Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

MAMA KHAS BANJAR; “MEMILIH MATI”

×

MAMA KHAS BANJAR; “MEMILIH MATI”

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid adalah salah anggota Ambin Demokrasi Kalimantan Selatan *)

oleh: Noorhalis Majid

KARENA tidak tahan berbagai tekanan entah dari mana datangnya, akhirnya Mama Khas Banjar, UMKM yang merintis usahanya dari nol tersebut, memilih mati. Peristiwanya persis 1 Mei, ketika hari buruh dikumandangkan di seluruh dunia, pemiliknya mengumumkan bahwa usaha mereka ditutup.

Baca Koran

Pengumuman tersebut seperti menyetakkan kesadaran banyak orang, di tengah sulitnya buruh memperoleh keadilan karena upahnya terus ditekan inflasi, dan semakin sulitnya perusahaan dalam mempertahankan usahanya – serta minimnya lapangan pekerjaan karena PHK yang mewabah, seiring efisiensi dan ekonomi dunia yang tidak menentu. Tiba-tiba UMKM yang nampak beranjak maju tersebut, justru menyerah dan menyatakan memilih mati.

Banyak yang menyayangkan, kenapa harus menyerah pada tekanan? Kenapa secepat itu keputusan tutup diambil? Kenapa tidak menyampaikan ke banyak orang yang pasti akan bersimpatik? Tapi, tentu tidak semua orang memiliki ketahanan yang sama, ketika berhadapan dengan banyak tekanan. Apalagi ditekan melalui kekuasaan, hukum dan boleh jadi sikap dari petinggi yang punya kuasa.

Pilihan tutup, pasti sudah melalui banyak pertimbangan. Termasuk sudah dengan berbagai upaya yang bisa dilakukan. Memang tidak dapat pungkiri, berurusan dengan hukum memerlukan energi dan nafas panjang. Tidak banyak orang mampu menjalaninya, terutama bagi UMKM yang hanya mengerti soal berusaha, bukan berperkara. Ditambah dengan kemampuan lawan seperti tak terbatas. Tak sebanding untuk dilawan, bertahan pun mungkin hanya bentuk menunda kekalahan.

Lantas, apa untungnya bagi para penekan, hingga membuat UMKM tidak nyaman dalam berusaha? Mungkin hanya “kepuasan”. Puas seolah berhasil menegakkan aturan setegak-tegaknya. Puas karena sudah berhasil menuntut sedemikian rupa, hingga UMKM yang dianggap musuh, menyerah terkapar tak sanggup melawan. Dan mungkin puas, sebab mampu membuktikan bahwa kami berkuasa, kami hebat, kami penentu. Di luar dari “kepuasan” tersebut, rasanya tidak ada sedikitpun yang disebut untung, bahkan tidak penting untuk dibanggakan.

Baca Juga :  PRODUK LOKAL

Tidakkah terpikir oleh para penuntut, betapa besar kerugian bila satu saja UMKM mati karena tidak tahan oleh tekana-tekanan dalam berusaha. Karyawannya di rumahkan, padahal UMKM itu pahlawan yang telah membuka lapangan pekerjaan. Sedangkan pemerintah yang punya segalanya saja, tidak mudah membuka lapangan pekerjaan. Mestinya, semua pihak yang berhasil membuka lapangan pekerjaan, terutama UMKM yang jumlahnya sangat besar, diberikan apresiasi dan pengharaan. UMKM itu pahlawan ekonomi, karena telah menghidupi banyak warga dengan beragam usahanya.

Bandingkan lapangan pekerjaan yang mampu diserap UMKM. Boleh bandingkan dengan pemerintah atau perusahaan besar sekali pun. Jumlahnya tidak sebanding, jauh lebih besar yang mampu diserap UMKM. Lantas kenapa dimatikan? Kenapa dikalahkan? Kenapa harus dituntut sedemikiann rupa. Kalau pun dianggap salah, kenapa tidak dibina, diserahkan kepada Dinas yang membidangi untuk diajari bagaimana mematuhi peraturan yang membuatnya tumbuh besar dan lebih mampu memberi manfaat bagi banyak warga?

Apakah sudah lupa, bahwa UMKM juga terbukti berungkali menjadi pahlawan roda ekonomi warga. Baca saja sejumlah penelitian ilmiah, UMKM lah yang berhasil memutar roda ekonomi di tingkat bawah, bahkan pada saat krisis ekonomi melanda, termasuk saat pandemi, ketika semuanya hoples kehilangan harapan hidup. Ketika satu UMKM dimatikan, maka satu bagian dari roda ekonomi itu berhenti berputar.

Tidakkah pula terpikir, tutupnya satu UMKM, telah memberi efek besar bagi ketakutan warga membuka usaha. Tidak gampang memberi motivasi warga untuk dapat membuka usaha. Butuh keberanian besar dalam merintis usaha, dan tidak semua warga memiliki keberanian itu. Apalagi di tengah modal yang sangat terbatas. Di tengah persaingan dan kompetitor yang banyak dan luas.

Tidakkah sadar, Mama Khas Banjar yang memilih mati, telah berhasil mengirim pesan, bahwa UMKM itu saat kecil seolah dibina, namun bila sudah tumbuh agak besar akan ada yang memikirkan untuk dibinasakan, disembelih dengan berbagai ketentuan, termasuk sistem perizinan, sistem hukum yang picik, berbagai aturan usaha yang semakin rumit, serta pajak berlapis, yang membuat usaha jenis apapun tidak mampu berkembang leluasa.

Baca Juga :  Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan: Benarkah Sudah Berkeadilan?

Mama Khas Banjar juga telah menyampaikan pesan lirih, kalau berhadapan dengan hukum, jangan dilawan, karena percuma. Sebab hukum tidak mengenal nurani. Hukum hanya tunduk pada para pemesannya, yang mampu membayar mahal dan tidak peduli soal keadilan.

Memilih mati, adalah pesan bahwa ternyata pemerintah tidak mampu melindungi UMKM dari tekanan yang tidak penting, yang sekedar memenuhi kepuasan. Kalau benar pemerintah daerah melindungi UMKM, tentu ada suara dari kepala daerah, dari DPRD yang mengaku refresentasi warga. Ketika semuanya diam, maka UMKM hanyalah “bilangan”, yang tidak memiliki keunikan apapun untuk dipertahankan.

Selama ini UMKM hanyalah bilangan, matinya satu UMKM akan segera digantikan UMKM lainnya. Sebab itu pemerintah daerah lebih bangga menyebut angka-angka pertumbuhan UMKM dari banyaknya usaha yang didaftarkan, bukan dari pertumbuhan UMKM itu sendiri. Sekali pun satu UMKM sudah bertumbuh, bila kemudian terancam mati atau dimatikan, maka pemerintah tidak pernah risau, apalagi melindungi, toh nanti akan tumbuh lagi UMKM lainnya.

Mama Khas Banjar memberi pelajaran tentang pentingnya bagi UMKM bersatu dalam wadah yang dapat menaunginya. Entah bentuknya komunitas atau asosiasi usaha. Melalui wadah tersebut, kebersamaan dan solidaritas dibangun untuk saling melindungi satu sama lainnya. Kasus yang ia hadapi, menyadarkan bahwa tantangan yang dihadapi UMKM bukan saja persaingan sesama UMKM, tapi ada banyak faktor yang dapat mengganggu, termasuk hukum yang tidak melindungi, kebijakan yang menindas, dan lain sebagainya. Seandainya ada komunitas UMKM yang kuat, pasti kematian terhadap satu UMKM dapat dicegah, setidaknya dilawan sekuatnya. (nm)

Iklan
Iklan