Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

TANAH BANJAR, NEGERI KESEDIHAN

×

TANAH BANJAR, NEGERI KESEDIHAN

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid adalah salah anggota Ambin Demokrasi Kalimantan Selatan *)

oleh: Noorhalis Majid

TEMA tulisan tersebut, merupakan judul buku kumpulan puisi YS Agus Suseno, diterbitkan Scripta Cendekia. Editor buku setebal 152 halaman ini, DR. Sainul Hermawan dan Nur Fitri Yanti. Buku bersampul hitam tersebut berisi 129 puisi karya YS Agus Suseno.

Baca Koran

Malam itu kami semua yang hadir, duduk menghadap backdrop besar bergambar potret budayawan Kalimantan Selatan, almarhum YS Agus Suseno yang berpulang pada bulan September 2024.

Acara bertajuk ngaji puisi dan bedah buku puisi karya YS Agus Suseno malam itu terasa hikmat, karena hampir semua yang hadir mengenal dengan baik sosok YS Agus Suseno. Ini merupakan acara ngaji puisi kali ke 5 sepanjang kepengurusan Dewan Kesenian Kota Banjarmasin. Cukup alasan untuk ditradisikan dan menjadi kegiatan rutin setiap bulan.

Selain mengenang peran dan kiprah YS Agus Suseno, juga mengaji tentang karyanya, terutama yang terhimpun dalam buku Tanah Banjar Negeri Kesedihan.

Sainul Hermawan yang didapuk sebagai narasumber, memaparkan proses pembuatan buku yang tergolong unik, karena dilakukan persis menjelang beberapa minggu sebelum YS Agus Suseno berpulang untuk selamanya.

Mungkin ia sudah merasa bahwa waktunya di dunia sudah tidak lama, sebelum kemudian meninggalkan semua yang sudah dihajatkannya, ujar Sahinul, mengenang rekannya tersebut. Bahkan setelah naskah buku tersebut rampung dan tinggal naik cetak, dalam beberapa kesempatan YS Agus Suseno mengatakan, bahwa terbitnya buku tersebut serta beberapa buku lainnya, menandai selesainya tugas kebudayaan yang dipikulnya selama ini. Tidak jarang Ia mengatakan, “tugas kebudayaanku sudah selesai, aku sudah lapang”.

Sainul kemudian membacakan setidaknya 10 puisi, yang menurutnya menjadi substansi utama dari buku Tanah Banjar Negeri Kesedihan. Puisi-puisi yang menyuarakan berbagai problem lingkungan, terutama persoalan di kawasan pegunungan Meratus, mewarnai buku kumpulan puisi tersebut. Puisi bertema berhala misalnya, dalam bait pertamanya ia sudah menulisnya dengan tajam, katanya, “tanah Banjar yang nestapa, inilah saat ketika uang, jabatan dan kekuasaan jadi berhala, sesembahan manusia”.

Selain Sainul, juga ada Hajriansyah Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin sebagai narasumber. Murid idiologis YS Agus Suseno ini, lebih banyak mengenang, menceritakan sosok YS Agus Suseno, yang sangat tekun, serta penuh komitmen, mengabdikan dirinya dalam pengembagan dan pemajuan dunia kesusastraan. “Dari YS Agus Suseno kita belajar tentang proses, bahwa untuk menjadi, apalagi menjadi penyair – tidak boleh instan, harus sabar berproses”, kata Hajriansyah.

Baca Juga :  Darurat Sampah, Peradaban Menyampah dan Solusi Sistem Islam

Saya sendiri yang hadir sebagai undangan, menyimak semua ulasan narasumber, serta hikmat mendengarkan pembacaan beberapa puisi karya YS Agus Suseno. Puisinya memang dalam dan tajam. Seperti yang ia tuliskan dalam Jalan Puisi, bahwa puisi datang padamu melalui jalan berliku, pada air mata ibu, cinta bahagia dan haru. Puisi datang di hati, mustahil lain kali, melewati jalan sunyi di sayap kupu-kupu mati. Puisi tak ada di keramaian, tak hadir di pesta buatan. Ia datang sendiri menyentuhmu perlahan. Puisi tak datang padamu di kertas dan di buku, ia mengalun sendiri pada embun dinihari.

Saya justru tertegun dengan puisi bertema Penyair. Isi puisinya berusaha membangun kesadaran, mencoba mengindentifikasi diri, bahkan otokritik terhadap diri sendiri. YS Agus Suseno seperti berefleksi tentang dirinya sendiri yang selama ini identik dengan kepenyairan. ia mencoba memandang ke dalam, tentang siapa dan bagaimana seharusnya penyair itu.

Dalam puisi tersebut dia mengatakan, “tugas sedih penyair adalah membuka selubung sejarah, agar kekuasaan tak sewenang-wenang, agar kegelapan menjadi terang. Sebelum sejarah dilupakan, sebelum sedih tersimpan, sebelum tirani menggila, sebelum ingatan tak ada. Tugas perih penyair adalah mengobati luka sejarah, sebelum segalanya musnah, sebelum kembali ke tanah”.

Sekiranya semua kita mampu melihat kedalam, dan menggali kesadaran tentang apa tugas dan fungsi masing-masing, pastilah berbagai penyimpangan terhadap profesi, status sosial dan bahkan jabatan yang melekat pada setiap orang, dapat dijaga sebaik-baiknya.

Seandainya aparat penegask hukum, birokrat, wartawan, dosen, aktivis dan segala profesi yang katanya menjunjung etik dalam bekerja, juga mampu menuliskan ulang tentang tugas dan tanggung jawab yang dipikulnya, apa dan bagaimana ia seharusnya berbuat, maka pastilah tidak terjadi tindak penyimpangan yang sekarang justru sangat marak.

Baca Juga :  Mendambakan Pemimpin yang Amanah

Puisi ini mengingatkan tentang tugas kita masing-masing. YS Agus Suseno sudah memberi contoh bagaimana tugas seorang penyair. Tinggal yang lainnya, sesuai profesinya untuk juga merumuskan dengan segala kesadaran terdalam. Jangan sampai tidak mampu merumuskan diri sendiri, sehingga justru tidak mengenali siapa dirinya, untuk apa dia ada, dan kontribusi seperti apa yang seharusnya diberikan.

Sebenarnya substansi puisi bertema penyair ini sudah sering disampaikan YS Agus Suseno dalam berbagai kesempatan. Ia mengatakan, kita semua tanpa kecuali, sebenarnya sedang menjalankan misi kebudayaan masing-masing. Sebab apapun profesinya, dalam rangka memperbaki, menyempurnakan, agar semuanya berbudaya. Mari tunaikan misi kebudayaan masing-masing, sehingga ketika dimintai pertanggungjawaban, sudah bisa berkata bahwa misi kebudayaan itu telah dilaksanakan dengan baik sesuai profesi yang dipilih. Bukankah misi kebudayaan itu berarti menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Menjadi bagian dari mewujudkan manusia untuk seutuhnya menjadi manusia.

Sepintas puisi tersebut sederhana, tapi membangun kesadaran tentang bagaimana semua orang memerankan diri sesuai visi kebudayaan yang pikulnya. YS Agus Suseno tidak berbicara soal tugas remeh-temeh sebagaimana biasa dimaknai dengan tugas keseharian. Dia masuk dalam tugas sejati manusia, yaitu kebudayaan itu sendiri. Sebab, tidak mungkin manusia dapat menjadi manusia, tanpa kebudayaan. Dan kebudayaan, tentu saja bukanlah barang sekali jadi, melain satu proses panjang hingga menjadi berbudaya.

Akhirnya, acara ngaji puisi YS Agus Suseno ditutup beberapa penampilan apik, termasuk dalam bentuk musikalisasi puisi. Kegiatan tersebut meninggalkan pesan tersirat bahwa YS Agus Suseno sudah menyelesaikan tugas kebudayaannya dengan baik, tinggal kita semua yang masih hidup, apakah juga mampu menyelesaikan tugas kebudayaan kita masing-masing. Tentu saja, sebelum menuntaskannya, harus mampu merumuskan, apa tugas kebudayaan itu dan peran seperti apa yang akan dimainkan? (nm)

Iklan
Iklan