Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Keagamaan
Di ujung sebuah hadits Qudsi Allah berfirman: Lis-shaa-imi farhataani, farhatun ‘inda ifthaarihi wa farhatun ‘inda liqaa-i rabbihi, artinya: Bagi orang-orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; pertama kegembiraan saat berbuka dan berhari raya, dan kedua kegembiraan ketika bertemu Tuhannya di akhirat nanti karena menerima balasan pahala puasanya dengan ganjaran surga (HQR Bukhari dan Muslim, Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).
Sekarang umat Islam akan menjalani ibadah puasa Ramadhan, dilanjutkan dengan merayakan Idul Fitri 1 Syawwal l446 H. Berarti kegembiraan yang pertama akan kita nikmati, yakni berbuka puasa dan berhari raya, yang umumnya dimanifestasikan dengan makanan enak, pakaian baru, bepergian, bersilaturahmi dsb. Kegembiraan simbolis seperti ini baru akan bermakna apabila disertai ketakwaan. Ibnul Qayyim al-Jauzi mengatakan: laisal ‘iidu liman labisal jadiidu, innamal ‘iidu liman thaa’atuhu wa taqwaahu taziidu (bukanlah berhari raya itu dengan pakaian baru, berhari raya yang sebenarnya adalah bagi yang ketaatan dan ketaqwaannya bertambah).
Hakikat puasa, sekaligus penentu diperoleh tidaknya kegembiraan di akhirat tergantung ada ada tidaknya buah dari puasa Ramadhan. Hal sama juga berlaku bagi ibadah-ibadah lainnya. Abu Nadirah dalam Tanbihul Ghafilin mengatakan: Orang yang melakukan empat amalan tanpa adanya perubahan berupa peningkatan ketaqwaan dan amal kebajikan, berarti amalnya tertolak, yaitu: l) Sepulang dari berjihad tidak konsisten menegakkan kebaikan dan kebenaran; 2) Sehabis melakukan ibadah puasa tidak terjadi peningkatan amal kebajikannya; 3) Sepulang menunaikan ibadah haji dan umrah tidak menampakkan perubahan berupa peningkatan iman, ibadah dan amal saleh untuk sesama manusia, dan 4) Setelah sembuh dari sakit atau terlepas dari musibah tidak menunjukkan kesadaran beragama bahkan tetap rajin berbuat dosa dan maksiat.
Tujuh Perubahan
Ibadah puasa dan juga ibadah-ibadah lainnya menghendaki terjadinya perubahan pada hampir setiap anggota tubuh lahir dan batin. Buah puasa hendaknya tampak dari berbagai peningkatan kualitas diri dalam berbagai bentuknya, sebagai manifestasi dari keimanan dan ketaqwaan yang semakin mantap. Abubakar al-Razi mengatakan, keimanan dan ketaqwaan yang mantap diibaratkan pohon yang bercabang tujuh dan menghasilkan tujuh macam buah pula:
Cabang yang tumbuh di hati buahnya adalah kemauan baik, keinginan untuk selalu berbuat kebajikan, kebenaran dan kemaslahatan dalam berbagai aspeknya. Tidak terlintas keinginan untuk berdusta, berbuat serong, selingkuh, menipu, KKN dan sejenisnya yang menyalahi hukum Allah dan hukum negara. Cabang yang tumbuh di lisan, buahnya adalah selalu baik dalam tutur kata, enak didengar dan menimbulkan kenyamanan dan manfaat bagi orang, bukan perkataan yang keras, kasar, dusta dan palsu, mengandung ghibah dan provokasi, bukan pula kata-kata kotor, cabul dan sia-sia.
Cabang yang tumbuh di kedua kaki, buahnya gemar pergi ke rumah-rumah ibadah, tempat pengajian dan menuntut ilmu, tidak mau pergi ke tempat maksiat dan hiburan-hiburan yang memanjakan nafsu syahwat. Cabang yang tumbuh di kedua tangan, buahnya suka menolong, ringan tangan dengan tenaga dan memberikan sedekah lewat hartanya, bukan tangan yang suka menyakiti dan memukul orang lain.
Cabang yang tumbuh di kedua matanya, menghasilkan buah berupa kesenangan membaca Al Quran, hadits, kitab/buku agama, senang mengamati alam semesta dan mengagumi kemahabesaran Allah, bukan mata yang digunakan untuk melihat, mengintip dan menikmati hal-hal yang haram, pornografi, pornoaksi, voyeurisme dan hal-hal sejenis yang membangkitkan syahwat.
Cabang yang tumbuh di dalam perut, buahnya ia hanya makan, minum, berpakaian dan bekerja secara benar dan halal. Pekerjaan kasar dan penghasilan sedikit asal halal baginya lebih baik daripada pekerjaan halus yang bermuatan pemerasan dan penipuan, atau penghasilan besar yang bercampur dengan barang haram dan syubhat. Sifat wara’ (hati-hati), qanaah dan zuhd dalam pekerjaan, jabatan dan penghasilan benar-benar mewarnai kehidupannya. Ia ingat benar pesan Nabi: kullu lahmin nabata min haramin fannaru aula bihi (setiap daging yang tumbuh dari barang haram, api nerakalah yang pertama memakannya).
Cabang yang tumbuh pada nafsunya, buahnya berupa ketahanan mental dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, sehingga tidak terjatuh ke dalam perbudakan nafsu. Nafsu makan dan minumnya hanya disalurkan untuk yang halal, sederhana dan tidak mubazir. Nafsu berpakaian dipenuhi dengan pakaian yang menutup aurat, sederhana, tidak pamer, mengejar tren dan berlebihan. Dan nafsu seksnya hanya disalurkan kepada istri/suami yang halal saja.
Bila buah-buah ibadah di atas tertanam dalam diri muslim, berarti ibadah yang dilakukannya memang menghasilkan perubahan. Ibadah demikianlah yang akan dipetik hasilnya oleh yang bersangkutan dan orang lain, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kegembiraan di akhirat sebagaimana pesan hadits di atas akan terwujud bila ditandai perubahan positif konstruktif selama hidup. Sebaliknya ibadah yang hanya dijalani secara rutin, hampa makna, berarti ibadahnya belum menghasilkan perubahan. Ibadah demikian hanya sebatas memenuhi kewajiban dan karenanya tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan. Akhirnya semoga ibadah dan amal saleh setiap muslim di bulan Ramadhan lalu diterima Allah dan menghasilkan perubahan signifikan dalam peningkatan kualitas ketakwaan.