BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Proyek National Urban Flood Resilience Project (NUFReP) kembali dinilai miring oleh aktivis lingkungan asal Kota Banjarmasin, Anang Rosadi Adenansi.
Bahkan kali ini, proyek tersebut dianggap mengubah sejarah peradaban Kota Banjarmasin.
Menurut Anang, sebagai kota dengan julukan Kota Seribu Sungai, tentu sungai menjadi fundamental, denyut nadi kehidupan masyarakat, terlebih sungai di Banjarmasin secara historis adalah sebagai jalur transportasi dan kearifan lokal.
Anang mengaku benar-benar kecewa melihat proyek tersebut jika terus dilanjutkan.
Menurutnya, menutup sungai dengan sistem pintu air sama saja dengan menutup jalur transportasi yang ada di Sungai Veteran tersebut.
Lebih jauh, ia berharap semestinya pemerintah bukan membuat lebar sungai menjadi sempit, justru harus membuat semakin luas dan mencegah pendangkalan.
“Menutup sungai dengan pintu air ini sama saja dengan menutup jalur transportasi, kemudian menutup transportasi sama saja dengan mengubah sejarah, ini yang membuat tensi saya semakin tinggi,” kata Anang Rosadi kepada awak media ini.
“Beli pompa bermiliar-miliar hanya untuk menutup sarana transportasi, semestinya dengan kondisi geografis yang memang dikelilingi oleh sungai, cukup dilakukan dengan normalisasi sungai,” tambahnya.
Sementara normalisasi sungai yang dimaksud Anang adalah dengan memperlebar luasan sungai serta mencegah agar jangan terjadi pendangkalan.
Lantas ia pun berulang kali memperingatkan kepada pihak yang berwenang, agar merubah konsep yang ada karena dinilai merusak sungai.
“Apa namanya jika bukan merusak sungai, yang tadinya lebar 20 meter dijadikan hanya tersisa 8 meter dan diuruk tanah diatasnya, jadi ini bukan solusi untuk mencegah banjir tapi merusak lingkungan,” tegas Anang.
“Harusnya sungai yang diutamakan, baru jalan lingkungan yang rencananya nanti juga ada taman disana,” sambungnya.
Sementara itu, Praktisi Hukum, Professor Hadin Muhjad mengungkapkan persoalan proyek tersebut dapat dibawa ke ranah hukum, bukan tanpa alasan, Hadin begitu sapaan akrabnya menyebut sungai merupakan aset daerah yang terdaftar di Dinas Pekerjaan Umum (PU) setempat.
Lebih lanjut, ujarnya, dalam daftar aset tersebut, sudah termuat secara rinci ukuran lebar, panjang dan kedalaman sungai.
Ditegaskannya proyek revitalisasi biasanya berkaitan dengan kedalaman akibat pendangkalan bukan merubah fisik sungai.
“Tentu saja tidak mengubah ukuran lebar dan panjang sungai sebagaimana yang telah dicantumkan dalam daftar aset daerah, jadi tidak bisa mengubah fisik sungai, revitalisasi hanya terkait kedalaman akibat pendangkalan,” ungkapnya.
Justru kemudian, Hadin menyoroti yang terjadi di proyek tersebut adalah mengubah fisik sungai, dengan demikian, ia menyimpulkan hal itu dapat dipidanakan dengan dasar merusak aset daerah yaitu sungai.
Hadin pun turut menegaskan proyek merubah bentuk sungai tidak bisa serta-merta hanya melalui kebijakan kepala daerah, tapi harus melalui proses seperti kajian yang benar-benar dilakukan oleh yang memiliki kompetensi.
“Tidak bisa hanya melalui kebijakan. Harus ada kajian, terkait fungsinya apakah berubah atau tidak, mengecilkan ukuran sungai dan sebagainya perlu kajian secara komprehensif,” tutup Hadin. (sfr/KPO-4)