oleh: Noorhalis Majid
KETIKA ramai gagasan melakukan normalisasi sungai bagi kota Banjarmasin, muncul pertanyaan, sebenarnya siapa tokoh pelopor normalisasi sungai tersebut?
Melihat berbagai catatan sejarah, saya menduga, tokoh pelopor yang memiliki perhatian besar terhadap normalisasi sungai, yang bertujuan untuk mensejahterakan warga Kalimantan secara umum, adalah Ir Pangeran Mohamad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan.
Ketika gagasan normalisasi sungai Barito disampaikan, dia berpendapat, bahwa apabila sungai-sungai tersebut dikelola dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, melalui satu manajemen yang bagus dan otonom, pastilah membawa manfaat bagi warga Kalimantan. Pemikiran tersebut sangat visioner, menjadikan sungai sebagai titik sentral pembangunan di wilayah Kalimantan. Bukan daratannya, namun sungai. Dari sungailah memberi pengaruh pada pembangunan daratan Kalimantan.
Normalisasi sungai pertama, dilakukan terhadap sungai Barito, yang panjangnya membentang dari Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Tengah. Tujuan dari proyek ini dalam rangka membina secara integral perkembangan ekonomi dalam daerah perairan Sungai Barito, termasuk tentu saja untuk pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, alat-alat komunikasi, perindustrian, pertambangan, dan lain-lain usaha. Semuanya untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga Kalimantan. Suatu proyek yang memberi pengaruh sangat luas.
Ir. Pangeran Mohamad Noor sendiri mengatakan, bahwa beliau lah yang memprakarsai proyek normalisasi sungai Barito, didasari oleh kepedulian untuk mensejahterakan warga Kalimantan, agar potensi sungai Barito yang besar, dapat bermanfaat pada berbagai hal. Pemikiran tersebut didasari oleh pengalaman masa kecil yang sangat akrab dengan sungai. Beliau lahir di Martapura, dari keluarga bangsawan Banjar, pada tahun 1901. Sekolah Dasar saat masa kanak-kanak di Kotabaru dan Amuntai, selesai tahun 1911. Melanjutkan HIS di Banjarmasin, tamat tahun 1917. Melanjutkan HBS di Surabaya, selesai tahun 1923. Lanjut pendidikan di THS di Bandung, memperoleh gelar Insinyur sipil tahun 1927.
Ada yang mengatakan, mungkin Ir Pangeran Mohamad Noor sebagai sarjana pertama dari Kalimantan yang meraih gelar insinyur kesarjanaan. Dalam catatan Riwayat hidupnya, dikemukakan bahwa pada tahun 1925 ia aktif sebagai salah seorang anggota Jong Islamieten Bond (J.I.B). Ia merupakan adik kelas dari Ir Sukarno, lulusnya di THS satu tahun setelah Ir Sukarno.
Setelah lulus dari THS, dia bekerja sebagai insinyur sipil di sejumlah instansi, mulai dari ditempatkan di Tegal pada irrigatie Afd. Brantas, antara tahun 1927-1929, kemudian ditempatkan di Malang, tahun 1929-1931. Setelah itu ditarik ke Batavia, tahun 1931-1933. Kemudian terpilih sebagai Lid Volksraad atau anggota Dewan Rakyat, sebuah lembaga penasihat dan semi-legislatif yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1918. Lid Volksraad adalah anggota dari lembaga ini, yang berfungsi memberikan saran kepada pemerintah kolonial dan juga berperan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat pribumi Indonesia. Pada lembaga tersebut, beliau mewakili daerah Kalimantan. Menjabat selama dua periode.
Tahun 1933-1936, beliau ditempatkan di Banjarmasin pada Deparment B.O.W. Tahun 1936-1937, diangkat sebaga Gedelegeerde Volksraad di Batavia. Tahun 1937 – 1939, ditempatkan di Bandung sebagai insinyur di Departement Verkeer & Waterstaat (V & W), tahun 1939 – 1941 ditempatkan di Lumajang pada Irrigatie Afd. Bekalen-Sampean. Tahun 1941-1942 ditempatkan di Banyuwangi sebagai Sectie – Ingeniur pada Irrigatie Afd. Bakalen-Sampean.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942 – 1945, ditempatkan di Bondowoso, sebagai Kepala Irrigate Afd Bekalen-Sampean. Tahun 1945, diangkat sebagai Wakil Sumobucho (Sekjen) Doboku (Departemen Perhubungan / Pekerjaan Umum) Gunseibu (Pemerintah Pendudukan Jepang). Setelah itu ditunjuk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Mewakili Kalimantan.
Setelah kemerdekaan, tahun 1945 – 1946, diangkat sebagai Wakil Menteri Perhubungan dan pekerjaan Umum dalam Kabinet Presidentil Pertama, sampai terbentuk Kabinet Syahrir I. Tahun 1945 – 1950, menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI, yang pertama, kemudian diteruskan pada tahun 1950 – 1956 sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) RI.
Tahun 1945 – 1950, beliau diangkat sebagai Gubernur Kalimantan yang pertama, berkedudukan di Yogyakarta, merangkap sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI. Tahun 1956-1959, sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan Kabinet Karya.
Dengan pengalamannya yang sangat panjang tersebut, pada 2 Oktober 1950, ketika duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) RI, ia menyampaikan pemandangan umum tentang perlunya normalisasi sungai Barito. Pada kesempatan tersebut dia mengusulkan perlunya perhatian pada 3 sungai besar di Kalimantan, yaitu Sungai Kapuas, Sungai Barito dan Sungai Mahakam. Bahkan dia mengusulkan satu badan otonom berbasis sungai. Dia mencontohkan satu badan otonomi ekonomi, seperti di Amerika, dikenal sebagai T.V.A (Tennessee Valley Authority). Bila badan itu disetujui, akan ada Kapuas Valley Authority, Barito Valley Authority, dan Mahakam Valley Authority. Dia bahkan mencontohkan India yang mengerjakan proyek memakai konsep T.V.A, yaitu Damodar Valley Project, di Provinsi Bihar dan Bengal, melalui suatu badan yang dinamakan Damodar Valley Corporation. Kewajiban dari corporation tersebut adalah merencanakan dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan irrigasi, pembangkit tenaga listrik dan mengendalikan banjir.
Dia mengatakan, pentingnya membangun Kalimantan tidak semata-mata bertujuan untuk Kalimantan itu sendiri, tetapi terutama dimaksudkan sebaga salah satu usaha untuk memecahkan soal yang maha penting untuk Indonesia, yaitu kepadatan penduduk di Jawa. Cara yang paling efektif memecahkan soal tersebut ialah membentuk T.V.A – T.V.A di seluruh Indonesia, terutama di luar Jawa seperti Kalimantan, yang memperlancar jalannya transmigrasi – pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa.
Normalisasi sungai Barito, tentu saja berdampak pada anak-anak sungainya seperti sungai Martapura yang membelah kota Banjarmasin. Gagasan pentingnya normalisasi sungai, terus dia suarakan, bahkan dibuat satu buku kecil terkait proyek sungai tersebut, dan buku tersebut dikirim ke sejumlah orang yang waktu itu dapat mendukung gagasannya, termasuk kepada Mohammad Hatta, Jenderal Nasution, dan para tokoh lainnya.
Mohammad Hatta pada 5 Oktober 1967 bahkan berkirim surat memberikan apresiasi, bahwa menyatakan rasa gembira dan mendukung gagasan atas proyek tersebut. Hatta mengatakan, proyek tersebut harus mendapat prioritas. Walau ongkosnya besar, namun kelak hasilnya tidak sedikit, berdampak pada tercetaknya 450.000 ha sawah dan hunian penduduk, bisa menambah ketahanan pangan paling sedikit 450.000 ton dan pasti berdampak pada pendapatan nasional. Hatta menyebutkan, proyek ini sifatnya serba guna, karena dapat membangun 300.000 kw listrik yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai industri baru dalam mendukung Pembangunan.
Surat yang dikirm Mohammad Hatta tersebut memberikan dukungan kepada Ir. Pangeran Mohamad Noor untuk terus mewujudkannya. Walau realisasinya bertahap, tetapi mesti dilakukan sampai selesai dengan secepat-cepatnya, jangan sampai kita ketinggalan waktu, kata Hatta memberi semangat.
Dari surat tersebut, dia sangat memahami bahwa normalisasi sungai memberi dampak luas pada banyak hal, bukan hanya bagi kemaslahatan penduduk, namun juga bagi peningkatan pendapatan negara, karena akan lahir pertanian terintegrasi, serta berbagai industri yang dapat dikembangkan dengan memanfaatkan potensi sungai yang dikelola sedemikian rupa, bukan semata untuk irigasi pertanian, tapi juga pembangkit listrik.
Bila memahami arti penting normalisasi sungai yang memberi dampak luas bagi pengembangan lingkungan dan kehidupan warga, pastilah proyek semacam itu menjadi prioritas. Sebab sungai merupakan urat nadi bagi warga Kalimantan, termasuk bagi warga Banjarmasin yang kotanya dibelah oleh sungai Martapura, yang merupakan anak dari sungai Barito. (nm)