oleh: Noorhalis Majid
BERBAGAI opini menggunakan orang-orang kuat lagi berkuasa – termasuk mengatasnamakan kelompok masyarakat, digalang menyudutkan Mama Khas Banjar, satu UMKM yang mulai beranjak maju, dirintis pontang-panting sejak dari nol oleh pemiliknya yang sederhana.
Tiba-tiba namanya mencuat, bahkan menasional karena kasus hukum yang menimpanya. Dianggap melanggar hukum, akibat tidak mencantumkan label kadaluarsa. Namun, penggiringan opini yang begitu dahsyat, memunculkan pertanyaan awam, siapa sebenarnya musuh UMKM tersebut, sehingga sebegitu massif opini dibangun untuk menyudutkannya?
Tidak tanggung-tanggung, setingkat kepala dinas, turut membuat pernyataan yang menggiring opini publik. Belum lagi orang-orang yang mengaku mewakili kelompok, adat dan bahkan agama, digalang menyampaikan pendapatnya, bahwa Mama Khas Banjar bersalah, menjual produk yang tidak mencantumkan label kadaluarsa.
Kepala dinas adalah simbol pemerintah yang mestinya bertindak imparsial. Artinya, pendapat dan sikapnya tidak memihak, netral, tidak berat sebelah, tidak boleh bias dalam beropini dan bersikap. Bahkan Gubernur sendiri dalam salah satu tayangan videonya menyatakan, kami pemerintah bersikap netral. Mestinya karena berada pada posisi netral, tidak mudah terperangkap untuk turut menggiring opini yang dapat memojokkan UMKM.
Sejatinya justru harus berpihak pada UMKM. Kalau pemerintah turut menguliti UMKM, lantas siapa lagi yang melindunginya? Mestinya pemerintah justru mengambil alih kasus tersebut untuk membina dan mendampingi UMKM agar mampu menghadapi tantangan. Bukankah orang tua dari UMKM adalah pemerintah itu sendiri? Atau minimal, memiliki referensi berimbang dari para pihak yang sedang bersengketa. Sudahkah Kepala Dinas menanyakan, menggali dan mencermati sedemikian rupa dari sisi UMKM – Mama Khas Banjar? Kalau belum, mestinya, sebagai bagian dari netralitas, jangan berpendapat apapun.
Era media sosial yang dilumuri dengan post truth seperti sekarang ini, sulit bagi warga mendapatkan berita yang sebenarnya. Apalagi ketika media massa telah mati tergilas arus informasi digital yang liar. Fakta obyektif yang mestinya menjadi berita mencerdaskan, sangat sulit dihadirkan dalam membentuk opini. Sebaliknya gosip, kebohongan, informasi palsu, lebih mudah diterima dan dipercaya dari pada fakta. Pada saat tokoh publik setingkat kepala dinas turut serta menggiring opini, ketika itulah kebohongan dan kebenaran tersamarkan, sulit dibedakan.
Lagi-lagi pertanyaan awam mendesak untuk diungkap, siapa sebenarnya musuh UMKM – Mama Khas Banjar, hingga opini digiring sedemikian rupa untuk mengulitinya?
Ada apa berbagai konten diproduksi untuk mengadilinya, bahkan mendahului proses hukum dari peradilan itu sendiri?
Untuk apa bersusah payah menggalang suara banyak tokoh untuk turut memojokkan UMKM – Mama Khas Banjar? Sebesar apakah kesalahan yang sudah dilakukannya dan kenapa harus diperlakukan seperti itu?
Dimana keberpihakan pemerintah pada UMKM? Dimana perlindungan, pendampingan, pembinaan dan atau penguatan, agar mampu menghadapi tantangan?
Dengan segala kuasa yang dimiliki, sepertinya segala kekuatan dikerahkan untuk menghabisi UMKM – Mama Khas Banjar, namun lagi-lagi muncul pertanyaan, untuk apa? kenapa? Adakah yang membelanya? Beresikokah bila turut membelanya? Untuk membela dan menyuarakan UMKM, ada baiknya kita meminjam satu ungkapan klasik berbunyi Vivere Pericoloso.
VIVERE PERICOLOSO
Tahun 1964, kira-kira setahun sebelum peristiwa Gerakan 30 September. Bung Karno dalam pidato kenegaraan pada peringatan HUT RI ke 19, memperkenalkan ungkapan Vivere Pericoloso, satu frasa dalam bahasa Italia yang berarti “hidup menyerempet bahaya”.
Memang waktu itu, dengan segala situasi Indonesia yang penuh dinamika, ungkapan ini sangat relevan. Mungkin maksud Bung Karno, tidak mungkin bisa mengatasi berbagai masalah dan menjawab segala dinamika, bila hanya bersikap dan bertindak datar-datar saja. Memilih jalan aman, tidak mau menanggung bahaya. Apalagi memilih bersikap dan bertindak pragmatis, hanya mencari untung untuk diri sendiri. Tidak mau mengambil resiko, bahkan menghindari hal-hal yang dianggap menyerempet bahaya.
Ungkapan Bung Karno tersebut begitu kuat dan menggema menjadi gerakan, hingga pada tahun 1978, menginspirasi Cristopher Koch, seorang penulis Australia untuk mengarang sebuah novel yang sangat berpengaruh, bertema The Year of Living Dangerously. Novel tersebut kemudian di tahun 1982 dijadikan film dengan judul yang sama, dibintangi artis-artis terkenal seperti Mel Gibson, Sigourney Weaver dan Linda Hut.
Sekarang pun, nampaknya ungkapan Vivere Pericoloso terasa kembali aktual dan layak untuk digemakan. Terutama ketika banyak yang bersikap pragmatis dan oportunis, terhadap berbagai kenyataan yang harus disuarakan secara lantang. Apalagi saat bersinggungan dengan kekuasaan, modal dan mungkin pula premanisme. Diperlukan keberanian bersuara, karena pasti berhimpitan bahaya.
Tapi siapa yang mau dan berani menyuarakan hal-hal yang meresahkan seperti judi online dan game online, yang menjadi satu skenario dengan pijaman online, yang telah menjebak warga terperangkap dalam kemiskinan?.
Siapa pula yang berani meneriakkan kejahatan lingkungan, akibat pertambangan membabi buta atas nama investasi, hingga separah apapun kerusakan lingkungan terasa biasa dan wajar?
Siapa yang terus menyuarakan berbagai kebijakan korup dan tindakan nepotisme, yang hanya memperkaya elit penguasa? Bahkan ketika korupsi, nepotisme, politik uang, sudah dianggap wajar dan biasa, siapa yang mau bersusah payah menyuarakannya?
Siapa yang mau bersuara soal kriminalisasi UMKM, seperti halnya kasus Mama Khas Banjar, ketika berhadapan dengan hukum yang merasa punya kuasa dan daya untuk menggalang opini dan menghakiminya?
Siapapun yang bernani menyuarakan, berarti memilih “hidup menyerempet bahaya” – Vivere Pericoloso, karena akan ada ketidaksukaan, pengucilan dan sinisme.
Bahkan bukan tidak mungkin akan dilakukan perlawanan massif dari penguasa dan aparat, dalam bentuk mobilisasi suara, produksi konten tandingan, dengan melibatkan orang-orang yang dianggap dapat membentuk opini di tengah warga. Termasuk menggunakan mulut pejabat, agamawan dan akademisi, sebagaimana yang terjadi ketika ada yang mau menyuarakan nasib UMKM – Mama Khas Banjar. (nm)