Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Skandal Pagar Laut: Antara Keserakahan Korporasi dan Lemahnya Negara

×

Skandal Pagar Laut: Antara Keserakahan Korporasi dan Lemahnya Negara

Sebarkan artikel ini

oleh: Jumi
Aktivis Dakwah Kampus

SEJAK Juli 2024, kehadiran pagar bambu di perairan Kabupaten Tangerang mulai menjadi perhatian warga dan kelompok advokasi sipil. Namun, baru setelah isu ini viral di media sosial, pemerintah mengambil tindakan dengan mencabut pagar tersebut. Padahal, kelompok nelayan tradisional telah mengadukan masalah ini ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten sejak September 2024. Keberadaan pagar bambu yang didirikan tanpa izin tidak hanya menyulitkan para nelayan melaut tetapi juga menimbulkan kecurigaan adanya proyek reklamasi tersembunyi.

Baca Koran

Pelanggaran Hukum

Dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR pada Januari 2025, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengumumkan pencopotan delapan pejabat yang terlibat dalam kasus pagar laut. Mereka diberi sanksi berat hingga pemberhentian. Namun, langkah ini hanya menyelesaikan masalah di permukaan. Pelanggaran hukum terkait pembangunan pagar laut dengan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) belum dibawa ke ranah pidana. Bahkan, dugaan suap atau korupsi di balik penerbitan sertifikat tersebut masih menjadi tanda tanya besar.

Pejabat Kementerian ATR/BPN menyebutkan, secara prosedural, dokumen-dokumen yang digunakan untuk menerbitkan HGB itu lengkap. Namun, fakta material menunjukkan ketidaksesuaian karena wilayah yang dimaksud adalah laut, bukan daratan. Anehnya, tanah laut ini bahkan dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Fenomena ini menambah ironi terhadap lemahnya pengawasan negara atas aset-asetnya.

Dibalik Kasus Pagar Laut

Kasus ini mengungkapkan wajah nyata dari korporatokrasi—situasi di mana korporasi besar memiliki pengaruh yang mendominasi atas keputusan pemerintah. Pagar laut yang awalnya diklaim untuk kepentingan publik ternyata melibatkan perusahaan seperti PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa, yang diketahui memanfaatkan celah hukum demi kepentingan bisnis mereka.

Selain korporasi, kasus ini juga menyeret oknum kepala desa, pejabat kecamatan, hingga petinggi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang. Mereka diduga menyalahgunakan wewenang dengan memanipulasi dokumen sejak 2012. Segel-segel keterangan lahan yang diterbitkan pada era 1980-an dijual murah kepada pihak tertentu untuk diterbitkan menjadi surat keterangan lahan garapan, yang kemudian dijual kembali kepada perusahaan-perusahaan besar.

Baca Juga :  HAMBA ALLAH

Paradoks Pengelolaan

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, potensi sumber daya kelautan Indonesia mencapai Rp3.000 triliun per tahun. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya ini jauh dari optimal. Lemahnya pengawasan pemerintah daerah serta minimnya partisipasi masyarakat lokal menjadi celah bagi korporasi untuk menguasai wilayah pesisir secara ilegal. Ironisnya, UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja justru mereduksi perizinan, membuka jalan bagi investor besar untuk mengeksploitasi sumber daya ini dengan mudah.

Denda administratif yang dijatuhkan kepada pelaku kapling laut sebesar Rp18 juta per kilometer jelas tidak sebanding dengan dampak kerugian yang ditimbulkan. Mafia pagar laut, yang kini merebak di berbagai daerah, menjadi simbol nyata dari lemahnya negara dalam melindungi hak-hak rakyat dan kedaulatan wilayahnya.

Solusi Islam

Masalah ini mencerminkan kegagalan sistem kapitalisme dalam mengelola sumber daya alam secara adil. Korporatokrasi yang lahir dari prinsip liberalisme ekonomi membuka peluang bagi oligarki untuk mengeksploitasi harta rakyat dengan mudah, bahkan dengan bantuan aparat negara. Sebaliknya, Islam menawarkan solusi menyeluruh melalui sistem ekonomi Islam yang berbasis pada kepemilikan yang jelas dan pengelolaan yang adil, yakni :

  1. Kepemilikan Umum dalam Islam. Dalam Islam, sumber daya alam seperti laut, hutan, dan tambang termasuk dalam kategori kepemilikan umum. Artinya, sumber daya ini tidak boleh dimiliki oleh individu atau korporasi, melainkan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Negara bertindak sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) yang wajib memastikan bahwa sumber daya ini digunakan secara adil dan transparan; 2. Larangan Korporatokrasi dan Eksploitasi. Islam melarang segala bentuk eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi atau individu untuk kepentingan pribadi. Negara wajib mencegah praktik korporatokrasi yang merugikan rakyat. Setiap kebijakan yang dibuat harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan oligarki atau korporasi besar; 3. Sanksi Tegas bagi pelanggar hukum. Sistem sanksi dalam Islam tegas dan adil. Setiap pelanggaran hukum, termasuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang, akan dihukum setimpal tanpa pandang bulu. Sanksi ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kejah
    atan serupa di masa depan; 4. Pengawasan yang ketat dan transparan. Negara Islam wajib menjalankan sistem pengawasan yang ketat dan transparan dalam pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat juga diberi hak untuk mengawasi dan melaporkan setiap penyimpangan yang terjadi. Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran) harus diterapkan secara luas; 5. Pendidikan dan kesadaran masyarakat. Negara wajib memberikan pendidikan yang memadai kepada rakyat tentang hak-hak mereka dan pentingnya menjaga sumber daya alam. Kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban mereka akan menjadi benteng kuat dalam mencegah praktik korupsi dan eksploitasi.
Baca Juga :  Menyerahkan Pencapaian Swasembada Pangan di Tangan Petani Muda

Skandal pagar laut di Tangerang adalah cermin dari persoalan sistemik yang melibatkan korporasi besar, pejabat publik, dan lemahnya pengawasan negara. Tindakan pencopotan pejabat dan denda administratif hanyalah langkah awal. Kasus ini harus diusut tuntas hingga ke ranah pidana untuk memastikan keadilan bagi rakyat dan kedaulatan negara.

Sebagai negara dengan sumber daya kelautan yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk menyejahterakan rakyatnya. Namun, hal ini hanya bisa terwujud jika pemerintah tegas melindungi aset-aset negara dari jerat korporasi serakah, dengan menerapkan aturan yang adil dan transparan yakni Sistem Islam, Islam memberikan teladan yang jelas dalam hal ini: pengelolaan sumber daya yang berkeadilan dan berpihak pada rakyat. Wallahu Allam

Iklan
Iklan