Oleh : AHMAD BARJIE B
Salah satu naluri, instink atau gharizah manusia adalah melakukan perkawinan (gharizah jinsiyah) guna menyalurkan kebutuhan biologis sekaligus melahirkan keturunan untuk kesinambungan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dibanding dengan naluri makan, minum, tidur dan lainnya, gharizah jinsiyah ini tergolong kuat dan selalu membutuhkan pemuasan begitu manusia sudah sampai waktunya untuk melangsungkan perkawinan.
Al-Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (1403 H: 10) menerangkan, sesungguhnya naluri seks merupakan naluri paling kuat dan keras, yang selamanya menuntut penyaluran dan pemuasan. Bilamana tidak ada penyalurannya maka banyak manusia yang mengalami kegoncangan atau melakukan suatu perbuatan maksiat. Kawin merupakan jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks tersebut, sehingga seseorang menjadi tenang dan terhindar melakukan perbuatan haram.
Allah SWT mensyariatkan perkawinan sebagai sarana manusia untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya tersebut, dan untuk keperluan tersebut Allah telah menciptakan manusia berpasangan-pasangan, ada pria yang kelak menjadi suami dan ada wanita yang akan menjadi istri. Di dalam Alquran begitu banyak ayat yang berkenaan dengan perkawinan tersebut, di antaranya QS al-Nisa ayat 1, al-Ra’ad ayat 38, al-Nahl ayat 72, al-Ruum ayat 21, al-Nur ayat 32, al-Zariyaat ayat 49, Yasin ayat 36, dan al-Hujurat ayat 13.
Begitu pula dalam sejumlah hadis, begitu banyak ajaran Rasulullah kepada umatnya untuk melangsungkan perkawinan. Kalau ada di antara sahabat Rasulullah yang enggan kawin, beliau segera menyuruhnya kawin, dan kalau ada sahabat yang mengabaikan lembaga perkawinan, beliau segera meluruskan sikap tersebut. Diriwayatan, satu hari ada tiga orang sahabat mendatangi keluarga Rasulullah, lalu mereka memasang tekad untuk lebih bertaqwa. Satu orang ingin shalat sepanjang malam tanpa istirahat, satu orang ingin berpuasa sepanjang tahun tanpa berbuka, dan seorang lagi tidak mau kawin, semua ini mereka lakukan dengan maksud agar konsentrasi ibadah tidak terganggu. Mengetahui hal tersebut Rasulullah bukannya memuji, malah melarang dengan tegas. Beliau katakan, tidak ada di antara sahabat yang paling takut dan taqwa kepada Allah melebihi beliau sendiri, namun beliau tetap shalat dan istirahat, puasa dan berbuka dan juga melangsungkan perkawinan, bahkan istri beliau lebih dari satu orang. Saat itu beliau tegaskan, barangsiapa tidak mengikuti sunnahku (cara hidup beliau) maka tidak termasuk golongan beliau. (Shahih al-Bukhari, Jilid III, Juz 6, (1401 H: 116). Dalam hadis yang lain dinyatakan pula, Dari Abi Ayyub berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Empat dari sunnahnya para Rasul adalah; malu, berharum-haruman, bersiwak dan nikah”. (Sunan Tirmidzi, Juz 2: 272).
Perkawinan yang disyariatkan dalam Islam bersifat ibadah, bukan sebagai sarana untuk melampiaskan hawa nafsu seksual saja. Oleh karena itu ikatan perkawinan merupakan ikatan yang kuat dan mengandung tujuan-tujuan luhur. Di dalam pasal 2-3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Sebagai pertanda kuatnya ikatan perkawinn dan untuk menjamin terwujudnya tujuan luhur perkawinan, maka sejak awal tata cara perkawinan sudah diatur dengan rukun dan syarat tertentu tertentu. Rukun nikah itu sendiri ada lima, yaitu adanya calon sami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. Salah satu dari rukun nikah tersebut, yaitu wali merupakan hal yang sangat penting dan menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Hal ini tercermin dari hadis Rasulullah Saw, yang artinya: Dari Abi Musa bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada nikah kecualinya dengan adanya wali (Sunan Abi Daud, Jilid 2: 229).
Hadis senada berbunyi, Dari Aisyah berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang dinikahkan dengan tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal (beliau mengulanginya tiga kali). Jika lelakinya telah menyetubuhinya, maka ia berhak atas maharnya, karena ia telah menghalalkan kehormatannya. Jika pihak wali enggan menikahkan, maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya” (HR Abi Daud).
Jadi, persoalan wali dalam hukum perkawinan Islam sangat penting dan menentukan keabsahan perkawinan itu sendiri. Namun wali di sini tidaklah bersifat kaku. Kalau tidak ada wali nasab, yaitu orang tua atau keluarga yang bersangkutan, atau wali nasabnya enggan menikahkan (wali adhal), maka ia berhak untuk menikah dengan menggunakan wali hakim (PPN dari KUA). Pasal 23 ayat (1) dan (2) KHI menyatakan, wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.