Oleh : H AHDIAT GAZALI RAHMAN
Apa itu pungli? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pungli atau pungutan liar adalah tindakan meminta sesuatu berupa uang dan lain sebagainya kepada seseorang, lembaga ataupun perusahaan tanpa menuruti peraturan yang lazim. Istilah pungli sangatlah familiar di telinga masyarakat Indonesia. Pungli juga dapat terjadi dimana saja, baik itu di jalanan, hingga di dalam perusahaan atau sebuah instansi dan birokrat pemerintah. Ini merupakan tindakan tercela. Hal ini umumnya disamakan dengan perbuatan pemerasan, penipuan ataupun korupsi. Pungutan liar sebagai salah satu perbuatan buruk yang sering dilakukan oleh seseorang, seperti pegawai negeri ataupun pejabat negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tak sesuai peraturan, terkait pembayaran tersebut.
Menurut beberapa ahli ekonomi dan pemerintahan, factor yang menyebabkan seseorang melakukan pungli, diantaranya : 1. Penyalahgunaan wewenang. Jabatan serta kewenangan seseorang bisa menyebabkan seseorang untuk melakukan pelanggaran disiplin; 2. Faktor mental. Karakter ataupun kelakuan dari seseorang dalam bertindak serta mengontrol dirinya sendiri; 3. Faktor ekonomi. Penghasilan yang dapat dikatakan tak mencukupi kebutuhan hidup dan tidak sebanding dengan tugas atau jabatan yang diemban; 4. Faktor kultural dan budaya organisasi. Budaya yang terbentuk di suatu lembaga juga yang berjalan terus menerus terhadap pungutan; 5. SDM yang terbatas; 6. Sistem pengawasan yang lemah, terutama oleh atasan.
Islam sebagai agama mayoritas yang dianut bangsa ini sangat benci kepada mereka yang melakukan pungli, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kalian menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui”. (QS. Al Baqarah : 188).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang tak memberi fatwa spesifik tentang pungli. Namun MUI telah mengharamkan risywah yang dipadankan dengan korupsi. Fatwa yang dikeluarkan pada 29 Juli 2000 ini menjelaskan, risywah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut rasyi, sementara penerima disebut dengan ra’isy. Dalam fatwa MUI menjelaskan, suap, uang pelicin, money politics, dan lain sebagainya dapat dikategorikan risywah apabila tujuannya meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Karena itu, MUI memfatwakan hukum risywah adalah haram. Karena itu harta dari pungli haram untuk digunakan dan dimakan. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW, “Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya”. (Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban). Hadis lain, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya”. (Tirmidzi)