Oleh : SALASIAH, S.Pd
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan inisiatif pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi siswa di Indonesia. Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel), H. Sahbirin Noor, mengajukan usulan penting langsung kepada perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Badan Gizi Nasional (BGN).
Beliau meminta agar pengelolaan MBG dialihkan langsung ke pihak sekolah, tanpa melalui pihak ketiga. Langkah ini diyakini akan meningkatkan efisiensi anggaran dan memastikan penyaluran bantuan tepat sasaran.
Namun, benarkah pengalihan MBG ke sekolah akan memutus pihak ketiga atau jalannya proyek. Penyerahan pelaksanaan program ini kepada pihak sekolah dengan alasan efisiensi, menimbulkan banyak pertanyaan terkait efektivitas, akuntabilitas dan dampaknya terhadap nilai pendidikan dan tenaga kependidikan.
Ide pelaksaan BMG yang digaungkan oleh Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi, dengan menyerahkan uang BMG persiswa diserahkan ke orang tua masing-masing siswa. Ide itu secara teknis bisa diterapkan dalam rangka meningkatkan efisiensi anggaran dan memastikan penyaluran bantuan tepat sasaran. Jadi proyek BMG adalah proyek orang tua untuk anaknya. Kontrol kualitas keterpenuhan gizi makanan dilakukan oleh sekolah sebagai sebuah pembelajaran di sekolah.
Dengan cara demikian, pembelajaran dalam keluarga juga bisa berlangsung dalam hal managemen keuangan dan pemenuhan gizi keluarga. Orang tua juga akan lebih memperhatikan kesiapan anak-anaknya untuk bersekolah, baik gizi, kedisplinan, dan kemandirian anak-anaknya.
Hanya saja, pendidikan saat ini mengalami krisis multidimensi. Seperti degradasi moral, rendahnya literasi agama, sekularisasi kurikulum, dan lemahnya arah ideologis. Memberi makan gratis hanya menyentuh lapisan terluar, bukan memperbaiki substansi pendidikan (ruhiyah dan pemikiran).
Nilai pendidikan bukan sekadar mengenyangkan perut. Polemik program MBG bisa menjadi semacam pengalihan isu di tengah krisis kurikulum, biaya pendidikan mahal, serta sekularisasi sistem belajar.
Pemerintah menyoroti isu konsumsi siswa, bukan esensi pendidikan. `Selain itu, di balik program ini, pendidikan makin diarahkan pada nilai-nilai materialistis. Siswa dianggap cukup baik jika sehat jasmani dan bisa menyerap pelajaran teknis.
Dalam Islam, makanan bergizi adalah bagian dari kebutuhan dasar (hajat asasi) yang wajib dijamin negara. Jika ada rakyat (termasuk pelajar) yang kekurangan gizi, negara wajib menjamin pemenuhannya, bukan sekadar sebagai program bantuan, tapi sebagai kewajiban syar’i.
Dalam negara Islam, pemberian makan bukan untuk pencitraan politik, kampanye kebijakan atau mengalihkan isu kerusakan sistem pendidikan. Program ini tidak boleh menggantikan atau mengaburkan urgensi kurikulum Islam, pembinaan akidah, dan pengawasan perilaku.
Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian Islam, bukan hanya berfokus pada kesehatan fisik. Program MBG dalam negara Islam harus selektif, efektif, dan sesuai kebutuhan, tidak dijadikan proyek anggaran besar-besaran tanpa maslahat yang jelas.
Dengan kata lain, program seperti MBG harus diletakkan dalam sistem Islam yang menyeluruh, bukan dijadikan solusi tunggal atas sistem pendidikan yang rusak akibat sekularisme.