Oleh : Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Beberapa waktu lalu, tagar #KaburAjaDulu menjadi viral dan ramai dibicarakan di jagat media sosial. Tagar ini bukan sekadar lelucon dan sindiran, tetapi mencerminkan sentimen sebagian masyarakat Indonesia yang merasa situasi di dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Sekaligus merepresentasikan perasaan frustrasi banyak anak muda terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik belakangan ini.
Tagar ini sekaligus menjadi pengingat (alarm) dan peringatan (warning) bagi pemerintah untuk tidak salah dalam mengurus sumber daya manusia, terutama sebagai jalan menuju Indonesia Emas 2045. Sebab, jika salah, akan ada fenomena yang lebih serius, yakni potensi terjadinya brain drain yang semakin besar.
Fenomena brain drain merupakan perpindahan individu atau tenaga kerja berbakat, terampil, dan profesional yang memilih meninggalkan negaranya untuk mencari peluang yang lebih baik di luar negeri. Laporan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja terampil asal Indonesia yang bekerja di luar negeri meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir. Karena itu, jika individu yang ingin “kabur” itu adalah anak-anak muda berbakat, maka Indonesia berisiko mengalami kehilangan sumber daya manusia berkualitas.
Alasan untuk “kabur” mungkin beragam. Tetapi gaji, kesempatan karier, lingkungan kerja, serta kebebasan akademik di negara lain seringkali dipandang jauh lebih menjanjikan. Sementara, di dalam negeri, para talenta unggul ini menghadapi ketidakpastian politik, birokrasi yang menghambat inovasi, kurangnya apresiasi, dan minimnya peluang lapangan kerja. Faktanya, pada Agustus 2024, tingkat pengangguran pemuda Indonesia mencapai 17,32% untuk usia 15 hingga 24 tahun, lebih dari tiga kali lipat tingkat pengangguran nasional yang sebesar 4,82%.
Celakanya, alih-alih melihat #KaburAjaDulu sebagai peringatan serius, respons pemerintah justru memicu kontroversi. Misalnya, seorang wakil menteri dalam pernyataan yang viral, menyatakan “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi.” Atau ungkapan seorang menteri yang malah meragukan nasionalisme warga negara yang bekerja di luar negeri. Pernyataan semacam ini seolah memperlihatkan bahwa pemerintah gagal dalam memahami inti masalah.
Karena itu, jika dibiarkan, fenomena ini benar-benar bisa berujung pada gelombang brain drain yang sulit dibendung. Jika pemerintah terus menunjukkan sikap nirempati, justru bisa mempercepat gelombang brain drain itu. Apalagi negara-negara maju akan sangat menyambut tenaga kerja terampil dari Indonesia, karena pertimbangan ekonomis. Salah satunya Jepang, menyatakan bersedia untuk memfasilitasi para talenta unggul Indonesia yang ingin “kabur”. Karena itu, jika pemerintah tidak berusaha mempertahankan mereka, maka mereka akan dengan mudah direkrut oleh negara lain yang siap memberikan insentif lebih besar.
Pemerintah kiranya perlu belajar dari negara-negara seperti China, India, Singapura, atau Korea Selatan yang berhasil melakukan brain gain. Brain gain merujuk pada upaya menarik kembali talenta yang telah pergi ke luar negeri, atau setidaknya memanfaatkan keahlian mereka untuk tetap berkontribusi bagi negara, meskipun mereka tidak kembali atau tinggal secara permanen di dalam negeri.
India dan China, misalnya. Kedua negara dengan kekuatan ekonomi yang terus tumbuh ini sukses mendorong diaspora mereka untuk kembali dengan menawarkan insentif finansial, kebijakan pajak yang menarik, serta ekosistem inovasi yang kondusif. Singapura memanfaatkan sistem pendidikan dan kesempatan kerja berkualitas tinggi untuk menarik kembali warganya yang telah bekerja di luar negeri. Adapun Korea Selatan, setelah terjadi gelombang besar brain drain pada 1980-an, negara ini berhasil membalikkan tren dengan mengembangkan industri teknologi tinggi dan memberikan kesempatan luas bagi akademisi untuk melakukan riset.
Untuk itu, pemerintah sejatinya bisa mendorong terjadinya brain gain dalam berbagai strategi. Pertama, memperkuat jaringan diaspora yang ada di berbagai negara. Mereka yang memilih tetap di luar negeri diberi ruang untuk berinvestasi, membangun start up, melakukan riset bersama universitas dalam negeri, atau memberi mentorship bagi anak muda di Indonesia.
Kedua, memberikan insentif untuk talenta yang kembali, misalnya dengan hibah penelitian bagi akademisi, atau kemudahan bagi profesional dan pengusaha diaspora yang mau kembali dan membangun bisnis di tanah air. Ketiga, membangun ekosistem riset dan inovasi melalui kolaborasi dengan institusi global. Keempat, melakukan reformasi birokrasi dengan memastikan ada jalur karier yang jelas bagi profesional yang kembali, tanpa harus berhadapan dengan birokrasi yang menghambat.
Jadi, daripada menyuruh anak muda “pergi sekalian”, lebih baik jika pemerintah menciptakan alasan kuat bagi mereka untuk tetap tinggal di Indonesia. Sekaligus memanggil “pulang” mereka yang berkarier di luar negeri untuk berkontribusi pada bangsa melalui beragam cara.
Atau jika tidak, pemerintah bisa memfasilitasi apa yang disebut dengan brain circulation. Konsep ini merujuk pada sirkulasi pakar atau perputaran talenta unggul, di mana mereka bisa berkontribusi pada negaranya di manapun berada. Hal ini didukung dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi, transportasi, dan komunikasi yang memungkinkan migrasi fisik maupun ide berlangsung dengan mudah dan cepat.
Artinya, entah tetap di dalam negeri atau berkarier di luar negeri, semua anak bangsa bisa berkontribusi untuk kemajuan negara. Sebab, nasionalisme bukan tentang di mana kita tinggal, tetapi tentang apa kontribusi yang diberikan untuk bangsa dan negara, di manapun berada.