Oleh : AHMAD BARJIE B
Kita sering mendengar istilah amar ma’ruf dan nahi munkar. Kebaikan (al-ma’ruf) dan keburukan (al-munkar) dalam perspektif agama menjadikan Alquran, hadis dan akal sebagai tolok ukurnya. Ulama sufi Abdul Qadir al-Jaelani dalam versi bahasa Inggris mengatakan, the things that are compatible with the Alquran, hadith and reason are called ma’ruf, and the things that are incompatible with them are called munkar. Maksudnya, sesuatu yang sesuai dengan Alquran, hadis dan akal sehat disebut kebaikan, dan sesuatu yang bertentangan dengan ketiganya disebut keburukan. Munkar di sini identik dengan bathil.
Konon KH Agus Salim (1884-1954) pernah mengatakan, “Tuhan tidak pernah meminta kepada manusia untuk membantu-Nya memerangi kebathilan, Tuhan mengajarkan kepada kita berdoa memohon bantuan-Nya dalam memerangi kebathilan”.
Catatan sejarah menginformasikan KH Agus Salim bernama asli Masyhudul Haq, ia seorang ulama, pejuang dan diplomat kawakan di zamannya. Ia termasuk salah seorang murid ulama besar asal Minangkabau yang sekampung dengannya dan mengajar di Masjid al-Haram Makkah, yaitu Syekh Ahmad Chatib al-Minangkabaui. Teman-teman seangkatan Agus Salim diantaranya KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU), dan Syekh Muhammad Jamil Jambek cs yang mendirikan Sumatra Thawalib, Haji Abdul Karim Amrullah (Haka) ayah Buya Hamka dan banyak lagi.
Tampilan fisik dan pakaian Agus Salim sangat sederhana, namun otaknya sangat cemerlang dan menguasai banyak bahasa dunia. Salah satu kelebihan Agus Salim adalah kemampuannya melawan “rivalnya” secara jenaka dan masuk akal. Kabarnya Prof Dr Emil Salim adalah salah satu cucunya.
Suatu kali, Agus Salim diajak makan malam bersama sejumlah tokoh dan diplomat asing di sebuah restoran bergengsi di luar negeri. Tak peduli acara tersebut bersifat elit, Agus Salim memilih makan pakai tangan, sedangkan semua diplomat yang hadir makan pakai sendok dan garpu.
Seorang diplomat yang tidak sabar menegur Agus Salim dan meledeknya bahwa cara makan seperti itu terkesan primitif, kampungan dan sedikit “menjijikkan”. Agus Salim ternyata tidak mau kalah, dia katakan bahwa jari tangan yang ia gunakan untuk makan hanya digunakannya seorang diri, tidak bercampur orang lain. Sementara sendok dan garpu sudah digunakan oleh orang lain, ratusan bahkan mungkin ribuan kali. Akhirnya diplomat yang bermaksud mengejek Agus Salim ngeloyor pergi karena merasa kalah.
Kembali ke masalah di atas, jika dikaitkan dengan ajaran agama, setidaknya ada dua nas atau dalil yang dimodifikasi menjadi satu. Pertama, Allah swt memang meminta agar manusia (hamba-Nya) menolongNya. Hal ini termaktub dalam QS Muhammad ayat 7: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.
Ayal ini secara harfiyah tertulis menolong Allah, namun oleh para mufassir ditafsirkan dengan menolong agama Allah. Allah Maha Kuasa, Perkasa, Bijaksana, Berkehendak dan Mengetahui segala sesuatu. Allah memiliki segala kesempuranaan dan terhindar dari segala kekurangan. Karena itu Allah tidak memerlukan pertolongan manusia, justru manusialah yang membutuhkan pertolonganNya.
Tetapi Allah menurunkan agama kepada manusia, yang di dalamnya berisi ajaran kebaikan (ma’ruf) yang diperintah untuk melaksanakan dan mendakwahkannya, dan cegahan untuk melakukan keburukan (munkar) yang diperintahkan untuk dijauhi, yang biasa disebut dengan amar ma’ruf dan nahi munkar tadi.
Menjalankan keduanya merupakan kewajiban manusia, dan di situlah manusia beroleh amal saleh dan pahala dari Allah yang dijanjikan kebaikan dunia, surga di akhirat dan terhindar dari siksa neraka. Dalam melaksanakan tugas ini manusia harus optimal, tidak boleh hanya mengandalkan doa. Dalam sebuah hadis terkenal yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah sebagai utusan Allah memerintahkan kepada siapa saja agar ketika melihat kemunkaran atau kebathilan, maka harus dicegah/diatasi dengan tangan (kekuasaan), jika tidak sanggup baru dengan lisan (nasihat, teguran, bimbingan), dan jika tidak sanggup barulah dengan hati, yaitu berdoa, menjauhkan diri dari kebathilan tersebut dan membencinya. Sikap yang ketiga ini disebut oleh Rasulullah sebagai iman paling lemah dan tidak ada iman lagi sesudah itu.
Berpijak dari sini, maka berdoa saja kepada Allah agar dibantu dalam memerangi kebathilan, tidak cukup dan tidak sejalan dengan perintah agama yang sebenarnya, sebab agama menyuruh bersikap aktif, bukan pasif. Hanya saja usaha ini harus pula disertai doa, artinya ada usaha dan doa, ora et labora. Kalau usaha sudah dilakukan, barulah manusia bertawakkal, menyerahkan hasilnya kepada Allah, sebab Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya, dan Allah pula yang membolak-balik hati manusia. Allah pula yang menyertakan hasilnya.
Apabila suatu agama dihina atau dilecehkan, maka penganutnya wajib membela. Sikap itu bukan berarti membela Allah, karena Allah tidak perlu dibela, melainkan membela agama Allah. Namun caranya tidak boleh balas menghina dan melecehkan. Allah menuntun, caranya adalah memberi penjelasan dan pencerahan, sebab penghinaan dan pelecehan suatu agama, seringkali juga disebabkan kesalahpahaman atau kegagalan untuk memahami hakikat agama yang sebenarnya. Betapa banyak orang yang semula membenci dan antipasti terhadap agama Islam, setelah diberi penjelasan, atau ia sendiri berusaha mencari kebenaran Islam, akhirnya menjadi orang yang sangat menyintai Islam. Wallahu A’lam.