Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Efesiensi Anggaran untuk Rakyat atau Salah Kelola Negara?

×

Efesiensi Anggaran untuk Rakyat atau Salah Kelola Negara?

Sebarkan artikel ini

oleh : Yulia Sari, SH
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Pada 22 Januari 2025, Presiden Republik Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Presiden memerintahkan Kementerian Keuangan untuk melakukan pemangkasan anggaran terkait belanja negara yang dinilai kurang efesien. Presiden menyampaikan bahwa tujuan dari pemangkasan ini untuk mencegah terjadinya kebocoran yang akan merugikan negara seperti terjadinya korupsi serta untuk mengurangi pemborosan anggaran dan meningkatkan efektivitas belanja negara dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Menurut pemerintah hasil efesiensi ini nantinya akan dialihkan ke program prioritas negara seperti makan bergizi gratis (MBG), Pelayanan Kesehatan Masyarakat dan swasembada pangan yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Baca Koran

Dari hasil efesiensi anggaran ini didapatlah dana sebesar 44 USD, atau setara Rp750 triliun. Dana ini di peroleh dari tiga putaran. Putaran pertama senilai Rp300 triliun, berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN). BA BUN adalah pos anggaran yang dikelola Menteri Keuangan dan tidak di bawah anggaran K/L tertentu. Putaran kedua senilai Rp306,7 triliun merupakan penghematan anggaran di kementerian dan lembaga negara serta transfer daerah. Putaran ketiga adalah target setoran dividen badan usaha milik negara (BUMN) senilai Rp300 triliun. Rp100 triliun akan dikembalikan kepada BUMN guna pengembangan usaha. Pemerintah akan menerima Deviden sebesar Rp200 triliun. Dari anggaran sekitar Rp750 triliun yang terhimpun, akan diinvestasikan senilai 20 miliar dollar AS atau setara Rp325 triliun ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Selebihnya untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) (https://www.kompas.id/18-12-25).

Benarkah Untuk Rakyat?

Efesiensi diwacanakan untuk menjalankan program prioritas pemerintah yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Tetapi nyatanya menuai banyak kritik dan tanggapan negatif. Bahkan Viral hastag #Indonesia Gelap dan #Kabur Aja Dulu. Hal ini merupakan respon masyarakat yang justru menilai bahwa program MBG ini tidak tepat ketika gelombang PHK terjadi dimana-mana, yang salah satunya sebagai dampak dari efesiensi anggaran.

Program MBG sendiri mendapat penolakan dari siswa SD di Tanah Papua. Mereka meminta sekolah gratis dan peningkatan fasilitas sekolah daripada adanya MBG. Tak hanya para pelajar, mahasiswa pun melakukan aksi demo “IndonesiaGelap” yang mengkritik dan menolak kebijakan efesiensi yang berdampak pada menurunnya kualitas Pendidikan dan kesehatan, menolak program MBG dan kebijakan politik dan ekonomi yang timpang. menolak revisi UU Minerba dan segera mensahkan UU perampasan aset bagi koruptor.

Pemotongan anggaran ini juga dinilai kontradiktif dengan apa yang terjadi pada level atas. Ketika di bawah dibawah dipangkas habis-habisan. Kabinet di pemerintahan justru gemuk dan inefesien. Belum lagi fakta bahwa hasil pemotongan anggaran digunakan untuk modal membangun Lembaga investasi negara Danantara. Yang bahkan menurut para pengamat akan menjadi ladang korupsi baru dan juga Lembaga bancakan baru menjelang pemilu.

Presiden menyebutkan bahwa Lembaga ini dibangun agar menjadi kekuatan ekonomi Indonesia. Danantara akan mengelola dana lebih dari US$900 miliar atau sekitar Rp14.715 triliun asset. Direncanakan diinvestasikan ke proyek sumber daya alam dan proyek-proyek yang berkelanjutan yang berdampak tinggi di berbagai sektor seperti energi terbarukan, manufaktur canggih, industri hilir, produksi pangan, dan lain-lain. Proyek tersebut ditargetkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Tetapi realitasnya bukannya optimis, sentimen negatif muncul ketika danatara diresmikan, seperti jatuhnya harga saham BUMN yang tergabung dalam danantara serta anjloknya nilai tukar rupiah atas dollar.

Baca Juga :  Maksiat saat Ramadan, Umat Butuh Islam Kaffah

Sentiment negatif ini muncul dari ketidakyakinan atau trust issue atas dana negara yang dikelola oleh pemerintah. Kekhawatiran akan terjadinya korupsi atau “sapi perah” ketika menjelang pemilu, serta ketidakprofesioanalan dan transparansi pengelolaan dalam lembaga ini. Ditambah dari struktur danantara yang isinya adalah para politisi dan lingkaran sekitar pendukung Presiden membuat ketidakyakinan atas profesionalitas pengelolaan Lembaga ini. Bahwa pada akhirnya Lembaga ini dibangun hanya untuk semakin menerangkan jalan kekuasaan dan kekayaan para oligarki, sementara rakyatnya yang setia membayar pajak tetaplah gelap.

Terang Dengan Islam

Mahasiswa se Indonesia telah melakukan aksi demonstrasi untuk menolak kebijakan penguasa saat ini. Tetapi pemerintah tetap tak bergeming, meski menjadi viral di media sosial. Aksi tersebut belum menjadi tantangan yang berarti bagi para elite politik. Aksi-aksi demonstrasi ini masih jauh dari peristiwa besar 1998. Pasalnya saat itu, ketika situasi politik sudah goyah, Presiden Suharto mulai ditinggalkan kroni-kroninya termasuk pendukung, partai, dan militer. Sementara Presiden Prabowo Subianto, menurut pakar sejarawan dan akedemisi masih mendapat sokongan kuat dari partai politik dan masyarakat kelas bawah (www.bbc.com).

Akademisi dan sejarawan Andi Achdian memaparkan gerakan-gerakan demonstrasi mahasiswa sejak tahun 1960, 1998, bahkan hingga sekarang sebetulnya memiliki pijakan yang sama: mengoreksi keputusan pemerintah yang tidak populer dan merugikan masyarakat.”Jadi secara historis (gerakan) mahasiswa tidak berubah, masih seperti itu… landasan korektif terhadap pemerintah, bukan mengubah rezim.”(ww.bbc.com).

Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa aksi yang dilakukan mahasiswa belum cukup untuk membawa Indonesia ke cahaya terang. Aksi tersebut lebih merupakan reaksi atas beberapa persoalan yang muncul dari adanya akar persoalan yang tidak teratasi. Indonesia mengalami banyak persoalan, tidak hanya persoalan munculnya kebijakan yang timpang. Tetapi juga persoalan akhlak pemimpin ketika KKN menjalar hampir disemua Lembaga negara, persoalan tata kelola wilayah dan ruang yang telah menimbulkan banyak bencana alam. Serta kacaunya sistem sosial kehidupan masyarakatnya, dimana kriminalitas merajalela dan maraknya perilaku maksiat yang tak lagi malu untuk dipertontonkan.

Semua itu adalah dampak dari diterapkannya sistem pemerintahan kapitalis sekuler. Pemerintahan dimana mereka mengurus rakyatnya sebagaimana bisnis, pemerintahan dimana penguasa sejatinya adalah para pengusaha. Mereka menjadikan penguasa sebagai boneka untuk memuluskan semua rencana bisnisnya. Pemerintahan yang tidak takut akan hari pertanggungjawaban dimana dia akan mempertanggungjawabkan apa yang telah dia pimpin dan dia urus. Pemimpin yang tidak takut bahwa setiap kezhaliman yang dilakukannya akan menjadi tanggungannya diakhiratnya kelak.

Salah urus dalam mengelola negara akan memunculkan ketidakadilan, bencana serta kehancuran bagi negara itu sendiri. Karena itu berharap hanya dengan mereka mengubah kebijakan tidaklah mengatasi permasalahan. Selama sistem yang digunakan masih sama, maka akan muncul kebijakan lainnya yang tetap menzhalimi rakyat. Sebagaimana yang terjadi pada rezim sekarang. Ketika rakyat berharap ada perubahan dari presiden saat ini, yang muncul justru lebih parah lagi dan semakin memperberat hidup rakyat.

Baca Juga :  Ibadah Puasa Menghendaki Perubahan

Karena itu perubahan tata kelola negara harus pada ranah sistemnya. Mengganti pengaturannya dengan pengaturan Islam. Islam mengatur bagaimana peran negara dalam perbaikan ekonomi rakyatnya. Negara tidak wajib memberi makan tetapi wajib memastikan bahwa setiap pencari nafkah dalam keluarga mampu memberi nafkah dengan membuka lapangan pekerjaan. Negara tidak akan berinvestasi pada bisnis pengusaha swasta yang mengelola SDA. Tetapi negaralah yang mengelola SDA untuk kesejahteraan rakyat, dan mengaharamkan pihak swasta mengelola dan mengambil keuntungan dari bisnis SDA. Islam mengatur tentang bagaimana negara mengatasi masalah defisit anggaran dan tidak membebani rakyat dengan pajak, bahkan negara juga mampu memberikan Pendidikan gratis dan layanan kesehatan yang berkualitas sama untuk semua warga negaranya.

Dalam sistem negara Islam, negara tidak serampangan menetapkan kebijakan penganggaran. Syariat Islam juga mengatur bagaimana belanja negara diatur dengan penetapan skala prioritas agar periayahan terhadap umat berjalan sebagaimana mestinya, dan dakwah Islam tersebar keseluruh dunia. Pos-pos yang diwajibkan kepada Baitul mal untuk dibiayai harus dikeluarkan, baik kondisi ada uang maupun tak ada uang. Pos-pos penting itu adalah pembiayaan jihad, pembiayaan industri militer dan penunjangnya, pembiayaan para fuqara, orang miskin dan ibnu sabil, pembiayaan untuk gaji tantara, para pegawai para hakim, para guru dan pekerjaan lain untuk pelayanan masyarakat. Pembiayaan kemaslahatan kaum muslim dan pembiayaan terkait kepentingan publik yang sangat dibutuhkan yang akan menimbulkan bahaya jika tidak dilakukan serta pembiayaan terkait kondisi darurat atau bencana.

Semua itu harus dibiayai oleh Baitul mal baik ada uang maupun tidak. Jika dalam kondisi Baitul sama sekali tidak ada uang maka pembiayaan itu akan beralih kepada kaum muslimin, dengan mekanisme pungutan pajak sesuai kemampuan sampai tercukupi. Pajak hanya dibebankan kepada mereka yang mampu. Dan tidak boleh dipaksakan pemungutannya melebihi kesanggupan mereka. Kebutuhan mereka harus terpenuhi terlebih dahulu dan pajak di pungut dari kelebihan pemenuhan kebutuhan mereka. Pajak tidak boleh diwajibkan kecuali sekedar untuk memenuhi pembiayaan rutin pos-pos tersebut. Dengan demikian politik penganggaran dalam Islam adalah untuk memenuhi hal pokok yang telah ditetapkan dalam rangka pengurusan urusan umat dan dakwah Islam ke seluruh alam.

Hal itu telah diatur dalam syariat Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabat dalam mengurus negara. Yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran masyrakat untuk memahami akar permasalahannya sehingga mampu menemukan solusi yang tepat. Masyarakat harus cerdas secara politis, karena setiap dampak yang mereka rasakan adalah bagian dari keputusan politik yang diambil oleh penguasa. Dan masyarakat harus memahami bagaimana Islam juga telah mengatur tata kelola negara dengan mengkaji Islam secara kaffah. Sehingga pada akhirnya Masyarakat menjadikan Islam sebagai landasan dalam mengelola negara dan mewujudkan baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur. Negara yang dilingkupi kebaikan dari alam dan juga kebaikan penduduknya, Negeri yang penuh berkah dan ampunan dari Allah SWT karena menjalankan syariat-Nya. Wallahua’lam bishawab.

Iklan
Iklan