ROFI ZARDAIDA
Wartawan Senior, Wirausaha, Kepala Perwakilan Kalimantan Post di Jakarta
PESTA demokrasi yang menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden, Wakil Rakyat dan Kepala Daerah melahirkan harapan besar bagi bangsa Indonesia. Segenap masyarakat menginginkan pemerintahan yang adil, transparan dan berpihak kepada rakyat dengan fokus pada peningkatan kesejahteraan serta penguatan persatuan bangsa.
Dalam 100 hari pertama, berdasarkan Survey Litbang Kompas tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Prabowo mencapai 80,9%. Hal ini menunjukkan kepemimpinan Prabowo-Gibran yang berorientasi pada rakyat berupa Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak sekolah dan ibu hamil yang ditargetkan menjangkau 83 juta penerima manfaat pada akhir tahun, mampu menumbuhkan harapan publik atas realisasi janji politik yang dilakukan. Meski demikian sejumlah kritik atas kurang terkoordinasinya sejumlah perubahan arah kebijakan yang terkesan tiba-tiba hingga perluasan peran militer dalam program sipil mulai menimbulkan kekhawatiran terjadinya kemunduran demokrasi.
Riak protespun tak terbendung. Aksi “Indonesia Gelap” pada Februari 2025 menandai mulai gerahnya mahasiswa di berbagai kota di Indonesia. Mereka menyoroti isu pemotongan anggaran pendidikan, pemilihan para pembantu presiden yang inkompeten ditambah lagi dengan luka dan kekecewaan mendalam atas banyaknya temuan korupsi yang semakin terang benderang, berakar melibatkan pengusaha, pejabat daerah, pejabat bank, hakim hingga BUMN.
Untuk kondisi Indonesia—dengan populasi besar, tingkat korupsi tinggi, pengangguran yang signifikan, kualitas SDM yang masih rendah, tetapi kaya sumber daya alam—pendekatan manajemen kepemimpinan yang paling cocok sesungguhnya bukanlah militerisme namun kepemimpinan transformasional dengan pendekatan meritokrasi dan technocracy. Bagaimana itu?
Pemimpin transformasional berfokus pada perubahan besar dalam sistem, budaya kerja, dan peningkatan SDM. Ini penting bagi Indonesia karena untuk membangun budaya transparansi dan akuntabilitas diperlukan reformasi pendidikan yang mendidik etos kerja dan inovasi sejak dini,memastikan bahwa pengelolaan sumber daya yang dimiliki adalah modal besar yang membutuhkan potensi masyarakat bukan hanya menguntungkan para elit. Salah satu pemimpin negara yang berhasil menerapkan transformasi fundamental dalam pemerintahan, pendidikan dan ekonomi, dimana Singapura negara tanpa sumber daya alam namun berhasil menguasai lalu lintas perdagangan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan global.
Reformasi birokrasi dan pembangunan infrastruktur untuk mempercepat pemerataan ekonomi yang telah dimulai sebagai warisan rezim Presiden Joko Widodo,sesunggguhnya merupakan modal besar untuk proses transformasi Indonesia ala Prabowo, sayangnya momentum itu tidak dimanfaatkan dengan baik.
Ibaratnya peralihan usaha, Jokowi telah menyerahkan toko dan area parkir sebagai modal usaha, presiden selanjutnya logikanya dalam hitungan minggu sudah mampu membuka toko karena hanya tinggal mengisinya dengan produk jualan serta SDM. Sehingga orientasi awal adalah mengoptimalkan potensi untuk mendatangkan pendapatan agar bisa segera break event point (BEP) mengembalikan modal dan mengutamakan stabilitas membiayai kebutuhan suprastruktur. Pemilihan makan bergizi gratis (MBG) sebagai fokus pertama, orientasinya menjadi Public Service Obligation (PSO) – kewajiban pelayanan publik yang berdampak cash out, dana keluar, padahal kondisi keuangan negara sedang defisit. Programnya bagus namun tidak berhitung matang.
Negara lain seperti Jepang, pada awal peradaban bangsanya, memberlakukan konsep sistem kepemimpinan berbasis kompetensi dan prestasi. Pemerintahnya menginvetarisir orang-orang yang kompeten untuk diletakkan dalam peran strategis. Sedikit yang tahu bahwa awalnya Toyota adalah pabrik tekstil yang juga memproduksi mesin jaht merek Singer. Saat Jepang melihat terjadi revolusi di Amerika, pemerintah Jepang kala itu mengajak Toyota untuk melakukan manuver mengambil kesempatan dengan masuk industri otomotif. Akhirnya Toyota menjual paten mesin tenunnya kepada Itali dan hasil penjualannya dijadikan sebagai modal awal, sementara negara melakukan fungsi fasilitasi dan proteksi yang akhirnya jadilah Toyota berkembang pesat sebagai pemain utama dibidang otomotif dunia.
Indonesia memerlukan sistem berbasis meritokrasi dan teknokrasi seperti ini dalam pemerintahan dan dunia usaha, bukan hanya politik dinasti atau koneksi. Ini dapat mengurangi pengangguran, mengoptimalkan sumber daya alam agar dikelola oleh ahli, bukan oleh politisi yang tidak kompeten serta meningkatkan kualitas SDM berupa pemberian insentif bagi individu berbakat untuk berkembang dan berkontribusi. Kini di Jepang, UMKM yang melakukan digitalisasi bahkan diberikan permodalan hingga lima puluh persen.
Kepemimpinan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi sangatlah penting diaplikasikan di Indonesia, meski dari segi jumlah, mungkin para tenokrat tidak banyak di Indonesia, namun jika dioptimalkan untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran, maka bisa jadi tikus dan mafia korup serta yang doyan memberi dan menerima rasuah mulai hati-hati dan tidak dapat leluasa merampok kekayaan bangsa. Persoalannya bukan tidak mampu, namun seakan tidak mau.
Masih ada waktu bagi Presiden Prabowo untuk mengadopsi tiga gaya kepemimpinan ini, yaitu kombinasi dari kepemimpinan transformasional, meritokari dan teknokrasi untuk menjawab tantangan yang ada. Yuk bisa pak, sebelum memperluas akses Makan Bergizi Gratis (MBG), bangun budaya kerja SDM yang ada, bantu mereka dengan peningkatan kompetensi yang lebih baik, pejabat yang berada dilahan rawan korupsi dan gratifikasi diberikan pengasan melekat sementara posisi jabatan strategi pastikan diisi oleh orang-orang yang kompeten serta mampu meningkatkan efesiensi dan transparan dalam pengelolaan sumber daya. Insyaa Allah.