Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Pada 2 April 2025 lalu, di hadapan Kongres, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan resiprokal tarif. Tarif ini akan di berlakukan kepada semua negara yang menjadi mitra dagangnya. Kebijakan ini dikatakannya sebagai langkah untuk membuat Amerika kaya seperti semula (to make America wealthy again). Tarif resiprokal ini adalah tarif tambahan yang dikenakan selain tarif dasar dan sektoral terhadap semua barang yang masuk ke Amerika. Tarif ini akan dikenakan pada negara yang mengalami surplus perdagangan dengan AS. Untuk Indonesia, AS menetapkan resiprokal sebesar 32 %.
Kebijakan ini adalah adalah bagian dari gebrakan untuk perang dagang AS-Cina. Meskipun akhirnya ada penundaan pemberlakuan dari 9 April hingga 90 hari ke depan dan memberikan kesempatan kepada negara-negara untuk melakukan negosiasi dan kesepakatan tarif timbal balik, namun Cina dikecualikan dari penundaan.
Kebijakan tarif resiprokal ini diambil dengan alasan untuk memperkuat ekonomi AS dan melindungi pekerja domestik, membuka lapangan kerja serta menghilangkan hambatan perdagangan.
Indonesia sendiri sangat mengandalkan AS sebagai tujuan ekspor. Selama 2024 ekspor Indonesia ke AS senilai 26, 31 milyar dollar AS dan mencapai surplus 15,34 miliar dollar AS (CNBC Indonesia. com, 04/04/2025). Minyak Nabati (minyak kelapa sawit) dan turunannya adalah produk yang sangat melonjak ekspornya ke AS dalam 5 tahun terakhir. Dari Januari sampai Maret 2025 saja nilai ekspornya sebesar 507, 19 juta dollar AS. Mesin dan peralatan listrik, perangkat telepon, karet alam dan ban karet, produk laut (ikan, kerang, udang) hingga produk garmen/tekstil masuk dalam 10 produk ekspor terbesar Indonesia kepada AS (Tempo.co, 22/04/2025 ).
Tentu tarif resiprokal ini menjadi tekanan dagang bagi Indonesia dan bisa berdampak besar pada kondisi ekonomi. Beban tarif akan membuat harga barang yang masuk ke AS lebih mahal. Naiknya harga akan menurunkan daya saing. Imbasnya permintaan dan produksi menurun. Akhinya potensi PHK bisa diprediksi. Pemerintah mengambil langkah-langkah untuk tawar menawar dan negosiasi.
Namun beberapa pengamat menilai langkah-langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah sangat riskan dan pragmatis. Pemerintah berupaya mempertahankan nilai ekspor ke AS dengan kompensasi menaikkan impor dari AS. Ini terlihat dari langkah pemerintah mengurangi tarif barang impor dari AS dengan mengubah aturan pajak PPH untuk produk-produk tertentu (ddtcnews.co.id, 09/04/2025).
Pemerintah juga berencana menambah impor dari AS termasuk produk migas, menghapus kuota impor dan melonggarkan kebijakan TKDN atau Tingkat Komponen Dalam Negeri. Terkait pelonggaran TKDN, Ekonom Universitas Andalas, Andi Syafruddin Karimi menilai kebijakan-kebijakan ini akan memperlebar banjir impor, mematikan industri lokal dan menambah ketergantungan struktural pada produk asing. Padahal TKDN adalah bagian dari tekad bangsa untuk membangun kemampuan produksi dalam negeri, menciptakan lapangan kerja dan memperkuat rantai pasok nasional (Investor.id, 09/04/2025).
Kebijakan tarif Trump menunjukkan realitas tatanan kehidupan dan sistem ekonomi kapitalisme yang tidak adil dan rusak. Pertama, kebijakan ini menunjukkan bahwa kapitalisme bisa sangat hipokrit dan pragmatis. Semula mengagungkan perdagangan bebas tanpa hambatan tarif, tapi akhirnya negara AS justru melakukan proteksi.
Tatanan ini juga menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebar baik di dalam sebuah negara dan antar negara. Dalam sebuah negara, para kapitalis, baik domestik maupun asing leluasa mengeruk dan menguasai SDA strategis dan sumber ekonomi lainnya dengan kekuatan dan pergerakan modal mereka. Ini dimungkinkan dengan prinsip kebebasan kepemilikan dan orientasi produksi dan keuntungan. Surplus ataupun defisit perdagangan negara miskin atau berkembang, tidak mengangkat kondisi kemiskinan dan kesejahteraan. Di tengah surplus perdagangan luar negeri ke AS, kondisi di dalam negeri justru mengalami daya beli yang semakin tergerus. Pertumbuhan ekonomi hanya memberi nilai tambah sedikit karena hanya bersifat tricke down effect atau efek tetesan ekonomi. Misalnya tingginya nilai ekspor minyak kelapa sawit dan batubara, siapa yang untung?
Di level antar negara terjadi kesenjangan ekonomi, yaitu dalam produksi dan konsumsi. Bagaimana AS yang berpenduduk 300 juta lebih, namun tingkat konsumsi berkali lipat dan menjadi tumpuan pendapatan dan sasaran ekspor dan perdagangan negara-negara lain.
Hubungan ekonomi dan perdagangan luar negeri adalah kendali dan dominasi negara kapitalis, jauh dari kesetaraan, keadilan dan saling menguntungkan. Jika pemerintah merealisasikan penghapusan kuota impor dan pelonggaran TKDN, ini menunjukkan ketundukan pada negara besar dan tidak ada visi sahih untuk keunggulan dan kemajuan negara. Padahal secara alami negara seharusnya membangun dan memajukan industri domestik agar bisa bersaing dengan produk asing. Bahkan negara harus mendorong agar industri domestik bisa unggul dibandingkan dengan produk negara-negara lain, serta menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya.
Perdagangan global dengan kesenjangan dan apa yang dialami negara Kapitalis sendiri seperti AS menunjukkan bahwa sistem sekuler kapitalisme tidak layak mengatur manusia dan menjadi tatanan dunia.
Sistem Islam dan sistem ekonomi Islam yang menjadi bagiannya telah mengatur ekonomi dan perdagangan luar negeri dengan pengaturan yang khas. Sistem ekonomi Islam mencakup 3 kaidah atau pilar; yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Negara mewakili rakyat akan mengelola kepemilikan umum ; yaitu sarana kebutuhan jamaah berupa air, hutan, padang rumput dan energi. Termasuk kepemilikan umum adalah barang tambang berdeposit berlimpah dan bentang alam seperti laut, sungai, danau, jalan umum dan sejenisnya. Dalam pengelolaannya, negara membangun industri sumber daya alam energi (SDAE) dan industri berat. Negara juga wajib memiliki industri militer, atau alutista. Industri juga akan tumbuh di masyarakat untuk memproduksi barang-barang kepemilikan pribadi. Namun prinsip penting adalah bahwa seluruh industri dibangun dengan basis perang yaitu kesiapan setiap saat untuk dialihkan produksinya dalam rangka memasok kebutuhan perang. Kemampuan industri ini adalah standar yang
sangat tinggi yang ditetapkan syariat kepada negara Khilafah.
Negara tidak terjebak pada ketergantungan ekspor atau harus agresif berproduksi serta mencari pasar-pasar baru. Khilafah tidak perlu menimbang opsi-opsi seperti apakah memperkuat konsumsi dalam negeri, proteksi atau anti impor. Ini semua dalam kerangka sistem sekuler kapitalisme yang rusak.
Sistem Islam memiliki tujuan ekonomi atau politik ekonomi yang jelas, yaitu untuk menjamin pemenuhan per orangan akan kebutuhan dasar fisik (pangan, sandang dan papan) maupun kebutuhan non fisik; kesehatan, pendidikan dan keamanan. Selain itu sistem ekonomi Islam juga akan memberi peluang besar bagi individu untuk memperoleh kebutuhan pelengkapnya.
Dunia usaha dan kerja akan tumbuh dengan visi politik ekonomi ini. Terlebih, sistem pemerintahan Khilafah yang menyatukan penduduk dari lintas bangsa dan wilayah akan menjadi pasar besar dengan daya beli yang kuat. Khilafah akan menjadi negara adidaya dan kekuatan ekonomi yang diperhitungkan.
Terkait perdagangan luar negeri, hukum syariat mengaturnya dengan mengaitkan pada status negara yang menjadi mitra dagang; apakah negara kafir yang memerangi secara nyata/langsung, negara yang secara tidak langsung memerangi dan memusuhi maupun negara yang terikat perjanjian dengan negara Khilafah. Warga negara Khilafah tidak boleh melakukan hubungan dagang dengan negara yang secara faktual memerangi negeri muslim seperti Israel dan AS.
Selain itu perdagangan luar negeri tidak terpisah dari visi politik luar negeri Khilafah, yaitu mengemban dakwah Islam dan memelihara kepentingan kaum muslimin. Dengan negara kafir yang tidak memerangi, negara Khilafah bisa menjalin perjanjian serta kerjasama ekonomi dan menetapkan tarif seperti ‘usyur (10%) sebagai perlakuan sepadan, atau justru tarif lebih rendah.
Hanya dengan syariah kaffah di bawah naungan Khilafah, umat ini akan mampu menyelesaikan setiap masalah dan meraih kebangkitan dan kemuliaannya. Wallahu alam bis shawab