Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Raja Banjar Jadi Banyak

×

Raja Banjar Jadi Banyak

Sebarkan artikel ini
IMG 20250512 WA0027 e1747029072308
PENOBATAN - Penobatan Pangeran Cevi di Kraton Majapahit Jakarta. (Kalimantanpoat.com/repro instagram fadlizon).

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Penobatan Raja Kebudayaan Banjar Kalimantan Pangeran Cevi Yusuf Isnander di Kraton Majapahit, Jakarta beberapa waktu lalu menuai sejumlah komentar dari berbagai pihak termasuk salah satunya dari akademisi.

Sebut saja Antropolog asal Universitad Lambung Mangkurat, Nasrullah yang mengaku kebingungan atas penobatan Raja Kebudayaan Banjar tersebut karena, telah ada Kesultanan Banjar di bawah Sultan Haji Khairul Saleh Al Mu’tashim Billah yang dinobatkan sejak 2010 hingga saat ini aktif mengurus soal tradisi besar (great tradition) kerajaan.

Baca Koran

“Misalnya mengurus berbagai benda pusaka, ritual upacara penobatan, penganugerahan gelar, kekerabatan, juriat kerajaan, atau mengangkat aspek historis kesultanan Banjar dan sebagainya,” kata Nasrullah.

Situasi ini pun ditanggapinya secara serius. Menurutnya, ada beberapa catatan yang membuatnya semakin bingung.
Pertama, kerajaan Banjar sesungguhnya mesti terikat tanah Banjar.

Dijelaskannya, jika dilakukan di Jakarta berarti terjadi deteritorialisasi kerajaan Banjar, sehingga aneh jika disebut “Kerajaan Banjar Jakarta”.

Lebih jauh, imaginasi publik yang bukan Banjar dengan penobatan Raja Banjar Kalimantan di Jakarta sangat mungkin akan membayangkan situasi di Kalsel saat ini tidak didominasi orang Banjar dan kebudayaan Banjar.

“Orang Banjar seolah tercerabut dari teritorialnya hingga mereka hidup terpencar di perantauan,” jelas Nasrullah.

Selain itu, Nasrullah mrnyebut “raja kebudayaan Banjar” menjadi istilah yang rancu dan layak diperdebatkan.

Menurutnya, mustahil mengakomodir kebudayaan Banjar itu sendiri sementara ‘rajanya’ berada di luar Kalimantan.

“Jika berkaca di masa lalu, Pangeran Antasari yang mengorbankan jiwa raganya melawan Belanda mendirikan benteng di Manawing di Hulu Barito. Kalau mau, dengan segala legitimasinya dapat mengumumkan pindahnya kesultanan Banjar dari Martapura ke Hulu Barito pada masa itu,” terang Nasrullah.

“Kemudian Pangeran Antasari mendirikan bangunan kerajaan dan struktur kerajaan secara permanen sebelum menyerang Belanda di Banjarmasin,” sambungnya.

Baca Juga :  Terus Gaungkan Program Ketahanan Pangan

Selain itu, Nasrullah menilai adanya kehadiran Menteri Kebudayaan dan pejabat Pemprov Kalsel dapat menjadi persoalan karena seolah melegitimasi penobatan.

“Hal ini akan menjadi problem akan datang, misalnya bagaimana jika ada orang lain ingin menobatkan diri sebagai Raja Banjar di tengah komunitas Banjar yang dominan di berbagai daerah perantauan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nasrullah merasa janggal jika pola ini muncul dengan klaim ada Raja Banjar Yogya, Raja Banjar Tambilahan, Raja Banjar Malaysia, bahkan terdekat Raja Banjar Puruk Cahu.

Lalu ia menyayangkan, apakah masyarakat setempat mau menerima raja-raja Banjar seperti itu sementara mereka memiliki latar belakang kerajaan sendiri.

“Saya melihat kecenderungan ada upaya pembelahan karena raja Banjar tidak hanya berpeluang jadi dua tapi banyak karena bisa ada di mana-mana. Namun, masyarakat tentu dapat membedakan raja Banjar yang hidup bersama masyarakat dan versi elitis,” tutupnya. (sfr/KPO-4)

Iklan
Iklan