Oleh: Norrahmiati, SE, MM *)
BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Namun, bagi perempuan yang sedang hamil atau menyusui, terdapat keringanan dalam syariat Islam.
Para ulama sepakat perempuan hamil dan menyusui yang khawatir akan kesehatan dirinya atau bayinya boleh tidak berpuasa. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai konsekuensi dari tidak berpuasanya mereka.
- Qadha Saja
Jika seorang ibu hamil atau menyusui hanya khawatir terhadap dirinya sendiri, maka wajib mengganti puasanya (qadha) tanpa fidyah. - Qadha dan Fidyah
Jika kekhawatiran hanya untuk janin atau bayi, maka selain qadha juga wajib membayar fidyah.
- Fidyah Saja Tanpa Qadha
Dalam mazhab Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, ibu hamil dan menyusui cukup membayar fidyah tanpa qadha jika tidak mampu berpuasa.
Dalil dari Al-Qur’an
- Surah Al-Baqarah Ayat 184 “Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Menurut tafsir Ibnu Abbas, ayat ini mencakup orang tua renta, ibu hamil, dan menyusui yang tidak mampu berpuasa. - Surah Al-Baqarah Ayat 185 “Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Ayat ini dijadikan dasar bahwa ibu hamil dan menyusui boleh berbuka karena mereka termasuk dalam kategori orang yang memiliki uzur.
Dalil dari Hadis Nabi
- Hadis Riwayat Abu Dawud dan Ahmad “Sesungguhnya Allah telah meringankan separuh shalat bagi musafir, dan membolehkan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa.” (HR. Abu Dawud No. 2408, Ahmad No. 22198)
- Hadis Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah membebaskan puasa dari musafir, perempuan hamil, dan perempuan menyusui.” (HR. Ibnu Majah No. 1667, Daruquthni No. 2373)
Pendapat Ulama dan Refrensi Kitab
- Mazhab Hanafi
Ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika khawatir terhadap dirinya atau bayinya, tetapi wajib qadha tanpa fidyah. (Al-Mabsuth, Imam As-Sarakhsi, 3/118). - Mazhab Maliki
Jika khawatir hanya terhadap bayi, maka wajib qadha dan membayar fidyah. Jika khawatir terhadap diri sendiri, cukup qadha. (Al-Mudawwanah, Imam Malik, 1/210).
- Mazhab Syafi’i
Ibu hamil dan menyusui wajib qadha dan fidyah jika hanya khawatir terhadap bayinya. Jika khawatir terhadap dirinya, cukup qadha. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi, 6/273)
- Mazhab Hambali
Jika ibu hamil dan menyusui tidak berpuasa karena takut terhadap janin atau bayi, maka wajib qadha dan fidyah. Namun, jika khawatir terhadap dirinya sendiri, cukup qadha saja. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/147).
Kesimpulannya, berdasarkan dalil dan pendapat ulama, ibu hamil dan menyusui diperbolehkan tidak berpuasa, dengan konsekuensi yang berbeda-beda tergantung pada mazhab yang diikuti:
Jika khawatir terhadap dirinya sendiri: wajib qadha tanpa fidyah.
Jika khawatir terhadap bayinya: wajib qadha dan fidyah (kecuali menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, yang hanya mewajibkan fidyah).
Bagi ibu hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa dan ingin menggantinya dengan fidyah, disarankan mengikuti pendapat ulama yang lebih ringan seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Namun, jika mampu berpuasa setelah melahirkan atau menyusui, sebaiknya tetap menggantinya dengan qadha sesuai pendapat mayoritas ulama.
Semoga penjelasan ini bermanfaat dan menjadi pedoman bagi perempuan hamil dan menyusui dalam menjalankan ibadah puasa sesuai syariat Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Aamiin. (ful/KPO-3)
*) Norrahmiati, SE, MM, Koordinator Iptek, Ekonomi dan Sumber Daya Pimpinan Daerah Dewan Masjid Indonesia Kota Banjarmasin. Dosen Institut Bisnis dan Teknologi Kalimantan)