Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Sekedar memiliki rumah layak huni seperti memiliki barang mewah bagi rakyat Indonesia. Kebutuhan papan sangat sulit didapat dan perlu perjuangan. Realita ini ditunjukkan dengan tingginya backlog, yaitu banyaknya individu masyarakat yang tidak punya rumah. Bahkan rumah-rumah yang ada di Indonesia, sebanyak 26,9 juta unit terkategori tidak layak huni. (beritasatu.com, 25/04/2025). Rakyat tidak bisa memperbagus rumahnya dan menaikkan kualitasnya sehingga menjadi layak sebagai hunian.
Rakyat harus menguras income-nya untuk memiliki rumah karena harga rumah yang mahal dibanding dengan pendapatan, misalnya gaji UMR. Kalaupun bisa membeli rumah, mereka harus menabung dan menekan kebutuhan yang lain demi memiliki rumah. Solusi cicilan bahkan dengan subsidi tetap berat. Apalagi jika ingin memiliki rumah ideal, di lingkungan yang tertata rapi, bersih dan kondusif untuk keluarga, maka bagi banyak orang, hal tersebut seperti impian.
Persoalan rumah ini sangat kontradiktif dengan fakta luas daratan, ketersediaan lahan dan kekayaan sumber daya alam untuk material bangunan rumah. Mengapa persoalan rumah tidak layak huni terus terjadi?
Kapitalisasi Kebutuhan Rumah
Pemenuhan kebutuhan papan dan rumah layak huni terkait erat dengan kemampuan akses masyarakat terhadap kebutuhan tersebut, apakah secara finansial dan ekonomi mereka bisa mengakses tanah dan bahan bangunan. Selain itu peran pemerintah juga terlibat karena mestinya pemerintah mengatur tata ruang dan menyediakan kebutuhan publik berupa sarana prasarana pemukiman. Dua faktor ini akan bersinergi untuk membuat masyarakat memiliki hunian yang layak.
Namun dalam sistem kapitalisme, kemampuan dan akses masyarakat terhadap kebutuhan rumah dan hunian yang layak terpangkas. Lahan-lahan dikuasai para kapitalis baik karena kekuatan modal mereka atau melalui kongkalikong dengan penguasa yang memberikan konsesi lahan. Penguasa mengobral lahan kepada para korporasi sedangkan rakyat tidak berdaya dalam kepemilikan lahan. Penguasaan lahan baik oleh korporasi atau individu dengan menahan menjualnya, membuat tanah seolah langka dan mahal, meskipun tanah kosong tersedia berlimpah.
Selain itu, pembangunan termasuk pemukiman dan sentra-sentra ekonomi sepenuhnya dikendalikan oleh para pemodal. Mereka para kapitalis menentukan tata ruang dengan tata uang mereka. Mereka membangun pemukiman-pemukiman eksklusif. Harga rumah juga semakin melambung, karena faktor bisnis properti dalam skema ribawi. Riba membuat harga barang lebih mahal.
Kaum marjinal, yaitu mereka yang tersisih dalam ekonomi, terhimpit dalam pemukiman padat dan kumuh. Keadaan semakin parah karena fungsi negara hanya sebagai regulator, penetap regulasi dalam penyediaan rumah. Pemerintah hanya menetapkan program, memberikan subsidi, menetapkan aturan-aturan bagi korporasi yang berbisnis di sektor properti, baik korporasi jasa keuangan, yaitu bank-bank dan korporasi pengembang (developer).
Selain itu, ekonomi masyarakat yang lemah membuat memiliki rumah atau memperbaiki rumah bukan prioritas. Masih ada kebutuhan pangan, kesehatan dan pendidikan yang harus didahulukan dibanding membeli bahan bangunan. Mereka tidak mampu menjadikan rumahnya layak huni.
Kelemahan rakyat dalam meraih kebutuhan mereka terkondisikan dalam sistem kapitalisme dengan prinsip kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyah). Sistem ini menciptakan kesenjangan ekonomi; yang orang yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin. Para kapitalis pemilik modal mengendalikan hajat kebutuhan masyarakat termasuk untuk membangun dan memiliki rumah.
Hanya sistem Islam di bawah naungan Khilafah yang akan menjamin setiap warga per orangan untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya yang fisik; pangan, sandang dan papan maupun kebutuhan dasar non fisik; kesehatan, pendidikan dan keamanan secara makruf.
Panduan syariat sangat jelas. Dalam syariat rumah bukan sekedar untuk perlindungan fisik, namun juga perlindungan untuk kehidupan khusus atau private. Islam memerintahkan para bapak dan suami menyediakan rumah bagi isteri dan anak-anak mereka. Sistem ekonomi Islam dengan 3 pilar ekonomi; kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan di tengah masyarakat akan membuka lapangan kerja dan usaha yang luas di tengah masyarakat. Para suami akan mampu menyediakan rumah bagi keluarganya. Regulasi syariat Islam terkait lahan akan lebih memudahkan seseorang memiliki rumah, salah satunya aturan terkait tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya. Negara berhak memberikannya kepada orang lain, termasuk untuk pendirian rumah. Bahan-bahan pembuatan rumah juga mudah didapatkan, sebab sebagian besar merupakan kepemilikan umum.
Negara berperan sebagai ra’in, pengurus rakyat dan aktor utama dalam pengelolaan ekonomi, yaitu dalam bidang-bidang ekonomi strategis. Selain itu negara dalam sistem Islam harus memberikan jaminan per orangan terhadap pemenuhan kebutuhan asasi fisik dan non fisik rakyat. Jadi negara harus mengurus dan memastikan realisasi pemenuhan di lapangan, bukan sekadar menetapkan aturan.
Tata kelola ruang hidup sesuai standar hukum syara’ terhadap alam lingkungan akan menyediakan perumahan yang jauh dari pencemaran limbah, sampah, dan zat-zat lainnya yang membahayakan jiwa. Khilafah wajib mengelola kepemilikan umum dan akan mengadakan kebutuhan publik seperti sarana-sarana pemukiman.
Sistem Islam yang diterapkan Khilafah di masa lalu menunjukkan peradaban yang maju melampaui zamannya. Kota-kota seperti Baghdad dan Cordoba tertata rapi dan sudah dilengkapi saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah. Jalan-jalan yang luas dan bersih sudah menggunakan aspal dan penerangan pada malam hari.
Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Warisan peradaban Islam berupa kota-kota modern dan maju digambarkan dalam khasanah literatur seperti buku The 1001 inventions: The Legacy of Islamic Civilization.
Karenanya penerapan syariat kaffah di bawah naungan Khilafah begitu aplikatif, praktis dan nyata serta terbukti dalam rentang sejarah yang panjang. Wallahu alam bis shawab.