Oleh : Sukhrowardi, Kepala Divisi Pengembangan Media Kalimantan Post
Dunia jurnalistik di Kalimantan Selatan (Kalsel) baru-baru ini diguncang oleh peristiwa tragis yang menimpa seorang jurnalis muda, Juwita, yang berusia 23 tahun, asal Banjarbaru. Juwita ditemukan tewas di tepi jalan kawasan Gunung Kupang pada Jumat pagi, 22 Maret 2025.
Awalnya, kematiannya sempat diduga akibat kecelakaan tunggal, namun sejumlah fakta yang ditemukan di lokasi kejadian justru menimbulkan kecurigaan bahwa ada unsur kekerasan dalam peristiwa tersebut.
Jenazah Juwita ditemukan oleh warga sekitar yang tengah melintas di kawasan Gunung Kupang, sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Banjarbaru. Beberapa saksi melaporkan tubuhnya tergeletak di pinggir jalan, dengan kondisi yang mengenaskan. Pihak kepolisian yang tiba di lokasi segera melakukan pemeriksaan dan menemukan beberapa kejanggalan. Dompet dan ponsel milik korban hilang, dan terdapat luka-luka pada tubuhnya yang diduga bukan akibat kecelakaan.
Meninggalnya Juwita tak hanya keluarga kehilangan tapi rekan-rekan seprofesi Juwita merasa kehilangan. Mereka mengenal Juwita sebagai seorang jurnalis yang sangat berdedikasi dan memiliki semangat tinggi dalam mengungkap fakta-fakta yang terjadi di sekitarnya.
Beberapa hari sebelum kejadian, Juwita dilaporkan sedang mengerjakan sebuah investigasi terkait dugaan penyalahgunaan wewenang di instansi pemerintah setempat, yang kemungkinan menjadi motif dalam peristiwa ini.
Salah satu rekan kerja Juwita, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan usulan Juwita pernah berbicara tentang mendapatkan ancaman dari beberapa pihak yang tidak senang dengan laporan-laporan yang ia tulis.
“Juwita adalah orang yang sangat berani. Dia sering mengungkap isu-isu yang tidak banyak diketahui orang, dan kadang-kadang ia merasa ada yang mengawasinya,” ujar rekan tersebut.
Keluarga Juwita pun berharap segera mengungkapkan penyebab kematian dan membawa pelaku ke jalur hukum. Mereka juga menuntut keadilan untuk Juwita, yang masih memiliki banyak cita-cita dan impian yang belum tercapai.
Kasus ini pun mendapat perhatian luas dari kalangan jurnalis dan masyarakat yang khawatir akan keselamatan para pekerja media yang terus berjuang mengungkap kebenaran di tengah tantangan yang semakin berat. Sejumlah organisasi jurnalis di Kalsel dan nasional telah menyatakan dukungan penuh terhadap keluarga Juwita serta mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kematiannya.
Sebelumnya, Komandan Polisi Militer Lanal Balikpapan, Mayor Laut (PM) Ronald L. Ganap, dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa pagi, mengonfirmasi pelaku, yang diketahui berinisial J, telah ditangkap dan saat ini berada dalam pengawasan Polisi Militer. Mayor Ronald L dan sudah diserahkan ke Lanal Banjarmasin sesuai peristiwa kejadian.
Penyidik Detasemen Polisi Militer Pangkalan TNI Angkatan Laut (Denpomal) Banjarmasin, Kalimantan Selatan berjanji akan segera memberikan perkembangan lebih lanjut terkait penyelidikan ini.
Hingga kemarin, Denpomal Banjarmasin meminta keterangan keluarga korban,
yakni kakak kandung dan kakak iparnya dengan 23 pertanyaan untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) guna membuat perkara ini semakin terang agar motif pelaku mengeksekusi korban dapat segera terungkap.
Kemudian, penyidik juga telah menerbitkan berita acara penyitaan 14 barang bukti yang di antaranya adalah mobil, sepeda motor, telepon seluler, kaca anti gores, laptop, dan alat bukti lainnya telah diperlihatkan penyidik kepada keluarga korban dan kuasa hukum.
Sementara itu, masyarakat berharap agar peristiwa tragis ini menjadi pembelajaran untuk lebih memperhatikan dan melindungi keselamatan para jurnalis, yang kerap berada di garis depan dalam menyuarakan kebenaran.
Kasus ini mendapat perhatian serius dari masyarakat tak hanya di Kalsel juga nasional, mengingat keterlibatan seorang anggota TNI dalam tindak kekerasan. Banyak yang berharap agar proses hukum berjalan dengan cepat dan adil, guna memastikan keadilan tercapai bagi korban dan tidak ada impunitas yang diberikan kepada pelaku.
Sejumlah tokoh masyarakat dan organisasi hak asasi manusia juga menyerukan agar kasus semacam ini dapat dijadikan pelajaran penting dalam penegakan hukum, tidak hanya di lingkungan militer tetapi juga di seluruh lapisan masyarakat.
Dengan berlanjutnya penyelidikan ini, masyarakat berharap agar keadilan dapat ditegakkan, dan para pihak yang terlibat dalam tindak penganiayaan ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Peristiwa terbunuhnya Juwita, menjadi pukulan berat bagi dunia jurnalistik di Indonesia, terutama di wilayah Kalsel. Tragisnya, insiden ini bukanlah kasus pertama yang menimpa jurnalis di daerah ini. Kasus ini semakin memperpanjang daftar panjang kekerasan terhadap para pekerja media yang seharusnya berperan penting dalam menyampaikan informasi dan mengawasi jalannya pemerintahan serta korporasi.
Sebelumnya, pada tahun 2020, Diananta Putera Sumedi, mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id, dipenjara setelah pemberitaan yang dilakukannya dianggap melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di dalam laporan tersebut, Diananta mengungkapkan berbagai fakta yang dianggap mencemarkan nama baik sejumlah pihak, yang kemudian berujung pada penahanan dirinya. Kasus ini menyoroti maraknya penggunaan UU ITE untuk membungkam kebebasan pers di Indonesia, terutama bagi jurnalis yang berani menyuarakan kebenaran meskipun terancam tekanan hukum.
Tak hanya itu, pada tahun 2018, Muhammad Yusuf, jurnalis dari media lokal Kemajuan Rakyat, juga mengalami nasib serupa. Ia dipenjara karena pemberitaan terkait praktik buruk yang terjadi di perusahaan kelapa sawit. Melalui liputannya, Yusuf mengungkapkan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, mulai dari isu lingkungan hingga dugaan eksploitasi pekerja. Namun, bukannya mendapat apresiasi atas tugasnya sebagai jurnalis, Yusuf malah dijerat dengan kasus hukum yang mengancam kebebasan pers di Kalsel.
Kasus-kasus tersebut memperlihatkan betapa sulitnya situasi yang dihadapi oleh jurnalis di Kalsel. Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah ini tampaknya menjadi arena subur bagi praktek-praktek kekerasan dan penindasan terhadap jurnalis yang berusaha mengungkapkan kebenaran. Banyak kalangan menganggap bahwa insiden-insiden tersebut bukan hanya berhubungan dengan kebebasan pers semata, tetapi juga mencerminkan adanya kekuatan yang ingin menutupi berbagai persoalan penting di masyarakat, seperti isu lingkungan hidup, hak-hak pekerja, hingga praktik korupsi.
Yang jelas kematian wartawati Juwita telah memberikan dampak yang signifikan, baik secara sosial maupun profesional, bagi dunia jurnalisme. Beberapa dampak yang muncul.
Pertama, Isu Keamanan Jurnalis
Jurnalis sering kali berada di garis depan dalam memberitakan isu-isu yang dapat mengundang kontroversi atau melibatkan pihak-pihak dengan kepentingan kuat. Mereka yang meliput peristiwa besar, seperti konflik sosial, korupsi, atau ketidakadilan, tidak jarang menghadapi ancaman, kekerasan, bahkan kehilangan nyawa. Juwita, yang bekerja dengan penuh integritas, adalah contoh konkret dari tantangan yang harus dihadapi oleh jurnalis di lapangan.
Kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya perlindungan bagi jurnalis yang bekerja di daerah-daerah rawan. Berbagai organisasi jurnalis dan lembaga hak asasi manusia menekankan perlunya regulasi yang lebih ketat untuk memastikan jurnalis tidak hanya mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, tetapi juga perlindungan fisik saat menjalankan tugasnya.
Meningkatkan sistem keselamatan bagi wartawan, baik dalam hal pelatihan mengatasi situasi berbahaya maupun dukungan hukum yang lebih tegas terhadap ancaman yang mereka hadapi, menjadi isu yang mendesak.
Lebih lanjut, kematian Juwita juga membuka diskusi tentang pentingnya peran pemerintah dalam menyediakan perlindungan jurnalis, terutama di wilayah-wilayah yang sering dilanda ketegangan sosial dan politik. Meski jurnalis memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga demokrasi dan memberikan informasi yang akurat, kenyataannya mereka sering kali menjadi sasaran intimidasi atau bahkan kekerasan fisik yang dapat mengancam keselamatan mereka.
Kedua, Peningkatan Kesadaran Terhadap Keberagaman Media
Kematian Juwita, menggugah perhatian publik dan memunculkan kesadaran baru mengenai pentingnya keberagaman media dalam memberikan suara kepada berbagai segmen masyarakat. Juwita, yang dikenal karena dedikasinya dalam mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan, terutama di daerah yang seringkali terabaikan dalam pemberitaan nasional, menjadi contoh nyata bagaimana jurnalis memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan informasi yang akurat, transparan, dan objektif.
Sebagai seorang wartawati, Juwita tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga menggali isu-isu sosial dan politik yang memengaruhi kehidupan masyarakat di Kalsel. Dari permasalahan lingkungan, ketimpangan sosial, hingga isu hak asasi manusia, Juwita selalu berusaha menyampaikan kisah-kisah yang mungkin tidak terjamah oleh media besar. Kehadirannya dalam dunia jurnalisme daerah menjadi pengingat setiap daerah, dengan segala kompleksitasnya, memiliki kisah dan tantangan yang perlu didengar.
Namun, di balik dedikasi dan semangatnya, kematian Juwita mengungkapkan tantangan besar yang dihadapi oleh jurnalis di daerah-daerah tertentu. Meskipun tugas jurnalis sangat vital, mereka sering kali terjebak dalam situasi yang penuh risiko dan kurangnya perlindungan yang memadai. Keberagaman media di Indonesia, yang meliputi media lokal, nasional, dan internasional, adalah hal yang sangat penting dalam memberikan perspektif yang luas dan mengakomodasi berbagai kepentingan serta segmen masyarakat
Melalui tragedi ini, kita diingatkan bahwa media, terutama di daerah-daerah, memegang peranan besar dalam membangun kesadaran dan membuka ruang bagi diskusi yang sehat di masyarakat. Keberagaman media yang mencakup berbagai segmen dan isu sosial sangat krusial agar masyarakat di seluruh Indonesia, dari sabang sampai merauke, dapat merasakan dan memperoleh informasi yang relevan dengan kondisi mereka.
Dengan demikian, kasus kematian Juwita bukan hanya menjadi kisah pilu, tetapi juga menjadi panggilan untuk memperjuangkan hak-hak jurnalis dan pentingnya keberagaman dalam dunia media yang lebih inklusif, adil, dan melindungi semua pihak.
Ketiga, Dampak Psikologis pada Rekan Kerja
Kematian tragis wartawati Juwita dapat memberikan dampak signifikan terhadap moral dan psikologis para jurnalis lain yang ada di Kalsel khususnya. Kejadian ini bisa menimbulkan perasaan takut dan terintimidasi di kalangan wartawan, yang mungkin merasa menjalankan tugas jurnalistik mereka kini semakin berisiko.
Sebagai profesi yang memiliki peran vital dalam mengungkapkan kebenaran dan mengawasi jalannya pemerintahan serta berbagai kebijakan publik, kematian Juwita berpotensi menurunkan semangat dan keberanian jurnalis untuk melakukan tugasnya. Ketakutan terhadap ancaman fisik, intimidasi, atau bahkan ancaman terhadap keselamatan pribadi dapat mengarah pada penurunan kualitas liputan. Jurnalis yang merasa terancam atau tertekan cenderung akan lebih berhati-hati dalam menyajikan informasi, menghindari liputan yang berisiko, atau bahkan menyensor diri sendiri.
Bila hal ini dibiarkan berkembang, dampaknya bisa jauh lebih besar, yakni terbatasnya kebebasan pers, baik di Kalimantan Selatan maupun di daerah lain.
Kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang dapat terkikis, dan media massa pun mungkin menjadi lebih tunduk pada kekuatan-kekuatan tertentu yang berusaha untuk membatasi akses terhadap informasi yang benar dan objektif. Ini tentu saja akan menghambat demokratisasi, karena masyarakat akan kesulitan mendapatkan informasi yang akurat mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka.
Lebih dari itu, kehilangan seorang wartawan juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan publik terhadap pihak-pihak yang seharusnya melindungi kebebasan pers. Kepercayaan masyarakat terhadap media bisa menurun, sementara kebebasan berekspresi juga berpotensi terancam. Oleh karena itu, sangat penting bagi seluruh pihak,baik pemerintah, lembaga penegak hukum, maupun organisasi profesi jurnalistik untuk bersama-sama menjamin perlindungan terhadap para jurnalis agar mereka dapat bekerja tanpa rasa takut atau terancam, demi menjaga kualitas informasi yang sampai ke tangan publik.
Keempat, Penyelidikan dan Akuntabilitas.
Kasus kematian Juwita, harus menjadi momentum bagi penegak hukum untuk lebih serius dalam menyelidiki insiden yang melibatkan jurnalis.
Kematian Juwita, yang diduga terkait dengan pekerjaannya sebagai jurnalis, mencuatkan permasalahan serius mengenai keselamatan wartawan di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia jurnalisme di Indonesia memang telah menghadapi tantangan besar, dengan meningkatnya ancaman fisik maupun non-fisik terhadap jurnalis yang meliput isu-isu sensitif.
Jika kematian tersebut benar-benar terkait dengan pekerjaannya sebagai jurnalis, hal ini membuka diskusi penting tentang akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum.
Selama ini, kasus kekerasan terhadap jurnalis sering kali berakhir tanpa kejelasan atau solusi yang memadai. Kurangnya perhatian dan keseriusan dari pihak berwenang untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut, ditambah dengan terjadinya intimidasi terhadap wartawan, dapat menciptakan rasa takut di kalangan jurnalis dan mengganggu kebebasan pers.
Dalam konteks ini, penting bagi aparat penegak hukum untuk tidak hanya memfokuskan penyelidikan pada faktor-faktor pribadi atau pribadi di balik kematian, tetapi juga untuk mempertimbangkan potensi motif yang berkaitan dengan pekerjaan Juwita sebagai jurnalis. Ke depan, hal ini diharapkan dapat mendorong reformasi dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, serta memastikan bahwa hak-hak para pekerja media dihormati dan dilindungi dengan tegas.
Kelima, Pentingnya Edukasi dan Pelatihan
Kematian Juwita menyoroti pentingnya perlunya penguatan pendidikan dan pelatihan yang lebih komprehensif bagi jurnalis dalam menghadapi situasi berbahaya. Jurnalis sering kali berada di garis depan dalam menghadapi ancaman dan kekerasan, baik dari segi fisik maupun psikologis.
Karena itu, penting untuk memberikan pelatihan yang lebih mendalam terkait bagaimana cara melindungi diri dalam situasi berisiko tinggi, seperti kekerasan fisik, ancaman terhadap keselamatan, atau bahkan penyalahgunaan teknologi untuk mencuri data dan informasi yang mereka kelola.
Selain itu, pendidikan tentang etika jurnalisme juga sangat penting untuk menjaga kredibilitas serta integritas para jurnalis. Jurnalis yang bekerja di lapangan tidak hanya harus memiliki kemampuan teknis untuk melaporkan peristiwa secara akurat dan adil, tetapi juga harus memahami tanggung jawab moral yang mereka pegang dalam menjalankan profesinya.
Juwita, sebagai seorang jurnalis, pasti memegang teguh prinsip tersebut, namun dalam situasi tertentu, keterampilan dalam pengambilan keputusan yang bijaksana dan penilaian yang cepat akan sangat membantu dalam menjaga keselamatan diri.
Keenam, Dampak pada Kebebasan Pers.
Kematian Juwita bisa menjadi perhatian serius terkait kebebasan pers di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap ketegangan politik atau konflik, hal ini bisa memunculkan kekhawatiran lebih lanjut terkait keselamatan jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Kehilangan seorang jurnalis yang bekerja di daerah yang rawan konflik dapat menambah beban mental dan fisik bagi para jurnalis lainnya, yang mungkin merasa semakin terancam dalam melaporkan fakta atau berita yang kritis terhadap kekuasaan atau pihak yang berkuasa. Hal ini, pada gilirannya, dapat menyebabkan pengurangan ruang untuk kebebasan pers dan bahkan cenderung meningkatkan self-censorship (pengekangan diri) di kalangan jurnalis.
Jika situasi ini tidak segera diatasi dengan peraturan yang lebih mendukung keselamatan jurnalis dan kebebasan pers, bisa saja media di Indonesia menjadi lebih terkendali oleh tekanan eksternal, baik dari pemerintah, kelompok politik, atau kekuatan lain yang merasa terancam dengan pemberitaan yang kritis. Oleh karena itu, penting untuk terus mengingatkan bahwa jurnalis memiliki hak untuk bekerja tanpa rasa takut akan ancaman atau kekerasan, agar informasi yang sampai ke masyarakat tetap obyektif dan akurat.
Ketujuh, Solidaritas dari Komunitas Jurnalis
Kematian seorang wartawati, Juwita, telah mengguncang komunitas jurnalis, baik di tingkat lokal maupun Nasional. Kepergian Juwita bukan hanya kehilangan pribadi yang mendalam bagi keluarga dan rekan-rekannya, tetapi juga sebuah tragedi yang mengingatkan kita akan tantangan berat yang dihadapi oleh para jurnalis di lapangan. Tragedi ini telah membangkitkan solidaritas yang lebih besar dari kalangan jurnalis, serta menggugah kesadaran publik tentang pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para pekerja media
Kematian Juwita telah memicu reaksi dari berbagai organisasi jurnalis di tingkat daerah maupun nasional. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Persiapan Banjarmasin mendesak polisi untuk mengungkap tuntas kasus kematian Juwita. Mereka menekankan bahwa jurnalis memiliki hak untuk bekerja tanpa rasa takut akan ancaman terhadap nyawa mereka
Sementara itu asosiasi jurnalis seperti Reporters Without Borders (RSF) menyuarakan keprihatinan mereka dan mendesak pihak berwenang untuk memberikan keadilan atas kematian yang menimpa wartawati tersebut. Seruan-seruan ini tidak hanya berfokus pada masalah individu, melainkan juga menyerukan perlunya perhatian lebih terhadap keselamatan jurnalis yang sering kali berada dalam posisi rentan, terutama saat melaporkan isu-isu sensitif atau berisiko tinggi.
Diharapkan kejadian ini bisa mendorong negara untuk lebih tegas dalam memberikan perlindungan hukum terhadap wartawan, serta mengusut tuntas segala bentuk kekerasan atau ancaman yang ditujukan kepada mereka. Solidaritas ini, selain menyuarakan keprihatinan, diharapkan mampu menekan pemerintah untuk melakukan langkah-langkah konkret dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi para jurnalis
Kematian Juwita juga menyoroti berbagai tantangan dan risiko yang dihadapi oleh jurnalis dalam menjalankan profesinya. Jurnalis sering kali berhadapan dengan ancaman fisik, intimidasi, hingga perundungan, baik dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan mereka, maupun dari kelompok atau individu yang berusaha membungkam kebebasan pers. Di Indonesia, meskipun kebebasan pers dijamin oleh konstitusi, kenyataannya masih banyak jurnalis yang menghadapi ancaman serius saat melaporkan kasus-kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, atau isu-isu kontroversial lainnya.
Kematian Juwita menjadi bukti nyata meskipun teknologi dan media sosial mempermudah akses informasi, namun tantangan yang dihadapi jurnalis di lapangan justru semakin kompleks. Mereka sering kali berada dalam situasi yang rawan, tanpa adanya perlindungan yang memadai. Oleh karena itu, kejadian ini mengingatkan kembali kita akan pentingnya memberikan dukungan yang lebih besar terhadap profesi jurnalis, agar mereka dapat bekerja dengan bebas dan tanpa rasa takut.
Sebagai penutup, tewasnya wartawati Juwita merupakan tragedi yang tidak hanya menggugah kesadaran tentang tantangan yang dihadapi para jurnalis, tetapi juga menjadi titik balik untuk refleksi lebih dalam mengenai keselamatan dan kebebasan pers di Indonesia. Kejadian ini mengingatkan kita akan risiko yang sering kali harus dihadapi oleh mereka yang berjuang di garis depan untuk mengungkapkan kebenaran, menyuarakan hak publik, dan mengkritisi berbagai kekuasaan. Dampak dari insiden ini tentunya sangat luas, mempengaruhi dunia jurnalisme secara keseluruhan, baik dari segi profesionalisme, keamanan, hingga hak-hak pekerja media yang sering kali terabaikan.
Namun, tragedi ini juga harus menjadi momentum untuk perbaikan dan pembaruan, tidak hanya dalam hal perlindungan terhadap jurnalis, tetapi juga dalam menciptakan ekosistem media yang lebih transparan, adil, dan bertanggung jawab. Dunia jurnalistik harus bangkit dari duka ini dengan semangat yang lebih kuat untuk menjaga kebebasan pers, melindungi hak setiap wartawan, serta terus mengedepankan integritas dalam setiap pemberitaan yang disajikan. Semoga kepergian Juwita tidak sia-sia dan menjadi pemicu perubahan yang lebih baik bagi dunia jurnalisme di tanah air. *)
Sukhrowardi (Kalimantanpost.com/Repro pribadi)