Oleh :
Ikhsan Alhaque (Angota Ambin Demokrasi).
Selepas gemuruh takbir yang mengiringi Lebaran 1446 H, Indonesia memasuki ruang komunikasi yang diisi oleh ritual khas yaitu Halal Bihalal. Acara ini laksana aliran sungai yang mengairi sawah-sawah hubungan sosial yang sedikit mampet bahkan retak, sekaligus juga menumbuhkan tunas maaf di tanah yang sempat gersang.
Namun demikian, Halal Bihalal tidak semata sebuah tradisi yang diwariskan bergenerasi, tetapi ia sudah menjadi genetik budaya Nusantara, di mana unsur agama, kearifan lokal, dan solidaritas menyatu dalam untaian doa dan senyum. Di tengah terik modernitas yang kerap mengikis nilai-nilai, ia tetap tegak, merangkul, merenda, dan mengajarkan bahwa kesalahan manusia bisa ditutupi oleh kelapangan hati.
Belajar Sejarah: Dari Konflik ke Silaturahmi
Halal Bihalal lahir dari rahim pergolakan politik Indonesia yang masih belia. Tahun 1948, ketika republik ini seperti bayi yang baru belajar merangkak, ketegangan antar elite nyaris membelah persatuan di kala itu. Namun seorang tokoh bangsa, KH Wahab Chasbullah, ulama Nahdlatul Ulama, menawarkan solusi dengan kecerdasan kulturalnya. Ia memadukan prinsip Islam tentang halalan thayyiban (yang halal dan baik) dengan tradisi Jawa sungkeman, ritual memohon maaf dengan mencium tangan orang tua. Hasilnya adalah fusi budaya yang mengubah gesekan politik menjadi ruang dialog publik dan kemanusiaan.
Di era Soekarno, Halal Bihalal diangkat sebagai alat pemersatu bangsa. Presiden pertama itu kerap menggelar acara ini di istana, mengundang semua kalangan—dari petani hingga menteri—untuk duduk sejajar. Kini, pasca-Lebaran 1446 H, esensinya tetap sama : mengingatkan bahwa maaf adalah tindakan, bukan sekadar kata-kata yang gampang menguap di udara.
Tradisi : Tarian Budaya di Atas Panggung Zaman
Dari sisi antropologi, Halal Bihalal adalah ritual liminal, penanda transisi dari kesucian Ramadhan ke rutinitas duniawi. Victor Turner, ahli ritual, menyebut fase ini sebagai “ambang” (liminality), di mana masyarakat melepaskan status lamanya dan merangkul yang baru. Di pelosok desa di Indonesia, ritual ini diwarnai dengan berbagai macam selamatan, kenduri, grebeg syawal atau maleppè di Bugis : dimana nasi atau tumpeng dan lauknya kemudian dibagi rata, doa dipanjatkan bersama, dan tangan orang tua dicium sebagai simbol penghormatan.
Di perkotaan, ia menjelma dalam bentuk open house yang di isi dengan menu ketupat, opor, dan obrolan ringan, tapi sarat makna.
Dalam kacamata Psikologi sosial, melihat Halal Bihalal sebagai terapi kolektif. Di tengah individualisme yang menggerus empati, tradisi ini memaksa kita berhenti sejenak, menatap mata sesama, dan mengakui: “Kita sama-sama tak sempurna.”
Di Jawa Tengah, misalnya, masyarakat masih melestarikan padusan yaitu ritual pembersihan diri di sumber air sebelum Halal Bihalal. Ini bukan sekadar tradisi, tapi ‘simbol’ penyucian jiwa sebelum membuka pintu maaf.
Pasca-Lebaran 1446 H, generasi muda memberi napas baru. Di Bandung, komunitas seni menggelar Halal Bihalal dengan pertunjukan angklung kolaboratif, sementara di media sosial, tagar #MaafVirtual menjadi trending. Ini bukti: bahwa nilai-nilai luhur bisa beradaptasi tanpa kehilangan rohnya.
Prospek: Di Persimpangan Komersialisasi dan Kearifan
Di masa depan, Halal Bihalal menghadapi dilema. Pertama, ancaman komersialisasi. Dikemas dengan undangan mewah di hotel-hotel berbintang, bingkisan berlapis merek ternama, atau even berbayar, Halal Bihalal berubah dari ritual saling memaafkan menjadi suatu komoditas atau bahkan flexing para elit atau kaum seleb.
Ekonomi kapitalis kemudian perlahan menggerus makna sakralnya, menjadikannya ajang pamer status alih-alih gambaran ketulusan dalam hubungan antar manusia.
Namun, di sisi lain peluangnya masih menjanjikan. Dalam perspektif pendidikan, Halal Bihalal bisa menjadi ‘laboratorium empati’. Di sekolah-sekolah inklusif di Yogyakarta misalnya, tradisi ini dimodifikasi menjadi dialog antar agama: anak-anak diajak menulis surat maaf lintas iman. Di ranah global, beberapa KBRI di luar negeri rutin menggelar Halal Bihalal yang dihadiri diaspora dan warga setempat, sebuah bentuk ‘soft diplomacy’ yang menyebarkan pesan perdamaian ala Indonesia ke berbagai belahan dunia.
Nilai Positif: Biji yang Menghijau di Lahan Tandus
- Rekonsiliasi Tanpa Batas
Halal Bihalal mengajarkan memaafkan adalah pemberian ‘tanpa syarat’. Seperti hujan yang turun membasahi bumi tanpa memilih tanah apakah itu subur atau gersang.
- Kohesi Sosial di Era Digital
Menurut Emile Durkheim seorang sosiolog, ritual kolektif adalah ‘lem’ yang merekatkan masyarakat. Di tengah dunia maya yang memisahkan, Halal Bihalal menjadi ruang fisik tempat manusia saling menyentuh, bukan sekadar hanya berupa mention di media sosial semata.
- Cermin Diri Sebelum Mencermati Orang Lain
Filosofi muhasabah (introspeksi) dalam Islam tercermin di sini: sebelum meminta maaf, kita diajak mengakui kesalahan sendiri. Ibarat petani membersihkan cangkulnya sebelum membajak dan membersihkan sawahnya.
- Transformasi Konflik Jadi Kedamaian
Di Poso, Sulawesi Tengah, pasca-konflik 2001, Halal Bihalal telah menjadi media rekonsiliasi antar-kelompok. Mereka yang pernah berperang kini duduk bersama, berbagi ikan bakar dan cerita, bukti duduk satu meja bisa melumerkan kebekuan sejarah.
Penutup: Akar yang Menghujam, Daun yang Menjulang
Pasca-Lebaran 1446 H, Halal Bihalal tetap seperti pohon beringin, akarnya menghunjam ke bumi budaya Nusantara, dahannya menjulang menyentuh langit modernitas. Di tengah dunia yang kerap memilih untuk menyimpan dendam, tradisi ini adalah pengingat: manusia boleh salah, tapi juga berhak memilih untuk memulai lagi.
Semoga halal bihalal tak hanya hidup sebagai rutinitas tahunan belaka, tapi mampu menjadi denyut nadi kemanusiaan. Seperti sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, biarlah maaf mengalir tanpa henti, menyuburkan yang layu, merajut yang terputus. Di tangan generasi kini, tradisi ini bukan warisan yang diam, tapi api yang terus dipelihara: menerangi, menghangatkan, dan membakar sekat-sekat yang memisahkan. (ful/KPO-3)