Banjarmasin, Kalimantanpost.com – Kaget dengan kabar penobatan Raja Kebudayaan Banjar Kalimantan, Pangeran Cevi Yusuf Isnander di Kraton Majapahit, Jakarta beberapa waktu lalu.
Sementara ada ditandatangani 14 Adipati Kesultanan Banjar Kalimantan disertai stempel masing-masing tentang penobatan tersebut.
Surat keberatan disampaikan, besar harapan agar menjadi perhatian dan ditindaklanjuti atas penobatan Raja Kebudayaan Banjar Kalimantan, Pangeran Cevi Yusuf Isnander.
Sisi lain, Kesultanan Banjar di Martapura Kalimantan Selatan mengeluarkan maklumat tentang penolakan terhadap dilantiknya Pangeran Cevi Yusuf Isnendar oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebagai Raja Kebudayaan Banjar.
Melalui Adipati Banjarmasin Kesultanan Banjar Kalimantan, H Pangeran Nor Maulana, dengan tegas menolak hasil dari penobatan yang digelar di Keraton Majapahit Jakarta, pada tanggal 6 Mei 2025 lalu.
“Kami para Pemangku Adat dan juga atas nama kerabat dan dzurriyat Kesultanan Banjar, menyampaikan maklumat keberatan atas upaya sepihak penobatan saudara Cevi Yusuf Isnendar, atas gelar apapun yang bersangkutan dengan Kehormatan Kesultanan dan Masyarakat Adat Banjar,” ujarnya kepada sejumlah awak media.
Tak hanya itu, juga menuai komentar dari berbagai pihak.
Ali Syahbana, intelektual muda Banua sekaligus Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banjar, yang juga memiliki keterikatan dengan garis keturunan adat melalui pihak ibu (dikenal dalam istilah Banjar sebagai andin), turut menyampaikan pandangannya.
“Sebagai bagian dari masyarakat Banjar, saya paham betul bahwa budaya Banjar bukan hanya tentang simbol atau gelar. Ia adalah identitas yang hidup, dan karenanya harus dijaga dengan rasa hormat dan tanggung jawab,” tegasnya, Selasa (13/5).
Menurut Ali, pelestarian budaya adalah tugas bersama.
“Kita semua memiliki tanggung jawab untuk meneruskan nilai-nilai budaya Banjar kepada generasi berikutnya. Ini bukan hanya soal sejarah, tetapi soal jati diri yang menyatukan kita sebagai satu masyarakat,” tambahnya.
Ali juga menekankan bahwa muruah budaya Banjar bukan hanya menjadi kebanggaan, tetapi menjadi dasar kokoh yang memperkuat ikatan sosial dan harmoni.
“Warisan ini mengikat kita dalam semangat kebersamaan.
Di tengah zaman yang terus berubah, budaya Banjar harus tetap hidup dan bermakna,” tekannya.
“Kita perlu membuka ruang dialog, duduk, dan berdiri bersama, dengan hati yang jernih dan pikiran yang lapang, agar warisan budaya Banjar tetap tumbuh dan memberi nilai bagi generasi masa depan,” tutupnya.
Lainnya, Antropolog asal Universitas Lambung Mangkurat, Nasrullah yang mengaku kebingungan atas penobatan Raja Kebudayaan Banjar tersebut karena.
Padahal katanya, telah ada Kesultanan Banjar di bawah Sultan Haji Khairul Saleh Al Mu’tashim Billah yang dinobatkan sejak 2010 hingga saat ini aktif mengurus soal tradisi besar (great tradition) kerajaan.
Seperti mengurus berbagai benda pusaka, ritual upacara penobatan, penganugerahan gelar, kekerabatan, juriat kerajaan, atau mengangkat aspek historis kesultanan Banjar dan sebagainya.
“Ada beberapa catatan yang membuatnya semakin bingung.
Pertama, kerajaan Banjar sesungguhnya mesti terikat tanah Banjar,” ucapnya.
Dijelaskannya, jika dilakukan di Jakarta berarti terjadi deteritorialisasi kerajaan Banjar, sehingga aneh jika disebut “Kerajaan Banjar Jakarta”.
Lebih jauh, imaginasi publik yang bukan Banjar dengan penobatan Raja Banjar Kalimantan di Jakarta sangat mungkin akan membayangkan situasi di Kalimantan Selatan saat ini tidak didominasi orang Banjar dan kebudayaan Banjar.
“Orang Banjar seolah tercerabut dari teritorialnya hingga mereka hidup terpencar di perantauan,” tambah Nasrullah.
Selain itu, “raja kebudayaan Banjar” menjadi istilah yang rancu dan layak diperdebatkan. Menurutnya, mustahil mengakomodir kebudayaan Banjar itu sendiri sementara ‘rajanya’ berada di luar Kalimantan.
“Jika berkaca di masa lalu, Pangeran Antasari yang mengorbankan jiwa raganya melawan Belanda mendirikan benteng di Manawing di Hulu Barito.
Kalau mau, dengan segala legitimasinya dapat mengumumkan pindahnya kesultanan Banjar dari Martapura ke Hulu Barito pada masa itu,” terang Nasrullah.
“Kemudian Pangeran Antasari mendirikan bangunan kerajaan dan struktur kerajaan secara permanen sebelum menyerang Belanda di Banjarmasin,” sambungnya.
Selain itu, Nasrullah menilai adanya kehadiran Menteri Kebudayaan dan pejabat Pemprov Kalsel dapat menjadi persoalan karena seolah melegitimasi penobatan.
“Hal ini akan menjadi problem akan datang, misalnya bagaimana jika ada orang lain ingin menobatkan diri sebagai Raja Banjar di tengah komunitas Banjar yang dominan di berbagai daerah perantauan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Nasrullah merasa janggal jika pola ini muncul dengan klaim ada Raja Banjar Yogya, Raja Banjar Tambilahan, Raja Banjar Malaysia, bahkan terdekat Raja Banjar Puruk Cahu.
Lalu ia menyayangkan, apakah masyarakat setempat mau menerima Raja-raja Banjar seperti itu sementara mereka memiliki latar belakang kerajaan sendiri.
“Saya melihat kecenderungan ada upaya pembelahan karena raja Banjar tidak hanya berpeluang jadi dua tapi banyak karena bisa ada di mana-mana.
Namun, masyarakat tentu dapat membedakan raja Banjar yang hidup bersama masyarakat dan versi elitis,” ujar Nasrullah.
Catatan dari maklumat tersebut diatas merincikan sebanyak 8 poin, yang paling mendasar.
Menurutnya, adalah karena prosesi penobatan yang digelar atas undangan AM Hendropriyono dilakukan secara sepihak oleh Menteri Kebudayaan.
Selain itu ia menilai sangat janggal karena penobatan gelar yang diberikan kepada Cevi Yusuf Isnendar juga tidak melalui proses, terlebih yang bersangkutan ujarnya tidak berdomisili dan tidak masyhur ditengah masyarakat Banjar.
Lebih lanjut Pangeran Nor Maulana mengungkapkan, mestinya sebuah kebudayaan Banjar itu tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas, adat istiadat dan masyarakat Banjar itu sendiri.
“Namun saudara Cevi Yusuf Isnendar lahir dan besar serta berdomisili di Cianjur Jawa Barat sana,” ungkapnya.
Bahkan Pangeran Nor Maulana juga menegaskan ada hal yang perlu dikoreksi terkait gelar ‘Pangeran’ yang diklaim oleh Cevi Yusuf Isnendar yang tidak pernah diberikan atau dianugerahkan oleh Kesultanan Banjar.
Meskipun sambung Pangeran Nor Maulana hal tersebut dilakukan demi Kesultanan Banjar. Namun ia tetap mengakui dalam catatan silsilah Kesultanan Banjar, Cevi Yusuf Isnendar adalah cicit Pangeran Hidayatullah dari Jalur Ibu (Matrilineal).
“Cevi Yusuf Isnendar bin Arma Junaid, dan Arma Junaid ini kawin dengan Gusti Yus Rustianah binti Pangeran Sadibasyah bin Pangeran Alibasyah bin Pangeran Hidayatullah (Cianjur),” paparnya.
Ditegaskan Pangeran Nor Maulana bahwa secara adat dan kebudayaan masyarakat Banjar adalah menggunakan sistem Patrilineal atau silsilah keturunan dari jalur ayah.
“Sehingga menurut kami gelar tersebut tidaklah sah dan hanya pengakuan diri sendiri tanpa melalui prosesi Adat Badudus sebagaimana tradisi leluhur di Kesultanan Banjar,” jelas Maulana.
Ia menambahkan, penjelasan tersebut merupakan beberapa poin yang termuat dalam naskah Maklumat Musyawarah Tinggi Adat Para Adipati Kesultanan Banjar Kalimantan, yang digelar pada 9 Mei 2025 di Banjarmasin.
“Masih ada poin maklumat lainnya. Dan semua hasil rembukan sudah dijelaskan secara rinci dalam Naskah Maklumat Adipati Kesultanan Banjar Kalimantan,” tutupnya. (*/sfr/K-2)