Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

PENANGANAN ANAK JALANAN

×

PENANGANAN ANAK JALANAN

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : AHMAD BARJIE B

Fenomena anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng), PSK dll, berbanding lurus dengan kemiskinan. Semua itu dampak turunan dari keterpurukan dan ketidakberdayaan menghadapi kehidupan yang berat dan keras. Selama angka kemiskinan masih tinggi, selama itu pula beragam fenomena sosial selalu muncul dengan segala akibatnya. Mengatasinya harus dengan menyasar masalah induk dan pokok. Razia hanya mengatasi sesaat.

Baca Koran

Jumlah anjal di Kalsel 20 tahun lalu (2005) mencapai 4.571 orang, terbanyak di Banjarmasin (3.000 orang), Kabupaten Banjar (1.200), Banjarbaru (250), selebihnya di kabupaten lain. Berapa jumlahnya sekarang, penulis belum sempat mencari datanya. Ternyata anjal yang beroperasi di Banjarmasin adalah tumpukan anjal dari luar daerah, baik Kalsel bahkan Kalteng. Sebagaimana pengemis, mereka ada yang beroperasi sendiri, tapi disinyalir banyak juga yang dikerahkan dan dieksploitasi oleh sindikat ilegal dengan sistem bagi hasil.

Mengatasi anjal lebih tepat dimulai dari hulu. Sebelum mengalir ke Banjarmasin, pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa harus melakukan langkah antisipatif. Perlu dihidupkan forum RT-RW untuk menanggulangi warga miskin setempat. Gerakan lokal orang tua asuh sangat relevan dihidupkan. Anak dari keluarga miskin perdesaan yang merasa diperhatikan dan dibantu, kemungkinan tidak akan terdesak menjadi anjal di perkotaan. Di antara keluarga kemungkinan ada yang mampu dan kaya. Sudah sepantasnya bertanggung jawab menolong keluarganya yang miskin. Ambisi mengejar kekayaan tidak jarang membuat orang tidak peduli pada keluarganya, dekat atau jauh. Ini tentu sangat besar dosanya. Percuma kaya kalau tidak tidak mau membantu. Jika ada sindikat yang mengerahkan anjal dan pengemis, aparat kepolisian dan Satpol PP tidak perlu ragu bertindak represif. Razia perlu dilakukan setiap hari, kecuali terhadap penjual koran yang jasanya memang dibutuhkan. Tetapi sebelum merazia anjal, lebih dahulu menggaruk sindikatnya. Mereka ini je
las berbuat kriminal.

Baca Juga :  Saatnya Bijak dalam Mengulurkan Tangan

Banyaknya anjal di Kota Banjarmasin, boleh jadi karena kota ini berpenduduk padat, dengan jumlah kendaraan dan jalanan yang banyak. Waktu antri di lampu merah relatif lama, anjal leluasa menadahkan tangan, baik meminta langsung maupun “berusaha” dengan mengamen, mengecat tubuh, memainkan bunyi-bunyian atau mengelap bodi mobil. Empati sebagian masyarakat juga mendorong anjal merasa enjoy dengan profesinya. Padahal ada plang tulisan larangan memberi mereka. Meski kadang trenyuh, pengguna jalan sebaiknya memberi dalam bentuk dan cara lain. Prinsip anjal dan pengemis “lebih baik meminta-minta daripada mencuri” tidak dapat dibenarkan dan dijadikan pembenaran.

Meski anjal dan sejenisnya momok bagi masyarakat dan kota yang ingin menata diri, tetapi masalah ini tetap harus disikapi bijaksana. Perlu perhatian, kebijakan dan anggaran yang memadai untuk memberdayakan mereka.

Selama ini perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap masalah sosial minim sekali. Ini terlihat dari anggaran untuk program sosial yang sangat terbatas. Misalnya APBD Banjarmasin 2007 hanya menganggarkan Rp 2,3 miliar untuk Dinas Sosial Pemuda dan Olahraga. Sementara Dinas Kimprasko Rp140 miliar dan dinas-dinas lain cukup besar. Perbandingan yang sangat mencolok ini membuktikan, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan sarana fisik ketimbang membangun manusia, khususnya masyarakat yang mengalami masalah sosial.

Anggaran minim berakibat sulitnya usaha membina dan memberdayakan anjal dan pengemis secara berkelanjutan. Akibatnya rumah singgah selama ini belum efektif. Mungkin diperlukan yayasan, lembaga dan relawan khusus yang membina anjal lewat rumah singgah atau bina sebagai tempat menyenangkan untuk domisili atau transit. Mereka bisa istirahat, bermain, makan, sekolah dan diberi keterampilan. Anjal di Jakarta dan kota-kota lain banyak difasilitasi pendidikannya oleh relawan, jadi masa depannya masih ada. Sedangkan anjal di tempat kita tidak sekolah lagi, sehingga masa depannya sangat kabur.

Baca Juga :  Butuh Transformasi Total, Bukan Hanya Ekonomi Digital

Titik berat pembangunan sarana fisik khususnya gedung perkantoran perlu dikaji ulang. Sebab di saat sama, membangun manusia yang lebih bermartabat tidak kalah penting. Kini ada kecenderungan pemerintah pusat dan daerah lebih mengejar prestasi dan prestise semu dengan mengorbankan rakyatnya sendiri.

Seharusnya upaya menata kota disertai solusi nyata, tidak main geser dan gusur begitu saja. Amuk massa mahasiswa yang anarkis dan berdarah-darah karena membela PKL seperti terjadi di Kendari dan Makasar kita harapkan tidak terjadi di Banjarmasin. Percuma kita punya kota metropolis, gedung, kantor dan mal megah, berseliweran mobil mewah, pejabat dan wakil rakyat yang hidupnya makin enak, sementara banyak warga yang hidup merintih dan tertatih-tatih. Apalagi kalau sampai banyak yang kurang gizi, kelaparan. Tidak sanggup berobat, hingga frustrasi, stres, gila dan bunuh diri, sungguh semua berdosa membiarkannya.

Agar masalah sosial berkurang, perlu kepedulian multipihak. Terutama penyandang masalah sosial sendiri, harus ada kemauan untuk hidup mandiri. Jangan bangga beroleh sejumlah uang tiap hari, karena bagaimana pun tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan bagi masyarakat, akan lebih baik memberi mereka kail ketimbang ikan, misalnya dengan menyekolahkan, memberi keterampilan dan pekerjaan. Sungguh tidak ternilai kebaikan manusia yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia lainnya.

Iklan
Iklan