Oleh : H Akhmad Surkati
Wakil Ketua Umum MUI Tabalong
Setiap 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “kebangkitan” memiliki dua arti: pertama, kebangunan atau menjadi sadar; dan kedua, perihal bangkit dari mati (dalam konteks agama).
Memperingati Harkitnas sejak dahulu hingga sekarang tentu sangat penting, relevan dengan banyak kondisi kekinian, sesuai perkembangan zaman, dan momentum yang kuat untuk menggali nilai kejuangan orang tua dulu.
Banyak hikmah yang bisa menguatkan jati diri sebagai anak bangsa, atau seseorang yang ingin sukses berguna bagi orang lain.
Jika dulu para pejuang mengobarkan semangat juang melawan penjajah, bertempur hingga ada yang meninggal dunia, mati di medan laga, dan akhirnya Indonesia merdeka, maka jejak para pahlawan itu mengilhami rakyat Indonesia wajib bersyukur, mencintai negeri ini, membelanya dari upaya penjajahan serupa, dalam bentuk apapun dan kapanpun. Inilah kesadaran batin yang harus selalu dibangkitkan!
Jika dulu, para pendahulu kita bangkit kompak bermusyawarah menyatukan pendapat, bergontong royong menyongsong masa depan Indonesia lebih cerah, maka langkah kakek nenek kita itu rintisan jalan memandu kita supaya tidak tersesat melangkah memposisikan negeri di kancah dunia global. Kesadaran batin ini wajib dipelihara!
Jika dulu para ulama, menjadi komando perjuangan rakyat, seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Jenderal Sudirman dan yang lain, melakukan tirakat, penguatan batin, dan penyemangat juang tak kenal takut kecuali kepada Allah di kalangan pengikutnya, maka kenyataan ini membuat bangsa ini harus mengingat kembali betapa penting keseimbangan kekuatan jasmani dan rohani, serta olah batin yang menghaluskan budi pekerti, sehingga tampil penuh percaya diri, bermertabat dan di segani di mata manusia lain, di banyak negera internasional. Kesadaran yang hakiki ini penting dihidupkan terus menerus!
Kondisi apapun yang membuat terpuruk, tidak bisa berbuat dan mencapai harapan, maka sebagai hamba Allah, seseorang harus bisa bangkit, membebaskan diri dari belenggu, ikatan yang mengkungkungnya. Apakah itu dari kebodohan, maka menuntut ilmu wajib untuk memuliakan diri, sebab sudah menjadi sunatullah, bahwa kemajuan sebuah peradaban dipastikan umatnya mencintai ilmu pengetahuan.
Dari kemiskinan, maka lewat agama pemeluknya diminta berusaha keras, bekerja untuk menjadi mapan dan kaya, mampu secara ekonomi lalu mengeluarkan zakat, infak, sedekah untuk memerangi kemiskinan. Membangun hubungan manusia dalam kasih sayang, saling menghormati karena panggilan cinta makhluk Tuhan.
Kemiskinan adalah kondisi yang berkemungkinan bisa membuat lemah iman seseorang.
Pada kerusakan moral, angkara murka di mana mana, fitnah dan dusta bak sunami menerjang, memporak porandakan tata nilai, adat, sosial budaya terjadi dan berlangsung begitu dekat dengan diri kita, bahkan menghiasi tangan dan kantong baju kita. Lewat HP, dunia dalam genggaman seseorang. Buruk dan baik ada di dalamnya. Pengguna dipersilakan memilihnya. Apa lagi fakta kejahatan yang terjadi begitu sadis, nyata dalam kehidupan sehari hari.
Maka pribadi muslim harus bertanggungjawab, bangkit melawan, ambil peranan melakukan perubahan dengan amar makruf nahi mungkar.
Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim : 6).
Giat mengingatkan perintah dan larangan Allah kepada ahli keluarga, tidak merasa bosan memperhatikan keberadaan anak yang masih berada di luar rumah di malam hari dan memintanya pulang sebelum jam 9 malam misalnya.
Secara individual, setiap muslim harus bergerak senyawa dengan yang lain, menyampaikan pesan kenabian.
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Jika keadaan runyam ini dibiarkan, tidak ada yang peduli, ulamanya diam, para pejabat masa bodoh, penegak hukum tidak ambil pusing, anak muda membiarkan diri atau dibiarkan tak terbimbing hingga tunas tunas itu berjatuhan sebelum waktunya, maka kondisi ini perlahan menyeret kehidupan ke titik nadir, dan tidak berapa lama akan mengalami kehancuran, alias kematian. Ketidakjelian kita memandang kondisi statis, diam dan mundur sama saja membiarkan tidak berpengharapan. Orang yang loyo, jumud, terkebelakang adalah merugi dan kehilangan jati diri, dan kondisi ini terjadi karena kehilangan keyakinan bahwa kita bisa berubah dan lebih baik, “hari ini bisa lebih baik dari kemeren, besok lebih baik dari hari ini”.
Jika nabi Ibrahim meminta kepada Allah untuk memperlihatkan bagaimana Allah membangkitkan orang mati, bukan berarti dia tidak yakin kepada Allah yang maha berkuasa, tapi untuk membuat hatinya tambah tenang sebab dengan mata sendiri melihat kenyataan daging burung yang dicincang di sebar ke beberapa penjuru tempat, setelah dipanggil burung burung itu hidup kembali (QS. Al Baqarah : 260)
Sebelum terlanjur hancur, segera berbenah diri dan menoleh jejak semangat kebangkitan yang ditulis dengan tinta emas. Silaunya memberi semangat baru untuk berlari kencang dari tangisan penyesalan yang jika tidak sadar akan menjadi kuburan kita sendiri
Kesadaran itu penting, lebih mengingat tidak melakukan kesalahan, apalagi yang sama akan membuka ruang yang berbeda, sembari rasa lapang dan pengharapan merebak, memancing jiwa untuk merengkuhnya lebih dalam.
Berusaha bangkit adalah upaya keras mewujudkan kondisi yang menyenangkan dan mesti diyakini bersama bahwa akan ada waktunya Indonesia maju dalam kemakmuran, bangsanya religius berkerukunan, dan kiblat bangsa lain untuk menjadi negara ideal.
Tujuan ini seperti proses menjadi sesuatu Seorang anak diharap orangtua menjadi penerus keturunan; maka bertumbuhnya dalam pemeliharaan yang baik, diarahkan agar berbakti dan pada akhirnya upaya maksimal tidak akan mendustakan hasil. Orang tua membanggakan anaknya.
Menuju Indonesia Emas tahun 2045, pasti ada langkah yang dikerjakan bersama, komitmen program ketat yang mesti diberlangsungkan setahap demi setahap. Dan kita akan bahagia menjemput kenyataan itu.
Seperti membangun surga di akhirat, selagi di dunia maka langkah kebajikan disusun rapi dan dikerjakan. Ketika sudah mati, akan ada kesadaran baru, ternyata dunia adalah media membangun surga.