Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Sampah masih menjadi persoalan besar di kota-kota di Indonesia termasuk kota Banjarmasin. Penanganan sampah selama ini yang sekedar mengangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) bagaikan bom waktu, menunda ledakan sampah hingga terjadi darurat sampah. TPAS mencapai titik jenuh dengan tumpukan yang menimbulkan pencemaran yang tinggi. Kementerian Lingkungan Hidup menutup TPAS dan ‘memaksa’ kota Banjarmasin mancari solusi sampah. Tentu ini tidak mudah. Dan pemandangan gunungan sampah di sudut-sudut kota tidak terhindarkan.
Padahal penumpukan di TPAS belum sepenuhnya mengangkut sampah di lingkungan penduduk. Kita melihat masih banyak tumpukan sampah di aliran sungai, anak sungai, kanal dan selokan, hingga kolong rumah yang menjadi tempat pembuangan sampah instan masyarakat. Sampah di lingkungan penduduk sangat lazim karena kesadaran penduduk terhadap sampah masih sangat rendah.
Pemerintah bukan tidak berupaya mengatasi sampah. Kampanye 3 R (reduce, reuse dan recycle) sudah dilakukan. Penyediaan sarana sampah hingga upaya bank sampah serta peran swasta yang mendaur ulang sampah ternyata tidak cukup. Begitu pula berbagai regulasi seperti pembatasan penggunaan kantong plastik. Nyatanya penggunaan plastik makin meningkat.
Penanganan sampah menjadi tantangan besar karena ada tiga masalah besar yang dihadapi yaitu ketiadaan atau mungkin lebih tepat keterbatasan lahan, anggaran dan SDM. Hal ini diungkapkan oleh Emmy Ariani, ST, kepala bidang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dari dinas lingkungan hidup provinsi Kalimantan Selatan pada sebuah diskusi interaktif (kalimantan post.com, 19/02/2025).
Mengatasi sampah memang harus melibatkan semua komponen baik masyarakat maupun peran pemerintah. Masyarakat adalah penghasil sampah. Peran pemerintah sangat menentukan sebagai pemimpin masyarakat. Pemerintah harus mengarahkan masyarakat yang memproduksi sampah sekaligus mengatasi keterbatasan lahan, SDM dan anggaran tersebut. Mampukah pemerintah dalam sistem hari ini?
Peradaban dan Sistem Menyampah
Jika membandingkan kota-kota di Indonesia dan kota-kota di luar negeri, kita sering memahami secara keliru situasi dan kondisinya. Kita sering memuji secara berlebihan kota-kota di negara-negara maju. Termasuk dalam masalah kebersihan dan penanganan sampah. Sebenarnya jika dihitung per kapita, produksi sampah kita masih rendah dibandingkan hitungan sampah per kapita masyarakat di negara lain.
Hal ini karena Indonesia adalah negara dengan tingkat kemiskinan. Konsumsi kita masih lebih rendah, sehingga produksi sampah juga lebih sedikit. Masyarakat kita juga cenderung mempertahankan barang-barang mereka lebih lama. Sedangkan negara-negara dengan tingkat ekonomi lebih baik, mereka memproduksi sampah lebih banyak. Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak menghasilkan sampah plastik rata-rata per orang, mengutip data World Population Review (detik.com, 25/08/2022). Negara-negara Eropa dan Jepang menyusul AS. Mereka pun ‘membuang’ atau mengekspor sampah ke negara-negara miskin. Karenanya statistik mengungkap sepuluh negara pengekspor sampah terbanyak di dunia, secara berurutan, adalah Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Italia, Slovenia, dan Austria. Mayoritas adalah negara-negara Eropa. Mirisnya Indonesia adalah negara nomor 7 pengimpor sampah plastik dengan volume 234.000 ton pada tahun 2020 (National Geographic.co.id, 22/03/2023).
Data-data statistik memang bisa berbeda dan diperdebatkan. Namun kita bisa meyakini bahwa produksi sampah kita masih lebih rendah bahkan realitanya kita menjadi tempat pembuangan sampah negara-negara kapitalis, lalu mengapa sampah yang relatif lebih sedikit menjadi persoalan besar? Hal ini memang karena keterbatasan yang telah dijelaskan, yakni penanganan sampah kita sangat minim dengan ketiadaan anggaran, SDM dan lahan. Sangat berbeda dengan negara-negara lain yang mereka memiliki kemampuan untuk menangani sampah lebih baik. Kendati demikian mereka juga lebih memilih membuangnya ke negara-negara berkembang.
Namun jika ditelisik, persoalan sampah baik secara global maupun lokal berakar pada sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan dan membangun realita peradaban hari ini. Sistem sekuler kapitalisme memang abai terhadap alam dan lingkungan. Sistem ini mengakomodir perilaku yang individualis dan egois serta berorientasi manfaat yang dinalar oleh keserakahan manusia. Interaksi manusia dengan alam kosong dari ruhiyah atau spiritualitas disamping ketiadaan aturan-aturan yang sahih.
Kebebasan kepemilikan membuat kekayaan alam dieksploitasi secara massif dan memperkaya segelintir orang. Begitu pula lahan dan hutan dikuasai korporasi. Sebagian kecil orang menguasai sumber daya dan ingin meraih kenyamanan di tengah kerusakan alam yang diciptakan. Di sisi lain, mayoritas manusia tidak memiliki lahan dan hidup dalam ruang hidup yang tidak layak.
Ekonomi bertumpu pada industri yang dibangun oleh korporasi-korporasi besar. Sedangkan peran negara begitu minimalis. Misalnya industri untuk kebutuhan sehari-hari seperti air minum dan makanan. Industri itu juga bersaing dengan pengemasan, package yang terlalu menguras sumber daya dan menghasilkan sampah.
Penguasaan ekonomi oleh kapitalis hampir melumpuhkan negara sehingga hanya mengandalkan investasi atau modal swasta untuk membangun infrastruktur publik, termasuk penyediaan lahan dan instalasi pengolahan sampah. Ini suatu kenyataan yang memprihatinkan.
Sangat berbeda jika kita melihat konsep sempurna sistem Islam. Masalah alam lingkungan dan kebutuhan publik terhadap ruang hidup yang layak akan bisa diatasi. Islam menjadikan negara sebagai penanggung jawab dan aktor utama dalam mengelola kekayaan sumber daya alam. Negara menegakkan hukum syariat secara kaffah termasuk yang sangat menentukan yaitu pilar ekonomi kepemilikan, pengelolaan dan distribusi kekayaan. Negara mengelola kepemilikan umum barang tambang berdeposit melimpah sehingga menjadi pemasukan besar bagi negara di pos kepemilikan umum baik berupa pendapatan bahan baku atau berupa dana ketika dijual kepada rakyat atau diekspor ke luar negeri. Dengan pemasukan ini negara tidak mengandalkan investasi swasta untuk modal membangun infrastruktur sarana publik termasuk instalasi pengolahan sampah dan limbah.
Syariat juga mengatur lahan dengan aturan yang khas. Tanah dimiliki negara dan individu/privat. Kepemilikan tanah harus dengan pengelolaan. Tanah yang ditelantarkan 3 tahun berturut-turut akan diambil alih oleh negara. Hukum lahan ini akan mengoptimalkan lahan baik untuk kebutuhan rakyat maupun kebutuhan fasilitas publik.
Dan terpenting dalam kesuksesan adalah kesadaran terhadap aturan dan regulasi, yaitu dengan motif ketaqwaan dan keimanan, bukan sekedar manfaat. Kesadaran akan terbangun melalui pembinaan dan pendidikan berbasis akidah Islam.
Dalam lingkup perkara mubah atau boleh berdasarkan syariat seperti masalah teknis pengaturan lingkungan, negara harus mendengar pendapat ahli atau pakar lingkungan. Tidak seperti dalam sistem kapitalisme dimana pendapat pakar diabaikan demi kepentingan para kapitalis dalam mengeksploitasi. Negara juga akan mendorong pengembangan teknologi untuk meminimalisir sampah dan pencemaran. Misalnya teknologi penggunaan kemasan yang ramah lingkungan.
Kegemilangan penerapan Islam di era Khilafah tercatat oleh sejarah. Kota-kota di peradaban Khilafah modern, rapi, dengan fasilitas yang bisa Diakses semua lapisan masyarakat.
Baghdad dan Cordoba tertata rapi dan memiliki saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah, jalan-jalan luas yang bersih serta penerangan pada malam hari.
Setiap bagian kota direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dan dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Hanya dengan sistem Islam dibawah naungan Khilafah rakyat di negeri ini akan mampu bangkit dan menyelesaikan setiap persoalan dengan tuntas dan sahih. Wallahu alam bis shawab