih besar. Ketika dihadapkan pada kesulitan atau kegagalan, mereka lebih cenderung merasa terancam dan cemas, dan sering kali memilih untuk menghindari tugas yang lebih sulit.
Sebaliknya, anak-anak yang memiliki growth mindset atau pola pikir berkembang, lebih suka menghadapi tantangan dan menganggap kesulitan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Mereka tidak takut membuat kesalahan dan menganggap usaha sebagai kunci keberhasilan. Dweck menemukan bahwa anak-anak dengan growth mindset cenderung lebih gigih dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi hambatan. Ironisnya, banyak anak-anak yang mendapatkan label “pintar” sejak dini, cenderung menghindari tantangan karena mereka takut gagal dan kehilangan status “pintar” tersebut. Bahkan mereka sering kali menunjukkan ketakutan yang lebih besar terhadap nilai jelek dibandingkan dengan kesulitan yang akan mereka hadapi dalam kehidupan nyata.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari peran orang tua dalam membentuk mindset anak-anak mereka. Banyak orang tua yang terlalu sering memuji anak-anak mereka karena prestasi akademik mereka, tanpa memberikan ruang untuk anak belajar dari kesalahan atau menghadapi tantangan. Dalam banyak kasus, orang tua lebih fokus pada hasil—nilai yang tinggi dan penghargaan—daripada pada proses belajar itu sendiri. Padahal, salah satu cara terbaik untuk membentuk kecerdasan anak adalah dengan mendorong mereka untuk berpikir kritis, menghadapi tantangan, dan mengajarkan mereka bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar.
Kebiasaan ini sering kali berakar dari harapan orang tua yang terlalu tinggi, yang cenderung berorientasi pada hasil tanpa memperhatikan perkembangan anak secara keseluruhan. Misalnya, ketika seorang anak gagal dalam ujian atau tidak mendapat nilai yang memuaskan, orang tua mungkin merasa kecewa dan menyalahkan anak tersebut. Hal ini dapat menciptakan rasa takut gagal dalam diri anak, yang akhirnya membuat mereka enggan mencoba hal-hal baru atau menghadapi tantangan yang lebih besar. Sebaliknya, ketika seorang anak berhasil mencapai sesuatu, mereka merasa bangga dan sering dipuji tanpa memberikan ruang untuk mereka belajar dari proses tersebut.
Lebih jauh lagi, kesalahan dalam pola asuh ini juga terkait dengan kecenderungan orang tua untuk mengevaluasi kecerdasan anak berdasarkan apa yang mereka lihat di sekolah—nilai ujian, rangking kelas, dan sebagainya. Padahal, kecerdasan tidak hanya tercermin dari seberapa cepat anak dapat menghafal atau menyelesaikan soal-soal matematika. Kecerdasan yang sesungguhnya meliputi kemampuan berpikir kritis, kreativitas, empati, dan keterampilan sosial. Hal-hal ini sering kali tidak terlihat dalam nilai akademik yang dapat dihitung atau dilihat secara langsung.
Penting bagi orang tua untuk mengubah pendekatan mereka terhadap pendidikan dan kecerdasan anak. Alih-alih memfokuskan pada hasil yang terlihat, orang tua sebaiknya memberikan lebih banyak dukungan terhadap usaha dan proses belajar anak. Mereka harus mendorong anak untuk mencoba hal-hal baru, menghadapi tantangan, dan tidak takut gagal. Sebuah sikap positif terhadap kegagalan, di mana anak diajarkan untuk melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang, adalah kunci untuk mengembangkan growth mindset.
Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa setiap anak memiliki potensi yang unik dan cara belajar yang berbeda. Kecerdasan anak tidak hanya terbatas pada kemampuan akademik, tetapi juga melibatkan keterampilan lainnya seperti kecerdasan emosional, kemampuan sosial, dan kreativitas. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mendukung perkembangan anak secara menyeluruh, bukan hanya mengejar nilai-nilai akademik yang tinggi.
Akhirnya, untuk menciptakan anak yang cerdas dan siap menghadapi tantangan kehidupan, kita harus memastikan bahwa mereka memiliki pola pikir yang terbuka, tidak takut gagal, dan percaya bahwa usaha yang keras akan membuahkan hasil. Dengan memberikan dukungan yang tepat dan tidak terburu-buru dalam mengejar hasil, kita dapat membantu anak-anak kita mencapai potensi terbaik mereka, bukan hanya dalam pendidikan, tetapi juga dalam kehidupan mereka secara keseluruhan.