Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Kondisi reformasi di negeri ini yang dulu diperjuangkan dengan berdarah-darah, kini jauh dari mengembirakan. Gerakan reformasi yang kemarin dibangun oleh mahasiswa dan sejumlah tokoh reformis yang ditandai keberhasilan menurunkan Pak Harto Mei 1998, kelihatannya sudah mandeg dan sudah kehilangan arah. Pihak yang berkuasa sudah tidak menjiwai semangat reformasi.
Dulu di awal-awal gerakan reformasi rakyat seolah beroleh suntikan darah baru, yang menjanjikan harapan-harapan perbaikan nasib dan taraf hidup daripada sebelumnya. Kini umumnya rakyat lapisan bawah tak lagi tertarik dengan jargon reformasi, karena mereka memang tidak merasakan manfaatnya secara substansial dan nyata. Bahkan banyak yang beranggapan enakan zaman Pak Harto. Swasembada pangan, harga sembako murah, stabilitas keamanan terjaga, persatuan dan kesetuan mantap, negeri berwibawa.
Sebenarnya banyak persoalan besar kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang harus menjadi prioritas agenda reformasi. Amien Rais (1998: 13) menyebut lima di antaranya, yakni demokratisasi, pembentukan pemerintahan yang bersih, penegakan keadilan sosial, pembangunan SDM dan penguatan persatuan dan kesatuan bangsa.
Realitas di lapangan, kelima persoalan besar itu ternyata tidak diperjuangkan dengan baik oleh para elit sekarang, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Demokratisasi memang sempat menonjol di awal reformasi, berupa kebebasan pers, berekspresi, berorganisasi bahkan berdemo. Tapi kini seolah mentah lagi. Atau masih dibolehkan berdemo dan mengeritik, tapi yang dikritik merasa benar sendiri.
Pemerintahan yang bersih juga makin kedodoran, KKN bukannya mengecil, tapi peningkatan kualitas dan kuantitasnya serta dipraktikkan terang-terangan. Di mata Indonesianis asal AS Prof. Dr. Jeffrey A. Winters, Indonesia masa reformasi kini justru lebih parah KKN-nya daripada masa Orde Baru. Perang terhadap KKN lebih ditujukan kepada pejabat eksekutif di tingkat bawah, padahal ia bisa saja terjadi pada level atas; legislatif, yudikatif, dan sebagainya. Sejak dulu, Mohammad Hatta dan Mochtar Lubis sudah melihat bahwa KKN di negeri ini cenderung menjadi budaya yang merasuki semua lini kehidupan.
Keadilan sosial lebih lagi banyak terabaikan. Bahkan ada pendapat, kalau masa Bung Karno terlanggar sila pertama, Soeharto sila kedua, Habibie sila ketiga, Gus Dur sila keempat, dan sekarang semua sila terabaikan. Kebijakan ekonomi yang dianut yang memusat di tangan oligarki cenderung tidak berpihak kepada rakyat kecil. Belum lagi supremasi hukum yang belum dan jauh dari memuaskan, karena masih kentalnya fenomena tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas. Juga KKN masih menonjol.
Pembangunan SDM tak kunjung mengembirakan, salah satunya masih rendahnya anggaran pendidikan. Desentraliasi pendidikan yang mengiringi kebijakan Otonomi Daerah, yang juga mengenalkan konsep manajemen pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat, ternyata berdampak pada semakin mahalnya biaya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Padahal mengingat krisis ekonomi yang lambat pulih, rakyat umumnya belum mampu menyandang biaya tersebut.
Misi Partai Reformis
Perjuangan reformasi mestinya menjadi tanggung jawab partai-partai politik. Namun tampaknya setelah duduk umumnya mereka lebih berorientasi kepada kekuasaan dan kekayaan. Wajar bila agenda-agenda reformasi mengalami kegagalan. Partai seperti tersandera oleh ketuanya dan kekuatan di luar partai.
Memang kegagalan suatu gerakan bukan hanya milik bangsa Indonesia. Revolusi Perancis l789 yang mengusung semboyan Liberty, Egality dan Fraternity hanya sukses melengserkan Kaisar Louis van Bourbon, tapi gagal dalam mewujudkan semboyannya. Ternyata Perancis tidak mau ketinggalan ikut menjajah bangsa-bangsa lain, semisal Mesir, Tunisia dan Indochina, sama dengan negara-negara kolonialis barat lainnya.
Deklarasi HAM yang dicetuskan pasca Perang Dunia II dan dikomandani AS juga gagal menerapkan konsep HAM yang universal dan berkeadilan. AS cs hingga kini tetap subyektif dan menganut standar ganda dalam menjalankan HAM. Puluhan ribu rakyat Irak, Afghanistan dan Palestina yang tewas akibat perang dan embargo ekonomi mereka anggap sah-sah saja, sedangkan bila rakyat mereka tewas langsung bereaksi keras.
Glasnost dan Perestroika yang digagas oleh Presiden Michael Ghorbachev juga gagal, karena berakibat bubarnya Uni Soviet. Meski rezim komunis Soviet juga diktator, namun dunia patut menyesalkan gagalnya reformasi Ghorbachev, sebab hilangnya Soviet berakibat AS sewenang-wenang menyerang dan menerkam bangsa-negara yang tidak disukainya, karena tidak ada lagi rival yang diseganinya.
Adanya kegagalan-kegagalan di atas tentu tidak boleh menjadi pembenar bagi partai-partai politik sekarang, sehingga tidak konsen lagi memperjuangkan agenda reformasi yang sesungguhnya. Semua pihak harus belajar banyak dari sejarah, sebab bila tidak akan terjadi jatuh dua kali ke kubang yang sama.
Mengurai Tenunan
Gagalnya agenda-agenda reformasi, selain karena keasyikan partai-partai berebut kue kekuasaan, juga karena mereka tidak benar-benar ingin melakukan perubahan. Amien Rais sendiri mengakui, minimal ada lima prestasi besar pemerintah Orde Baru yang patut dicatat, yakni : 1) realisasi stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang mantap; 2) kemampuan berswasembada pangan; 3) stabilitas politik dan sosial yang mantap; 4) terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa dan 5) citra internasional yang cukup .
Reformasi harus dimaknai perbaikan berbagai aspek kehidupan ke arah yang lebih baik. Prestasi yang baik mestinya tetap dijaga dan dipertahankan, dengan mengoreksi beberapa kelemahan seperti kurangnya pemerataan, merajalelanya KKN, pelanggaran HAM, lemahnya demokrasi dan besarnya utang luar negeri. Yang terjadi sekarang selain hal-hal di atas tidak terjaga, hal-hal negatif malah makin bermunculan. Malah utang luar negeri terbesar sepanjang sejarah, sehingga sangat membebani APBN dan berdampak terhadap rakyat.
Ke depan dituntut komitmen tinggi semua komponen bangsa. Masih ada waktu untuk meluruskan kembali agenda reformasi yang stagnan dan bias sekarang. Mengingat partai-partai, terutama yang berhasil duduk di legislatif dan eksekutif banyak sekali menentukan konstelasi politik, tentu kita tetap berharap banyak pada mereka. Mereka harus mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan. Tidak perlu gagah-gagahan dalam berdemokrasi sehingga mengabaikan etika politik. Tidak usah pula menafikan semua yang sudah dicapai rezim sebelumnya, padahal prestasi rezim kini juga belum nampak.
Bangsa kita sudah amat tertinggal dibanding bangsa dan negara lain. Jadi sesuatu yang baik tinggal diteruskan. Kalau kita suka mengutak atik yang ada, jangan-jangan kita seperti cerita nenek tua yang capek-capek menenun kainnya, tapi setiap mau selesai, dia bongkar lagi dan hancur kembali, sehingga harus memulai dari awal. Akibatnya tenunannya tidak kunjung selesai, padahal ia dan anak cucunya perlu cepat memakainya karena pakaian di badan mereka sudah compang camping.