Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

KUHAP BARU, KONSEP YANG PURBA

×

KUHAP BARU, KONSEP YANG PURBA

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid adalah salah anggota Ambin Demokrasi Kalimantan Selatan *)

oleh: Noorhalis Majid

DIPASTIKAN tahun 2026 kita akan memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru. Sekarang prosesnya terus dibahas melalui inisiatif DPR RI, dengan mendengarkan dan mendapat berbagai masukan dari publik. KUHAP yang dianggap berbau kolonial tersebut, kabarnya akan diperbaharui menjadi lebih aktual, diharapkan menjawab kebutuhan dan tantangan zaman.

Baca Koran

Hanya saja, semakin dibahas, persoalan yang justru mengerucut bukan terkait substansi. Substansi yang tertuang dalam pasal-pasal, hanyalah menjadi kata-kata normatif yang mudah ditafsirkan sesuai keinginan penegak hukum. Justu yang muncul dan menguat, perebutan kewenangan antara Kepolisian dengan Kejaksaan. Padahal kedua lembaga ini citranya sama-sama tidak bagus, bahkan sedang busuk-busuknya, di tengah kewenangannya yang begitu besar. Mungkin, dua lembaga inilah yang sekarang kewenangannya paling besar, itu pun belum termasuk tambahan kewenangan di luar tupoksinya, yang seketika ditugaskan untuk menyelesaikan atau mengawal sesuatu yang dianggap strategis.

Bagi warga, mau Kepolisian atau pun Kejaksaan, sama-sama tidak memberikan jaminan tentang perlindungan dan keadilan. Di tangan polisi dan jaksa yang nakal, sebagus apapun KUHAP, tetap menjadi busuk, dan akhirnya hukum hanya menjadi alat pemerasan. Adigium lama soal kehilangan kambing yang dilaporkan ke aparat penegak hukum, akhirnya justru kehilangan sapi, adalah sesuatu yang nyata dirasakan.

Dalam dialog terkait KUHAP ini, yang diselenggarakan Forum AMBIN Demokrasi, para narsumber seperti Muhammad Effendy, seorang pakar hukum, mengatakan, bahwa selama ini bukan peraturannya yang bermasalah, justru penegak hukumnya yang sangat bermasalah. Sebaik apapun aturan dirumuskan, bila tidak ada komitmen memperbaiki penegak hukum, maka tidak akan bermakna apapun. Dia mengatakan, roh filosopi dari KUHAP ini terasa kosong, sehingga bunyi pasal-pasal sangat normatif, hanya deretan kata sebagai panduan awal, yang rawan diterjemahkan oleh penegak hukum dengan segala kepentingannya.

Sementara itu Hairansyah, seorang yang tekun menggeluti isu HAM, mengharapkan KUHAP mampu mengintegrasikan seluruh hukum pidana yang tersebar di banyak undang-undang hukum acara pidana, sehingga tidak tumpang tindih, dan perubahan yang dirumuskan ke arah yg lebih baik. Dia mengatakan, kita membutuhkan KUHAP yang tidak diskriminatif dan menjamin hak asasi setiap orang, memuliakan harkat dan martabat manusia. Ia menyoroti soal restorative justice yang tidak berjalan secara penuh, sehingga tidak banyak memberikan perubahan apapun.

Baca Juga :  MBG, Tanggung Jawab Keluarga yang Diambil Negara

Berry Nahdiah Furqon, yang sepanjang umurnya menjadi aktivis sosial kemasyarakatan, menyoroti tentang KUHAP yang seharusnya melindungi warga. Bukan KUHAP yang justru mengancam, apalagi berpotensi mengkriminalisasi. Selama ini banyak kasus orang dipermainkan aparat penegak hukum, melalui hukum dan tafsir hukum yang menindas. Bukan keadilan yang didapat, justru penindasan dan kriminalisasi. Karena itu, pebahasan atas RUU KUHAP harus terbuka, melibatkan semua orang agar menjadi KUHAP yang melindungi seluruh warga. Ia juga menyarankan, selain merumuskan KUHAP, pentingnya merumuskan panduan prilaku dan gaya hidup penegak hukum. Karena prilaku dan gaya hidup mereka, sama sekali tidak mencerminkan pelindung warga.

Siti Mauliana Harini, akademisi dan aktivis perempuan, mengharapkan keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan, dapat bekerjasama dalam melindungi warga, bukan berebut kewenangan yang akhirnya justru mengancam warga. Dalam sistem demokrasi, kedua lembaga ini mestinya dapat duduk bersama membicarakan pembagian dan pemilahan kewenangan di antara keduanya. Hanya saja ragu dapat melakukannya, karena sejatinya mereka tidak terbiasa berdemokrasi. Kalau tidak bisa duduk bersama, minimal jangan diadu, karena mereka memiliki ego masing-masing, dan bila salah dalam mengelola ego, warga dapat menjadi korban.

Dialog yang dilakukan Forum AMBIN Demokrasi, satu bagian dari respon masyarakat sipil yang peduli terhadap KUHAP, agar KUHAP yang sedang dirumuskan, benar-benar sesuatu yang baru, dan tidak ketinggalan zaman.

Namun sepertinya, KUHAP itu sendiri semangatnya masih “pemenjaraan”. Perlu diketahui, sekali pun KUHAP baru, bila unjungnya pemenjaraan, maka merupakan sesuatu yang purba. Bukankah pemenjaraan cara paling purba dalam memberikan efek jera kepada pelanggar hukum? Dan cara itu ternyata masih dipertahankan.

Kenapa warga yang dianggap bersalah harus dipenjara? Kapan negara mengoreksi dirinya ketika ada warga yang harus berurusan dengan hukum? Mestinya, ketika ada warga yang dianggap melanggar hukum, negara langsung mengoreksi dirinya, tentang apa yang salah dan kurang dari kebijakan, sistem dan pola pendidikan, pelayanan publik, dan lain sebagainya. Sebab bila negara memerankan dirinya dengan baik, kemungkinan besar tidak ada pelanggaran hukum. Kesalahan warga, menjadi bagian dari introspeksi penyelenggara negara dalam menentukan berbagai kebijakannya. Teori-teori struktural dari klasik hingga modern, mengajarkan seperti itu, tentang pentingnya bagi negara terus mengoreksi dirinya, bila ada warga yang berbuat kesalahan, bukan serta merta memberikan hukuman.

Baca Juga :  Ajari Anak Berpuasa Secara Bertahap dan Penuh Kesabaran

Kalau pun harus pemenjaraan, di negara-negara Skandinavia misalnya, tempat dimana segala tata kelola pemerintahan menjadi rujukan. Penjara di negara-negara tersebut lebih berfokus pada rehabilitasi dari pada hukuman. Penjara Bastoy misalnya, yang terletak di Pulau Bastoy, 122 kilometer dari ibu kota negara. Narapidana diajak bekerja di pertanian dan dilatih dalam soal perdagangan baru. Kerja mereka dibayar sekitar 8 dollar, atau setara Rp 122.000 per hari dari pekerjaannya.

Pun di Belanda, penjara mereka kosong, bahkan disewakan untuk negara lain. Karena ketika ada satu bentuk kejahatan yang dilakukan warga, negara langsung mengoreksi dirinya untuk berbenah. Kejahatan terakhir di Belanda yang harus masuk penjara karena pembunuhan, terjadi tahun 2014, menggambarkan betapa minimnya tindak pidana.

Dengan KUHAP yang baru, adakah ruang besar soal rehabilitasi yang memanusiakan manusia? Bukankah 70% penghuni penjara merupakan kasus narkoba? Kalau pemenjaraan dan bukan rehabilitasi, maka semakin suburlah narkoba. Bagaimana pula peluang restorative justice? Bukan hanya kasus hukum yang menimpa anak di bawah umur, tapi juga soal besaran nilai dari kasus yang berpotensi merugikan negara. Kasus hukum orang per orang yang nilai kerugiannya hanya 10-20 juta, setelah ditangani secara hukum, negara yang tidak tahu menahu kasus tersebut, justru rugi 50 juta, karena seluruh tahapan memerlukan biaya, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemenjaraan, semua biayanya ditanggung oleh negara.

Mungkinkan kita memiliki KUHAP yang benar-benar baru, yang mampu mengoreksi kebijakan dan tata kelola negara, berorientasi pada rehabilitasi dan mengutamakan restorative justice, agar keadilan bisa ditegakkan dan martabat manusia dimuliakan?. (nm)

Iklan
Iklan