Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Salah Kaprah Kampus sebagai Pabrik Pekerja

×

Salah Kaprah Kampus sebagai Pabrik Pekerja

Sebarkan artikel ini

Oleh: Norlian S.Sos

Dulu, menjadi sarjana adalah simbol kesuksesan. Gelar akademik dianggap sebagai tiket emas menuju pekerjaan bergaji tinggi dan masa depan yang cerah. Namun, realitas hari ini jauh berbeda. Lulusan perguruan tinggi justru menghadapi tantangan besar: sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, persaingan yang semakin ketat, dan nilai gelar yang kian tergerus. Jika sarjana tidak lagi otomatis mendapatkan pekerjaan, lalu di mana letak kesalahannya? Pada individu, sistem pendidikan, atau justru pada dunia kerja itu sendiri?

Baca Koran

Selama puluhan tahun, kita diajarkan bahwa kuliah adalah langkah wajib menuju kesuksesan. Namun, sistem pendidikan tinggi di Indonesia masih beroperasi dengan cara lama: mencetak lulusan yang siap bekerja di perusahaan besar, bukan individu yang mampu menciptakan peluang sendiri. Ini yang disebut graduate-to-employment pipeline, di mana mahasiswa diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan untuk mengembangkan potensi mereka secara mandiri.

Dalam bukunya The Job (2016), Ellen Ruppel Shell menjelaskan bahwa dunia kerja modern tidak lagi membutuhkan sarjana dalam jumlah besar. Yang dibutuhkan adalah individu dengan keahlian spesifik yang bisa langsung diterapkan. Masalahnya, banyak universitas masih terpaku pada metode pengajaran teoretis, minim pengalaman praktis, dan kurang memberikan kebebasan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi bidang yang benar-benar mereka minati. Akibatnya? Banyak lulusan yang bingung harus bekerja di mana dan merasa ilmunya tidak relevan dengan kebutuhan pasar.

Selama ini, ada anggapan bahwa jurusan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) adalah jalan pintas menuju pekerjaan stabil. Namun, realitasnya tidak semudah itu. Laporan McKinsey Global Institute memprediksi bahwa pada tahun 2030, sekitar 800 juta pekerjaan di seluruh dunia akan tergantikan oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan. Ini berarti, meskipun seseorang memiliki keterampilan teknis, jika pekerjaannya bisa diotomatisasi, ia tetap akan kehilangan daya saing.

Baca Juga :  Dilema Narkoba, "Dihagai Kada Kahagaan"

Fenomena ini menunjukkan bahwa bukan hanya lulusan ilmu sosial dan humaniora yang mengalami pengangguran. Bahkan mereka yang memiliki keahlian teknis pun harus bersaing dengan algoritma dan robot. Jika pendidikan tinggi tidak segera menyesuaikan diri dengan perkembangan ini, maka lulusan yang dihasilkan akan semakin tertinggal dari kebutuhan industri yang terus berubah.

Randall Collins dalam teori Credential Inflation menjelaskan bahwa semakin banyak orang memiliki gelar akademik, semakin kecil nilai ekonomis dari gelar tersebut. Di masa lalu, memiliki gelar sarjana adalah keunggulan kompetitif. Sekarang? Gelar hanya menjadi syarat administratif, sementara perusahaan lebih memprioritaskan keterampilan dan pengalaman nyata.

Akibatnya, lulusan perguruan tinggi kini harus bersaing tidak hanya dengan sesama sarjana, tetapi juga dengan lulusan vokasi, sertifikasi bootcamp, bahkan individu tanpa gelar yang memiliki pengalaman kerja lebih relevan. Hal ini menjelaskan mengapa banyak lulusan universitas sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai, sementara beberapa individu tanpa gelar justru sukses di dunia profesional.

Banyak pihak beranggapan bahwa solusi dari pengangguran sarjana adalah memperbaiki kurikulum, menambah program magang, atau mempererat kerja sama antara kampus dan industri. Tapi apakah itu cukup? Tidak.

Ada beberapa faktor lain yang juga harus diperhatikan:

  1. Regulasi Ketenagakerjaan yang Kaku

Banyak aturan di Indonesia yang justru menghambat penciptaan lapangan kerja baru. Alih-alih mendorong perusahaan untuk merekrut lebih banyak tenaga kerja, regulasi yang berbelit sering kali membuat pengusaha lebih memilih otomatisasi atau tenaga kerja kontrak dibanding merekrut lulusan baru.

  1. Struktur Ekonomi yang Tidak Ramah Sarjana

Mayoritas lapangan kerja yang tersedia masih bertumpu pada sektor informal dan tenaga kerja kasar. Akibatnya, banyak lulusan sarjana yang harus bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan pendidikan mereka, bahkan menerima gaji yang jauh di bawah standar yang diharapkan.

Baca Juga :  Dosen, Ai, dan Semiotika Peirce: Menjaga Makna Dalam Proses Pembelajaran
  1. Dominasi Perusahaan Besar dan Monopoli Ekonomi

Persaingan yang tidak sehat di dunia bisnis membuat sulitnya peluang bagi wirausahawan baru. Ketika hanya segelintir perusahaan besar yang mendominasi pasar, peluang bagi lulusan untuk menciptakan usaha sendiri pun semakin kecil.

Kesimpulan: Sarjana Harus Berhenti Bergantung pada Gelar

Jika kita terus berpegang pada anggapan bahwa “gelar sarjana adalah tiket menuju pekerjaan”, kita justru menutup mata terhadap kenyataan bahwa dunia kerja telah berubah drastis. Pendidikan tinggi bukan lagi satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Yang lebih penting adalah keterampilan, adaptasi, dan kemampuan menciptakan peluang sendiri.

Daripada sekadar mengejar ijazah, sudah saatnya mahasiswa mulai fokus pada pengembangan keterampilan yang benar-benar dibutuhkan pasar. Jika tidak, generasi sarjana berikutnya akan terus terjebak dalam paradoks: semakin tinggi pendidikannya, semakin sulit mendapatkan pekerjaan.

Iklan
Iklan