Oleh: Jummy
Aktivis Mahasiswa
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DPPPAKB) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menggelar Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai upaya strategis untuk meningkatkan kapasitas tenaga layanan yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pelatihan ini, yang bertujuan untuk memberikan pemahaman dan keterampilan yang lebih baik bagi para petugas di lapangan, menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam menanggulangi masalah kekerasan seksual yang semakin meningkat.
Pelatihan ini menjadi langkah lanjutan dari amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang menekankan pentingnya penyediaan layanan dan pendampingan korban berbasis hak asasi manusia dan sensitivitas gender. Namun, meskipun pelatihan ini sangat diperlukan, pelaksanaan yang semata-mata berfokus pada peningkatan kapasitas petugas layanan di tengah realitas sosial yang semakin rusak oleh sistem sekuler yang ada, tidak cukup untuk mengatasi akar masalah yang lebih mendalam.
Faktor Penyebab
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi meningkatnya kasus kekerasan seksual adalah penerapan ideologi sekuler dalam sistem negara dan kehidupan masyarakat. Sekularisme, yang lahir dari peradaban Barat, memiliki dasar ideologis yang memisahkan agama dari kehidupan sosial dan negara. Dalam perspektif sekuler, kebebasan individu dianggap sebagai prinsip utama, dan agama hanya dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak boleh mencampuri urusan publik dan negara.
Pengaruh sekularisme ini menyebabkan negara tidak dapat menjalankan perannya sebagai pelindung moral dan sosial masyarakat. Dalam kerangka sekuler, negara memberikan kebebasan yang sangat luas kepada individu untuk membuat aturan hidupnya sendiri tanpa adanya batasan yang jelas terkait moralitas dan etika. Konsekuensi dari kebebasan tanpa batas ini adalah berkembangnya budaya permisif yang menganggap bahwa perilaku seksual yang diluar ikatan pernikahan tidak selalu dianggap sebagai masalah. Oleh karena itu, hubungan seksual di luar pernikahan, yang seharusnya menjadi sebuah kejahatan dalam banyak konteks moral, seringkali dibiarkan begitu saja, bahkan jika itu mengarah pada eksploitasi dan kekerasan.
Salah satu contoh nyata dari liberalisasi yang terjadi dalam ruang pendidikan tinggi adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permen) Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Dalam peraturan tersebut, kekerasan seksual hanya diakui sebagai tindak pidana apabila ada kerugian yang dirasakan oleh salah satu pihak. Namun, jika hubungan seksual dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, maka tindakan tersebut tidak dianggap sebagai kekerasan. Paradigma ini jelas menunjukkan bahwa tindakan kekerasan seksual dapat dianggap “normal” dalam konteks tertentu, asalkan tidak ada pihak yang mengadukan kerugian. Hal ini justru mengaburkan pemahaman tentang hakikat kekerasan seksual yang sebenarnya merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik bagi korban maupun masyarakat secara keseluruhan.
Kegagalan Negara
Di tengah fenomena kekerasan seksual yang semakin meluas, kegagalan negara untuk menjalankan perannya sebagai pelindung generasi muda sangat nyata. Dalam sistem sekuler kapitalisme, negara berperan sebagai fasilitator kebebasan individual, tetapi justru gagal menciptakan batasan yang jelas untuk melindungi masyarakat dari perilaku yang merusak. Kebebasan tanpa kontrol ini mengarah pada hilangnya norma dan moral yang seharusnya menjadi landasan kehidupan bersama. Dengan kemajuan teknologi dan media yang memberikan akses mudah kepada berbagai konten yang tidak sehat, masyarakat semakin terpapar pada perilaku yang merusak.
Lebih parah lagi, tayangan media yang berbau seksual dan pornografi semakin mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak. Ini merupakan salah satu faktor yang memicu tingginya angka kekerasan seksual, karena tidak jarang pelaku kekerasan seksual terinspirasi atau terangsang oleh konten-konten tersebut. Dalam kondisi ini, peran negara seharusnya adalah memastikan bahwa segala bentuk konten yang merusak moralitas masyarakat dapat dikendalikan, dan tidak dibiarkan begitu saja berkembang di ruang publik.
Namun, dalam sistem sekuler kapitalisme, kebebasan berbicara, berpendapat, dan berkarya seringkali dipertontonkan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap moral dan etika masyarakat. Dalam konteks ini, negara lebih memilih untuk mengatur kebebasan tersebut daripada melindungi nilai-nilai yang menjadi dasar pembentukan masyarakat yang adil dan sejahtera. Negara, dalam sistem ini, gagal menciptakan mekanisme perlindungan yang memadai bagi individu, khususnya perempuan dan anak-anak, yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Pelindung Moral
Dalam pandangan Islam, negara memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga moralitas dan keselamatan masyarakat. Islam bukan hanya mengatur hubungan individu dengan Tuhan, tetapi juga hubungan sosial antar sesama manusia. Dalam sistem khilafah, negara tidak hanya berfungsi sebagai pengatur administrasi, tetapi sebagai pelindung yang bertanggung jawab atas kesejahteraan umatnya. Negara harus menciptakan sistem yang menjamin perlindungan bagi setiap individu, dengan mengedepankan hukum-hukum syariat yang menegaskan bahwa segala bentuk perbuatan amoral, termasuk kekerasan seksual, harus dihukum.
Sistem hukum dalam Islam tidak hanya memberikan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan seksual, tetapi juga mengatur bagaimana negara harus bertindak untuk melindungi individu, terutama perempuan dan anak, dari segala bentuk penyimpangan moral. Islam mengajarkan bahwa setiap hubungan seksual di luar ikatan pernikahan adalah kejahatan yang harus dihukum, tanpa ada pengecualian. Hal ini menunjukkan bahwa negara harus memiliki peran aktif dalam menjaga moralitas publik dan tidak membiarkan kebebasan tanpa batas yang merusak masyarakat.
Selain itu, dalam sistem Islam, negara juga bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat, dimana nilai-nilai agama dan moral yang benar ditanamkan sejak dini. Dengan demikian, kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat dapat ditekan seminimal mungkin, karena setiap individu dididik untuk memiliki rasa hormat terhadap hak-hak orang lain, terutama terhadap perempuan.
Reformasi Sistem
Sistem sekuler yang berlaku saat ini telah gagal untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi korban kekerasan seksual. Penerapan hukum yang berbasis pada nilai-nilai kebebasan tanpa batas, yang menjunjung tinggi kebebasan individual di atas kepentingan masyarakat, hanya akan semakin memperburuk keadaan. Kekerasan seksual, yang seharusnya dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, seringkali dikesampingkan atau bahkan dianggap sebagai sesuatu yang normal jika tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Untuk itu, diperlukan reformasi total dalam sistem yang ada, yang tidak hanya berfokus pada peningkatan kapasitas petugas layanan, tetapi juga mengubah dasar-dasar hukum dan kebijakan yang ada. Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari segala bentuk kemaksiatan dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Hukum Islam yang tegas dan adil, yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan etika yang kuat, menjadi jalan untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan sejahtera.